NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : IKAEDA' MAGIC LESSON FROM CHAE BOM

Suatu hari, Ikaeda menatap kosong ke sungai di belakang rumahnya, gemericik air menjadi satu-satunya teman. Ketenangan itu pecah saat bayangan seorang wanita menghampirinya. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Chae Bom, pelatih barunya.

"Nama yang aneh," gumam Ikaeda dalam hati. "Toura, Benua Hanie. Jangan-jangan dia dari sana?"

"Tepat sekali! Pengetahuanmu luar biasa," puji Chae Bom.

Ikaeda mengangkat bahu. "Hanya menebak. Temanku juga dari sana," jawabnya datar.

Chae Bom melanjutkan, "Pelatihmu yang lama, R.I, harus pergi jauh. Jadi, aku yang akan menggantikannya. Evelia dan Araya sudah tahu soal ini." Ikaeda mengernyit, merasa ada sesuatu yang aneh.

"Orang aneh apa lagi yang harus kutemui?" Ikaeda menggerutu dalam hati. Dia menatap Chae Bom dengan tatapan datar, berusaha mencerna informasi yang baru saja ia dengar. "Ibu kandungku? Mereka tahu? Dan mereka tidak memberitahuku?"

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya, menambah lapisan misteri pada kedatangan wanita asing ini. Tampaknya, hidupnya yang tenang akan segera berubah.

Ikaeda hanya memandang Chae Bom dengan tatapan kosong, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu. "Jadi, kau bilang R.I. pergi?" gumam Ikaeda, suaranya nyaris seperti bisikan. "Pergi kemana?"

Chae Bom tersenyum misterius. "Itu bukan urusanmu. Yang perlu kau tahu, sekarang aku yang bertanggung jawab atas pelatihanmu. Besok, siapkan dirimu. Kita akan mulai besok" jawab Chae Bom, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Ikaeda dengan segudang pertanyaan yang mengelilingi kepalanya.

"Apa maksudnya ini semua? Aku tidak butuh pelatih! Aku tidak butuh apa-apa!" Ikaeda berdiri, menendang kerikil di tepian sungai.

.

.

.

.

.

Malam harinya, Ikaeda kembali ke rumah dengan hati yang berat. Ia menemukan sebuah surat di meja kamarnya. Surat itu dari Araya, ibunya. "Ikaeda, R.I. akan pergi sebentar. Dia mempercayakanmu pada Chae Bom. Jangan khawatir, Chae Bom adalah wanita yang sangat kuat dan bisa diandalkan. Dia akan membantumu. Latih dirimu dengan baik. Kami sangat menyayangimu," isi surat itu. Ikaeda meremas surat itu dengan penuh amarah.

"Apa yang terjadi pada diriku? Mengapa semua orang bertindak seolah aku ini benda yang harus dipindahtangankan?"

.

.

.

Di ruang tamu yang hangat dan diterangi cahaya lilin, Chae Bom duduk santai di hadapan Evelia dan Araya. Ketiganya menikmati teh hijau yang mengepul, aroma melati memenuhi ruangan.

"Jadi, dia sudah tahu?" tanya Evelia, menatap Chae Bom dengan cemas.

Araya mengangguk perlahan. "Aku sudah memberitahunya lewat surat. Dia pasti marah," jawabnya lirih. "Tentu saja dia marah. Dia merasa diperlakukan seperti anak-anak, padahal dia sudah tahu banyak hal."

Chae Bom tersenyum lembut. "Itu bagian dari proses. Dia harus merasa kuat untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Aku yakin dia akan mengerti," katanya menenangkan.

"Aku hanya tidak ingin melihatnya terluka. Dia satu-satunya yang kumiliki," Evelia membalas, matanya berkaca-kaca.

Araya meletakkan tangannya di bahu Evelia. "Dia kuat, Evelia. Lebih kuat dari yang kita kira. R.I. tidak salah memilihnya," bisik Araya. "Kita harus percaya padanya."

"Dia butuh dorongan, bukan belas kasihan. Itu sebabnya aku di sini," tegas Chae Bom. "Kalian tidak perlu khawatir. Tugas kalian sudah selesai. Sekarang, biarkan aku yang membimbingnya."

Evelia dan Araya saling pandang, menghela napas lega. Mereka tahu, dengan Chae Bom di sisinya, Ikaeda akan baik-baik saja. Namun, tetap saja, hati seorang ibu tidak bisa sepenuhnya tenang. Mereka hanya bisa berharap, jalan yang ditempuh Ikaeda tidak terlalu berat.

.

.

.

.

.

.

Pagi itu, Ikaeda berdiri di tengah lapangan luas, matanya masih setengah terpejam. Chae Bom di depannya terlihat begitu segar, seolah dia tidak pernah tidur. "Jadi, kau sudah siap?" tanyanya sambil menyilangkan tangan. Ikaeda hanya mengangguk malas. "Baiklah. Pertanyaan pertama, bisakah kau melakukan teknik serangan sihir?"

Ikaeda menguap, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak suka sihir."

"Kenapa?" Chae Bom bertanya lagi, nada suaranya terdengar penasaran.

Ikaeda menghela napas. "Serangan sihir memang kuat. Tapi fisik penggunanya akan terkikis. Lambat laun, tubuh kita akan hancur dari dalam. Aku tidak mau mati konyol seperti itu."

Chae Bom tersenyum. "Penjelasanmu ada benarnya, Ikaeda. Namun, ada satu hal yang kau lewatkan. Teknik sihir itu tidak selalu mengikis fisikmu. Itu tergantung pada jenis sihirnya."

Chae Bom melanjutkan penjelasannya. "Sihir yang mengikis tubuhmu adalah sihir yang memaksa kekuatan alam semesta masuk ke dalam tubuhmu. Itu sebabnya tubuhmu tidak bisa menampungnya. Namun, ada sihir lain, sihir yang menggunakan kekuatan alam semesta tanpa merusak tubuh penggunanya. Itu yang harus kau pelajari. Itu yang akan membuatmu kuat."

Ikaeda menatap Chae Bom, matanya mulai terbuka lebar. Penjelasan itu masuk akal, dan entah mengapa, ia mulai tertarik.

.

.

.

.

Mendengar penjelasan Chae Bom, mata Ikaeda yang tadinya mengantuk kini terbuka lebar. Rasa malasnya perlahan menghilang, digantikan oleh rasa penasaran. "Jadi, aku bisa mengeluarkan sihir tanpa merusak tubuhku?" tanyanya, suaranya terdengar lebih bersemangat. "Lalu, apakah aku bisa mengeluarkan meteor dan menghancurkan dunia ini?"

Chae Bom tersenyum lembut sambil memejamkan mata. "Tentu saja tidak. Mungkin bisa mengeluarkan meteor, tapi tidak sedahsyat itu."

Ikaeda mengerutkan keningnya, lalu kembali bertanya, "Bagaimana jika aku mengeluarkan sihir yang bisa membekukan waktu? Atau, sihir yang bisa membalikkan gravitasi, membuat semua orang melayang ke langit?"

Chae Bom awalnya masih menanggapi dengan sabar, matanya terpejam seolah menikmati khayalannya sendiri. Namun, pertanyaan-pertanyaan Ikaeda yang semakin tidak masuk akal mulai menguji kesabarannya. "Sudah cukup! Bisakah kau berhenti bertanya hal-hal konyol? Fokus!" Chae Bom membuka matanya, menatap Ikaeda dengan tatapan gemas. "Kita akan mulai dari dasar, dari hal-hal kecil yang masuk akal."

Ikaeda hanya menyeringai, ia tahu ia sudah berhasil membuat Chae Bom jengkel. Ini akan menjadi hari yang panjang, pikirnya.

Ikaeda tertawa kecil melihat Chae Bom yang sudah mulai jengkel. "Tapi, sihir itu memang tidak ada yang masuk akal," katanya sambil mengangkat bahu. "Mengeluarkan api dari tangan? Membekukan air di udara? Itu semua melawan hukum alam. Apa bedanya dengan pertanyaan-pertanyaanku tadi?"

"Beda," jawab Chae Bom dengan nada serius, menatap tajam ke mata Ikaeda. "Itu beda, Ikaeda. Sihir yang kau sebutkan barusan memang tidak masuk akal, tapi itu punya batasan. Ada aturan mainnya. Sementara pertanyaanmu tadi itu..." Chae Bom berhenti sejenak, mencari kata yang tepat. "Pertanyaanmu itu tidak punya batasan. Kau ingin menghancurkan dunia, membalikkan gravitasi... itu semua adalah kekuatan yang hanya dimiliki oleh para dewa."

Ikaeda terdiam, perkataan Chae Bom mulai membuatnya berpikir. "Jadi, ada batasan untuk sihir?" tanyanya.

Chae Bom mengangguk. "Tentu saja. Sihir itu seperti air. Ia punya kekuatan, tapi ia juga punya wadah. Kau tidak bisa menuang air tanpa wadah, sama seperti kau tidak bisa menggunakan sihir tanpa aturan. Sekarang, lupakan semua sihir yang kau tahu. Kita akan mulai dari awal. Kita akan menciptakan sihirmu sendiri, sihir yang punya batasan, tapi juga punya kekuatan yang tidak bisa diremehkan."

.

.

.

"Mana? Teknik dasar? Apa itu semua?" Ikaeda kembali bertanya, rasa penasarannya kini mengalahkan semua rasa malasnya.

Chae Bom tersenyum, melihat tanda-tanda ketertarikan di mata muridnya. "Baiklah, kalau begitu kita mulai dari awal. Mana adalah energi kehidupan, energi yang mengalir di seluruh alam semesta. Termasuk di dalam dirimu," jelas Chae Bom, sambil meletakkan tangannya di dada Ikaeda. "Setiap orang punya mana. Namun, tidak semua orang bisa menggunakannya."

Chae Bom melanjutkan, "Teknik dasar sihir itu seperti melatih ototmu. Kau tidak bisa langsung mengangkat beban berat, kan? Kau harus mulai dari yang ringan. Teknik dasar adalah cara untuk mengendalikan mana yang ada di dalam dirimu, menyalurkannya, lalu mengubahnya menjadi sihir."

Chae Bom lalu mengambil segenggam pasir dan meletakkannya di telapak tangannya. "Sihir adalah seni untuk memanipulasi. Memanipulasi energi di sekitarmu, atau di dalam dirimu sendiri." Perlahan, pasir di tangannya mulai melayang.

Ikaeda menatap kagum. "Jadi, aku harus mengendalikan mana yang ada di dalam diriku?" tanyanya.

Chae Bom mengangguk. "Tepat sekali. Dan itu akan jadi tugas pertamamu. Aku tidak akan mengajarimu mantra atau apapun. Aku akan mengajarimu cara merasakan mana yang ada di dalam dirimu. Jika kau berhasil, barulah kita bisa bicara tentang sihir. Sekarang, pejamkan matamu, dan rasakan energi di sekitarmu. Rasakan detak jantungmu, napasmu... rasakan kehidupan itu sendiri."

Ikaeda mengikuti perintah Chae Bom. Ia memejamkan mata, berusaha meredam pikiran-pikiran yang berseliweran di kepalanya. Hening. Hanya suara napasnya dan gemerisik daun yang terdengar.

"Rasakan detak jantungmu," bisik Chae Bom, suaranya terdengar lembut namun tegas. Ikaeda memfokuskan dirinya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang berirama, darahnya mengalir di seluruh tubuh, dan udara mengisi paru-parunya.

Kemudian, Chae Bom kembali bersuara. "Sekarang, rasakan energi di sekitarmu. Energi yang menghidupi pohon-pohon ini, yang mengalir di tanah di bawah kakimu, dan yang bersemayam di langit di atas kepalamu."

Ikaeda mengerutkan keningnya. Itu tidak mudah. Ia merasa seperti sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Ia mencoba lagi, memfokuskan dirinya lebih dalam lagi, sampai akhirnya... ia merasakannya.

Bukan sebuah suara, bukan sebuah sentuhan. Itu adalah sebuah sensasi, seperti gelombang hangat yang mengalir di sekitarnya.

"Aku... aku merasakannya," bisik Ikaeda.

Chae Bom tersenyum. "Bagus. Itu mana. Sekarang, tugasmu adalah menyatukan mana itu dengan mana yang ada di dalam dirimu. Jadikan mereka satu, Ikaeda. Jadikan mereka dirimu."

Ikaeda memejamkan mata, fokus menyatukan energi di sekitarnya dengan yang ada di dalam dirinya. Di hadapannya, Chae Bom menutup matanya. Namun, berbeda dengan Ikaeda, ia tidak sedang merasakan mana. Ia memiliki kemampuan untuk melihat mana. Di matanya, mana terlihat seperti cahaya berwarna-warni yang bertebaran di udara.

Chae Bom bisa melihat mana Ikaeda. "Jadi ini warna mananya..." gumamnya pelan, saat melihat gelombang biru cerah mengalir dari dalam diri Ikaeda.

"Biru," bisik Chae Bom, dengan senyum tipis di bibirnya. "Mana yang murni dan kuat, tanpa campuran. Mana yang bisa mengalir seperti air, tapi juga bisa sekeras es."

Chae Bom membuka matanya dan menatap Ikaeda yang masih berkonsentrasi. "Bagus, Ikaeda. Kau berhasil. Kau berhasil menyatukan mana di dalam dirimu dengan yang ada di sekitarmu," katanya, suaranya dipenuhi kekaguman.

Ikaeda membuka matanya, rasa lelah yang luar biasa langsung menyerangnya. "Aku berhasil?" tanyanya, suaranya serak.

Chae Bom mengangguk, lalu tersenyum. "Ya. Dan sekarang, kau tidak hanya memiliki mana, kau adalah mana itu sendiri."

Ikaeda menatapnya bingung. "Maksudmu?" Chae Bom hanya tersenyum. "Kita akan lanjutkan besok. Hari ini, cukup sampai di sini."

.

.

.

.

.

Chae Bom berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Ikaeda sendirian di tengah lapangan. Ia berjalan tanpa menoleh, seolah yakin Ikaeda akan baik-baik saja. Ikaeda memandang punggung Chae Bom yang semakin menjauh, lalu menghela napas. Rasa lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya, seolah seluruh tenaganya telah terkuras habis. Ia terduduk di atas rumput, membiarkan tubuhnya ambruk.

"Apa-apaan ini?" gumam Ikaeda, sambil menatap langit yang mulai jingga. Ia merenungkan perkataan Chae Bom. "Mana... energi kehidupan... aku adalah mana itu sendiri..." Rasanya seperti sebuah lelucon, tapi sensasi hangat yang masih terasa di tubuhnya membuktikan sebaliknya. Itu adalah pengalaman paling aneh dan paling melelahkan yang pernah ia alami. Namun, ada sedikit perasaan aneh yang muncul, perasaan yang tidak bisa ia definisikan.

Ia merasa terhubung dengan alam. Ia bisa merasakan angin yang berhembus, suara-suara kecil dari serangga, dan getaran dari bumi di bawahnya. Semua sensasi itu terasa begitu nyata, begitu kuat. "Jadi ini yang namanya mana?" Ikaeda bergumam. Ia mencoba menggerakkan jari-jemarinya, dan tiba-tiba, sehelai daun kering di sampingnya terangkat sedikit, lalu jatuh kembali. Mata Ikaeda membelalak. Ia baru saja melakukan sihir. Tanpa mantra, tanpa kata-kata, hanya dengan sebuah pikiran. Ia tersenyum, menyadari bahwa hidupnya mungkin akan berubah.

Ikaeda masih duduk di tengah lapangan, memandangi daun kering yang tadi bergerak. Pikirannya melayang pada sosok lain. "Jisuya Liini..." gumamnya. Wanita dewasa yang bisa melakukan sihir dan summon tanpa merapal mantra. Ia teringat cerita dari Evelia, ibu angkatnya, tentang seorang peneliti terkenal di benua mereka, Benua Shirayuki Sakura, yang bernama sama. Jisuya Liini. Ia tahu Liini bukanlah orang biasa.

"Jadi... ini rasanya?" bisik Ikaeda. "Mengendalikan mana tanpa merapal mantra?" Ia mencoba lagi, kali ini dengan fokus yang lebih kuat. Ia membayangkan sebuah batu kecil di depannya. Ia menyalurkan mana ke arah batu itu. Perlahan, batu itu terangkat. Bukan hanya terangkat, ia melayang, berputar-putar di udara. Sebuah senyuman puas terukir di wajah Ikaeda. Ia mengerti.

Ia sekarang mengerti apa yang dimaksud Chae Bom. Ia mengerti mengapa Jisuya Liini begitu terkenal. Liini tidak hanya merapal mantra. Dan sekarang, Ikaeda pun bisa. Ia merasa ada kekuatan baru yang bangkit di dalam dirinya, sebuah kekuatan yang bisa mengubah segalanya. Ia bangkit, rasa lelahnya hilang. Ia tahu, ini hanyalah permulaan. Perjalanan barunya baru saja dimulai.

.

.

.

.

.

.

Pagi berikutnya, Ikaeda kembali ke lapangan, kali ini dengan semangat yang berbeda.

Chae Bom sudah menunggunya. "Jadi, kita lanjutkan?" Chae Bom bertanya sambil tersenyum.

Ikaeda mengangguk. "Tentu saja."

Chae Bom memulai latihannya. "Ikaeda, kau seorang Knight, bukan Mage, kan?"

Ikaeda mengangguk. "Tepat sekali. Aku lebih suka bertarung dari jarak dekat."

"Lalu, apa kau bisa melakukan teknik penyembuhan?" tanya Chae Bom lagi.

Ikaeda menggelengkan kepalanya. "Tidak. Selama ini, aku menyembuhkan diriku secara manual dengan obat-obatan herbal dari Liini."

Chae Bom mengangguk mengerti. "Itu tidak masalah. Tapi, kau harus tahu, seorang Knight sejati harus bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Terkadang, obat-obatan tidak akan cukup di medan perang."

Chae Bom melanjutkan. "Teknik penyembuhan adalah bentuk lain dari sihir. Kau tidak hanya menyalurkan mana ke luar, tapi juga ke dalam. Kau menyalurkan mana ke setiap sel di tubuhmu, dan menyembuhkan luka-luka yang ada."

Ikaeda mengernyit. "Kedengarannya rumit."

Chae Bom tertawa. "Tidak seru jika rumit, kan? Nah, sekarang coba rasakan mana yang ada di dalam dirimu. Salurkan mana itu ke lukamu, dan biarkan ia menyembuhkanmu."

Ikaeda menatap Chae Bom dengan tatapan bingung. "Tapi aku tidak ada luka," jawabnya. "Bagaimana aku bisa menyembuhkan diriku jika aku tidak terluka?"

Senyum Chae Bom semakin lebar, sebuah senyum yang membuat Ikaeda merasa waspada. "Ah, kalau begitu, kita buat saja lukanya," katanya santai.

Tanpa aba-aba, Chae Bom melesat. Ikaeda, yang lengah, tidak sempat menghindar. Sebuah pukulan telak mendarat di pipinya, membuatnya terhuyung. Rasa sakit yang tajam langsung terasa, dan Ikaeda menggeram.

Chae Bom mundur beberapa langkah, menatap Ikaeda dengan senyum ramah yang kini terasa seperti ejekan. "Nah, sekarang kau punya luka. Coba sembuhkan dirimu," katanya. "Gunakan manamu. Rasakan lukanya, lalu perintahkan mana untuk menyembuhkannya."

Ikaeda mengusap pipinya yang memar. Amarahnya memuncak. "Kau gila!" teriaknya. Namun, ia tahu tidak ada gunanya berdebat. Ia memejamkan mata, memfokuskan dirinya. Ia merasakan mana yang mengalir di dalam tubuhnya, lalu menyalurkannya ke pipinya yang memar.

Perlahan, rasa sakitnya mereda, dan bengkaknya mulai mengempis. Ia membuka matanya, menatap Chae Bom dengan tatapan terkejut, sekaligus kagum. "Ini... berhasil," gumamnya, tidak percaya.

.

.

.

.

Ikaeda mengusap pipinya yang kini sudah tidak terasa sakit lagi. Ia menatap Chae Bom, masih tidak percaya. "Pukulan tadi... itu bukan pukulan biasa," gumamnya. "Kekuatanmu... sangat berbeda dengan R.I."

Chae Bom tersenyum. "Tentu saja. Setiap orang punya gaya bertarung yang berbeda. R.I. mengandalkan kecepatan dan kelincahan. Aku... mengandalkan kekuatan dan presisi."

Ikaeda menelan ludah. "Kekuatanmu tadi... seperti pukulan dari batu raksasa."

Chae Bom tertawa. "Itu karena aku menyalurkan manaku ke dalam tinjuku. Pukulan biasa menjadi pukulan yang mematikan. Itu adalah salah satu teknik dasar yang harus kau kuasai, Knight. Menggunakan mana untuk memperkuat seranganmu."

Ikaeda mengangguk, matanya berbinar. Ia merasa seperti menemukan dunia baru. Dunia di mana mana bisa digunakan untuk berbagai hal, tidak hanya untuk sihir. "Jadi, aku harus menyalurkan mana ke pedangku?" tanyanya.

Chae Bom tersenyum. "Bukan hanya pedangmu. Tapi juga ke perisaimu, ke zirahmu, dan bahkan ke tubuhmu sendiri. Kau adalah senjata itu sendiri, Ikaeda. Sekarang, coba salurkan manamu ke tinjumu. Pukul udara di depanmu."

Tentu, berikut adalah teks dari gambar tersebut:

Ikaeda menatap Chae Bom dengan tatapan bingung. "Perisai? Baju zirah?" gumamnya. "Aku tidak pernah menggunakan itu. Selama ini, aku bertarung hanya dengan pedang dan pakaian biasa."

Chae Bom menghela napas. "Lalu, bagaimana kau melindungi dirimu dari serangan musuh?"

"Aku menghindar," jawab Ikaeda, "atau menggunakan pedangku untuk menangkis. Aku tidak suka hal-hal berat yang menghalangi pergerakanku."

Chae Bom terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Itu bagus. Itu artinya kau punya refleks yang luar biasa. Tapi, bagaimana jika kau menghadapi serangan yang tidak bisa kau hindari atau tangkis? Bagaimana jika serangan itu datang dari segala arah?"

Ikaeda terdiam, tidak bisa menjawab.

Chae Bom melanjutkan, "Itulah gunanya perisai dan baju zirah. Bukan hanya untuk melindungi, tapi juga untuk memperkuat. Kau bisa menyalurkan mana ke perisaimu, membuatnya sekuat baja. Kau bisa menyalurkan mana ke bajumu, membuatnya sekeras batu. Dengan begitu, kau tidak hanya terlindungi, tapi juga bisa menyerang dengan lebih kuat."

Ikaeda menatap Chae Bom dengan tatapan kagum. Ia menyadari, selama ini ia hanya menggunakan sebagian kecil dari kekuatannya.

.

.

.

.

.

Chae Bom menatap Ikaeda dengan ekspresi campur aduk antara kagum dan jengkel. Ia lalu menggelengkan kepalanya pelan. "R.I... apa saja yang kau ajarkan pada anak ini?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Bertarung tanpa zirah dan perisai? Itu sama saja dengan bunuh diri."

Ikaeda hanya terdiam, merasa perkataan Chae Bom ada benarnya. Ia memang selalu mengandalkan kelincahan dan kecepatan, tapi ia tidak pernah memikirkan pertahanan.

"Jadi... apakah sekarang aku harus mulai memakai zirah?" tanya Ikaeda, ragu.

Chae Bom tersenyum. "Tidak harus. Kau sudah terbiasa bertarung tanpa itu. Tapi, kau harus belajar bagaimana cara membuat 'zirah mana'. Zirah yang tidak terlihat, tapi bisa melindungimu dari serangan. Dengan begitu, kau tidak akan terbebani oleh zirah yang berat, tapi tetap terlindungi."

Ikaeda mengangguk, ia mulai merasa tertarik pada konsep ini.

"Kau punya potensi yang luar biasa, Ikaeda," kata Chae Bom, sambil meletakkan tangannya di bahu Ikaeda. "Tapi potensimu ini masih mentah. Sekarang, pejamkan matamu. Rasakan mana itu di dalam dirimu. Alirkan mana itu ke seluruh tubuhmu, dan bayangkan mana itu menjadi lapisan pelindung yang tak terlihat. Lakukan itu sampai kau merasakannya."

Ikaeda mengangguk, lalu memejamkan matanya, siap untuk pelajaran baru.

.

.

Ikaeda kembali memejamkan mata, berusaha menyalurkan mana ke seluruh tubuhnya. "Sudah!" serunya, merasa lapisan pelindung tak kasat mata itu telah terbentuk.

Namun, tanpa peringatan, Chae Bom melesat maju dan meninju perut Ikaeda.

Bruk!

Ikaeda terpental, napasnya tercekat, dan ia terbatuk-batuk. Rasa sakit yang luar biasa menjalar di sekujur tubuhnya. "Bagaimana bisa....?" gumam Ikaeda, heran. Ia merasa mana-nya sudah terbentuk sempurna, tapi kenapa pukulannya itu masih terasa sakit.

Chae Bom berdiri di depannya dengan tangan di pinggang. "Itu belum sempurna. Kau masih bisa merasakan sakit, kan?" Chae Bom bertanya, nada suaranya tegas. "Itu artinya 'zirah mana'mu masih rapuh. Sebuah perisai tidak akan berguna jika bisa ditembus hanya dengan satu pukulan."

Ikaeda menggeram, ia kesal juga mengerti.

"Kembali fokus! Bentuk ulang 'zirah mana'mu!" perintah Chae Bom.

Ikaeda bangkit, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia memejamkan mata, memusatkan seluruh perhatiannya. Ia tidak hanya membayangkan lapisan pelindung, tapi ia juga membayangkan lapisan itu sekuat baja, sekeras berlian. Ia akan melindunginya dari apapun, bahkan dari pukulan Chae Bom yang mematikan.

.

.

.

Ia akan berhasil.

.

.

.

.

Waktu terus berlalu, dan latihan intensif itu terus berlanjut. Setiap kali Ikaeda menyatakan bahwa 'zirah mana'nya sudah terbentuk, Chae Bom akan dengan sigap menguji ketahanannya dengan pukulan yang telak.

Hal ini terus berulang, tanpa henti. Ikaeda jatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, dan bangkit lagi. Tubuhnya mulai terasa berat, napasnya tersengal-sengal, dan pakaiannya robek di sana-sini.

Di satu titik, Ikaeda jatuh untuk kesekian kalinya. Pakaiannya compang-camping, dan wajahnya dipenuhi keringat. Ia menatap Chae Bom dengan tatapan lelah, putus asa, namun tidak menyerah. "Ini tidak akan berhasil. Aku tidak bisa," bisiknya, suaranya parau.

Chae Bom menatapnya tajam. "Jika kau tidak percaya, maka memang tidak akan berhasil," jawabnya dingin. "Percaya pada dirimu sendiri, Ikaeda. Kau bisa. Kau hanya harus lebih fokus, lebih kuat."

Kata-kata itu seperti cambuk bagi Ikaeda. Ia memejamkan mata, mengabaikan rasa sakit dan lelah yang luar biasa. Ia menyalurkan seluruh mananya ke setiap inci tubuhnya. Ia tidak membayangkan 'zirah mana'nya.

Kali ini, ia merasakannya. Ia merasakan 'zirah' itu menyatu dengan kulitnya, menjadi bagian dari dirinya. "Sekarang," teriaknya, "pukul aku!"

Chae Bom tersenyum puas, lalu melesat maju. Namun, kali ini, pukulan itu tidak membuat Ikaeda terpental. Ia hanya bergetar sedikit, lalu berdiri tegak.

.

.

.

.

Chae Bom menarik tinjunya, menatap Ikaeda yang berdiri tegak di depannya. Ia tersenyum puas. "Lumayan," katanya, suaranya tenang. "Cukup untuk hari ini." Chae Bom berbalik, meninggalkan Ikaeda yang masih berdiri mematung. Sesaat setelah punggung Chae Bom menjauh, Ikaeda merasakan seluruh tenaganya terkuras habis. Lapisan mana yang melindunginya pun menghilang. Tubuhnya ambruk, ia terbaring di atas rumput, memandang langit yang mulai gelap.

Rasa lelah yang luar biasa menjalar di setiap inci tubuhnya. Ia merasakan setiap memar, setiap otot yang tegang, setiap luka yang terasa perih. Namun, ada kepuasan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia berhasil. Ia berhasil membuat 'zirah mana' yang tidak bisa ditembus oleh pukulan Chae Bom. "Sialan," gumamnya, tersenyum kecil. "Pelatih gila."

Ia menutup mata, membiarkan tubuhnya beristirahat. Ia tidak tahu berapa lama ia terbaring di sana, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menikmati sensasi kemenangan kecilnya ini. Ia tahu, ini hanyalah permulaan. Masih banyak hal yang harus ia pelajari. Tapi, untuk malam ini, ia hanya ingin terbaring di bawah langit, membiarkan angin sejuk membelai wajahnya, dan menikmati kedamaian yang langka.

.

.

.

.

.

.

.

Pagi hari di lapangan yang sama, Ikaeda kembali menunggu Chae Bom. Ia masih merasakan sisa-sisa kelelahan dari latihan kemarin, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.

Chae Bom datang dengan wajah cerah, seolah tidak terjadi apa-apa. "Kau sudah siap?" tanyanya riang.

Ikaeda mengangguk. "Tentu."

Chae Bom lalu tersenyum, senyum polos yang membuat Ikaeda merasa sedikit curiga. "Kemarin, aku hanya menggunakan 5% dari kekuatanku."

Wajah Ikaeda langsung datar. Ia menatap Chae Bom, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Lima persen?" gumamnya, suaranya nyaris tidak terdengar. "Dan aku sampai terpental berkali-kali hanya dengan lima persen kekuatanmu?" Ia merasa seperti dipermainkan. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan pukulan itu, tapi Chae Bom hanya menggunakan sedikit dari kekuatannya.

"Tentu saja," jawab Chae Bom dengan nada santai. "Aku tidak akan membunuh muridku sendiri, Ikaeda. Pukulan-pukulan itu hanya untuk mengajarimu. Jika aku menggunakan seluruh kekuatanku, kau sudah menjadi abu. Sekarang, lupakan soal itu. Latihan kita hari ini akan lebih intens."

Ikaeda hanya bisa menghela napas. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang lebih berat dari kemarin.

Ikaeda menatap Chae Bom, wajahnya menunjukkan perpaduan antara kekesalan dan rasa hormat yang aneh. "Jadi, aku harus bersyukur karena kau tidak membunuhku?" tanyanya datar.

Chae Bom hanya tersenyum. "Anggap saja begitu. Sekarang, lupakan soal itu. Latihan kita hari ini akan lebih intens."

Chae Bom lalu mengambil sebatang kayu dari tasnya, kayu itu berukuran setinggi Ikaeda dan memiliki ukiran rumit di setiap sisinya. "Ini. Pedangmu untuk hari ini," katanya sambil memberikan kayu itu pada Ikaeda.

"Pedang?" Ikaeda menatap kayu itu dengan tatapan bingung. "Ini hanya sebatang kayu."

Chae Bom mengangguk. "Tepat sekali. Hari ini, kau akan belajar bagaimana cara menyalurkan manamu ke dalam 'pedang' ini. Kau harus membuatnya setajam pedang sungguhan, sekeras baja."

Ikaeda menghela napas. Ini akan menjadi hari yang lebih berat dari kemarin. "Bagaimana aku bisa melakukannya? Ini hanya kayu," tanyanya.

"Sama seperti 'zirah mana'mu. Kau harus membayangkan kayu ini menjadi pedang. Rasakan manamu mengalir ke dalam kayu ini, lalu ubah kayu ini menjadi pedang yang sesungguhnya," jelas Chae Bom. "Dan setelah itu, kau akan bertarung denganku. Dengan pedang ini."

Ikaeda membelalakkan matanya. "Bertarung denganmu? Dengan kayu ini?"

Chae Bom tersenyum. "Kau lupa? Aku hanya akan menggunakan 5% kekuatanku. Tidak perlu khawatir."

Ikaeda memegang erat kayu di tangannya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat sensasi mana yang mengalir di tubuhnya. Kali ini, ia tidak kesulitan. Seolah sudah terbiasa, mana mengalir dengan lancar menuju kayu yang ia pegang. Ia membayangkan kayu itu berubah.

Bukan hanya keras, tapi juga tajam, memancarkan aura kekuatan yang tersembunyi. Ketika ia membuka mata, kayu itu masih terlihat seperti pedang, tapi ia bisa merasakan perbedaannya.

Kayu itu terasa lebih berat, lebih padat, dan seolah memancarkan energi yang samar.

Chae Bom memperhatikannya dengan saksama. Ia melihat fokus di mata Ikaeda dan aura tipis yang mengelilingi kayu tersebut. Ia tersenyum tipis. "Sudah siap?" tanyanya.

Ikaeda mengangguk mantap, menggenggam 'pedang kayunya' dengan kedua tangan. Melihat kesiapan Ikaeda, Chae Bom mengambil kuda-kuda, kedua tangannya terbuka, siap untuk bertarung tanpa senjata.

"Ingat," kata Chae Bom, "salurkan manamu setiap saat. Jadikan 'pedang' itu perpanjangan dari dirimu. Jangan ragu, dan jangan takut. Seranglah aku dengan seluruh kemampuanmu."

Ikaeda mengangguk lagi, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar. Ia mengangkat 'pedang' kayunya, siap untuk menghadapi gurunya. "Aku tidak akan kalah," gumamnya dalam hati.

Ikaeda menyerang, mengayunkan 'pedang kayunya' dengan sekuat tenaga. Ia sudah menyalurkan mana ke pedang itu, membuatnya sekuat baja. Namun, Chae Bom tidak gentar. Ia bergerak dengan kecepatan luar biasa, menangkis serangan Ikaeda hanya dengan tangan kosong.

Krak!

Suara benturan keras terdengar, dan Ikaeda merasakan getaran kuat di tangannya.

Dengan gerakan yang lincah, Chae Bom menangkis pedang Ikaeda sekali lagi, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Pedang kayu itu terpental dari genggaman Ikaeda, melayang di udara, lalu jatuh ke tanah dengan bunyi yang keras.

Sebelum Ikaeda sempat bereaksi, Chae Bom sudah berada di depannya. Sebuah pukulan telak mendarat di perut Ikaeda, membuatnya terhuyung. Ia terpental, jatuh ke tanah, napasnya tercekat.

Chae Bom berdiri di depannya, menatapnya dengan tenang. "Mana-mu belum cukup kuat, Ikaeda," katanya. "Kau bisa menyalurkannya, tapi kau belum bisa mengendalikannya. Pedang itu masih kayu, dan kau tidak bisa mengubahnya menjadi baja hanya dengan keyakinan."

Ikaeda terbatuk-batuk, berusaha bangkit. Ia tahu, Chae Bom benar. Ia masih jauh dari kata kuat.

"Mungkin lawan-lawan yang kau temui selama ini hanya keberuntungan saja," ucap Chae Bom, nadanya tenang tapi menusuk. "Kau tidak pernah benar-benar diuji. Kau tidak pernah menghadapi lawan yang setara atau bahkan lebih kuat dari kau. Kau hanya mengandalkan insting, dan itu tidak akan cukup."

Ikaeda bangkit, mengusap debu dari pakaiannya. "Aku tidak keberuntungan. Aku mengandalkan kemampuanku," sanggahnya.

Chae Bom tersenyum sinis. "Kemampuan? Kemampuan apa yang bisa kau banggakan jika hanya dengan satu serangan dari tanganku kau sudah terjatuh seperti ini? Kau perlu mengasah manamu, Ikaeda. Jadikan manamu pedang yang sesungguhnya."

Chae Bom mengambil pedang kayu yang tergeletak di tanah dan melemparkannya kembali ke Ikaeda. "Ulangi. Salurkan manamu, buat 'pedang' itu menjadi baja, dan serang aku lagi. Kali ini, jangan hanya mengandalkan insting. Gunakan manamu, Ikaeda. Gunakan akalmu."

Ikaeda menggenggam erat pedang kayu itu. Kali ini, ia tidak akan menyerah.

.

.

.

.

...

Ikaeda kembali menyerang, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia mengayunkan 'pedang' kayunya, menyalurkan mana ke dalamnya. Ia tidak lagi asal menyerang, tapi mulai memikirkan setiap gerakannya.

Chae Bom menangkis setiap serangan Ikaeda dengan mudah. Setiap kali Chae Bom menangkis, getaran kuat terasa di tanah, seolah sebuah gempa kecil sedang terjadi.

Pertarungan itu berlangsung lama. Chae Bom terus bergerak, menghindari dan menangkis, sesekali membalas dengan serangan kecil yang membuat Ikaeda harus mundur. Ikaeda tahu, Chae Bom tidak menggunakan 5% kekuatannya.

Chae Bom menggunakannya untuk memperkuat setiap gerakannya, membuat serangannya menjadi fatal. Ia menyadari, setiap getaran tanah yang diakibatkan Chae Bom adalah bukti betapa kuatnya gurunya.

"Kau masih terlalu lambat," kata Chae Bom, menangkis serangan Ikaeda lagi. "Kau hanya mengandalkan kekuatan, bukan kecepatan. Mana-mu memang kuat, tapi kau tidak bisa menggunakannya dengan benar. Coba pikirkan, bagaimana kau bisa menggunakan mana untuk mempercepat dirimu sendiri?"

Pertanyaan Chae Bom itu membuat Ikaeda terdiam, ia menyadari ia harus memikirkan lebih dari sekadar menyerang. Ia harus memikirkan bagaimana cara menggunakan mana untuk meningkatkan kemampuannya secara keseluruhan.

.

.

.

Ikaeda kembali menyerang, kali ini dengan kecepatan yang lebih tinggi. Ia menyalurkan mana ke kakinya, membuatnya bergerak lincah seperti angin. Chae Bom, yang terkejut dengan perubahan kecepatan itu, sedikit lengah. Saat itulah, Ikaeda melancarkan serangan. 'Pedang' kayunya mengayun, dan kali ini, berhasil mengenai pipi Chae Bom.

Chae Bom terkejut, namun dengan cepat ia membalas serangan itu. Ia meninju perut Ikaeda dengan kuat. Ikaeda terpental, tapi sebelum ia terjatuh, ia menyalurkan seluruh mana-nya ke dalam 'Zirah Mana'. Ia mendarat dengan aman, tanpa luka.

Chae Bom menatap Ikaeda dengan tatapan kagum. "Luar biasa, Ikaeda," katanya, sambil menyentuh pipinya yang sedikit memar. "Aku tidak menyangka kau bisa melukaiku."

Ikaeda tersenyum. "Aku juga tidak menyangka," jawabnya, terengah-engah. Chae Bom tersenyum. "Pukulan tadi hanya 10% dari kekuatanku. Kau berhasil menangkisnya dengan Zirah Mana-mu. Itu artinya, kau sudah berhasil mengendalikan manamu dengan baik. Latihan kita sampai di sini."

.

.

.

Ikaeda mengangguk, ia tahu ia masih jauh dari kata sempurna, tapi hari ini, ia telah membuat kemajuan besar.

Ikaeda terbaring di tanah, napasnya terengah-engah, namun senyum kemenangan terpancar di wajahnya. Ia memandangi punggung Chae Bom yang menjauh, rasa hormat dan kekaguman mulai tumbuh di hatinya. "Gila," gumamnya, "tapi dia memang yang terbaik." Ia mencoba bangkit, tapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia tahu, ia harus beristirahat. Untuk pertama kalinya, ia merasa bangga dengan usahanya sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

....

....

.

.

.

Sementara itu, Chae Bom berjalan santai menuju pelabuhan. Ia menemukan R.I. yang sedang duduk di tepi laut, memandangi kapal-kapal yang berlabuh.

Chae Bom duduk di sampingnya, lalu meninju bahu R.I. dengan keras. "Kau! Kenapa kau tidak mengajari anak itu dasar-dasar pertahanan, hah?" serunya.

R.I. hanya tertawa kecil. "Itu karena kau ada di sini, Chae. Aku tahu kau akan mengajarinya. Dan kau juga tahu, aku tidak bisa mengajari anak itu hal-hal yang tidak kumiliki."

"Alasan!" Chae Bom membalas, matanya memancarkan api. "Lalu, kenapa kau tidak memberitahunya tentang dirimu sendiri? Tentang siapa dirimu yang sebenarnya?"

R.I. menatap lautan, wajahnya terlihat sedih. "Aku tidak bisa. Belum waktunya."

Chae Bom menghela napas, ia tahu, R.I. punya alasan tersendiri. Namun, ia tidak bisa mengabaikan rasa cemasnya. "Kau tahu, kan? Dia anak yang baik. Jangan sakiti perasaannya." R.I. hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa.

Chae Bom mendengus, "Terserahmu, Tuan dari dimensi lain," ucapnya, nadanya sarkastik. Ia tahu betul alasan R.I tidak memberitahu Ikaeda tentang identitas aslinya. Mereka adalah rival dari benua yang berbeda, Chae dari Benua Hanie dan R.I dari Benua Shirayuki Sakura.

Chae tahu, rahasia ini adalah beban berat bagi R.I. "Jadi, kau akan membantu Benua Glacio melawan penjajah disana?" tanyanya, suaranya berubah menjadi lebih lembut. "Aku tahu kau tidak akan membiarkan benua tersebut jatuh."

R.I menoleh ke arah Chae Bom, senyum tipis terukir di wajahnya. "Tentu saja. Meskipun kita rival, kita berada di sisi yang sama." Ia lalu berdiri, menatap matahari terbenam. "Aku harus pergi sekarang, Chae. Para penjajah itu sudah menunggu."

Chae Bom ikut berdiri, menatap R.I dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Hati-hati. Mereka tidak main-main. Aku tidak ingin melihat rival terbaikku mati konyol di medan perang."

R.I hanya mengangguk, lalu menghilang, seolah ditelan cahaya senja. Chae Bom menatap tempat di mana R.I berdiri tadi, menghela napas. "Dasar bodoh," gumamnya. "Dia selalu saja bertindak sendirian." Namun, di dalam hatinya, ia tahu, R.I akan berhasil. Ia harus berhasil.

.

.

.

.

.

.

.

Pagi itu, Ikaeda kembali ke lapangan, tubuhnya masih terasa pegal-pegal. Namun, tekadnya sudah bulat. Ia tahu, jika ingin menjadi kuat, ia harus melewati semua ini.

Chae Bom sudah menunggunya, kali ini dengan senyum yang lebih serius. "Bagaimana kabarmu? Sudah siap untuk latihan yang lebih intens?" tanyanya.

Ikaeda mengangguk, ia tidak mau menyia-nyiakan waktunya dengan banyak bicara.

"Bagus," kata Chae Bom. "Hari ini, kita akan belajar bagaimana cara menggunakan mana untuk memanipulasi lingkunganmu. Bukan hanya untuk menyerang, tapi juga untuk bertahan. Kau lihat pohon-pohon di sekitar kita?"

Ikaeda menoleh, melihat pohon-pohon besar yang mengelilingi lapangan itu.

"Kau harus bisa mengendalikan pohon-pohon itu. Jadikan pohon-pohon itu perisaimu, jadikan pohon-pohon itu senjatamu." Kata Chae Bom.

Ikaeda menatap Chae Bom dengan tatapan bingung. "Bagaimana caranya? Aku tidak bisa memindahkan pohon."

Chae Bom tersenyum. "Kau bisa. Kau hanya harus menyalurkan mana-mu ke dalam pohon-pohon itu, dan perintahkan pohon-pohon itu untuk bergerak. Ingat, Ikaeda, mana ada di mana-mana. Kau hanya harus mengendalikannya. Sekarang, coba salurkan mana-mu ke salah satu pohon itu, dan perintahkan pohon itu untuk menunduk."

Ikaeda memejamkan mata, memusatkan mananya pada salah satu pohon besar. Ia membayangkan mana-nya mengalir dari tubuhnya, menjalar ke akar-akar, naik ke batang, lalu ke ranting-ranting pohon. Ia mencoba memerintahkan pohon itu untuk menunduk.

Namun, alih-alih bergerak, Ikaeda merasakan sakit yang luar biasa. Itu adalah sensasi yang mencekik, seolah ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya. Napasnya terhenti, dan tubuhnya gemetar.

Chae Bom menyadari ada yang tidak beres. Dengan cepat, ia meletakkan tangannya di dahi Ikaeda. "Lepaskan!" perintahnya, suaranya tegas. "Lepaskan koneksi manamu dari pohon itu!" Ikaeda, dengan sisa-sisa kekuatannya, memutuskan koneksi mana-nya. Sensasi sakit itu perlahan menghilang, digantikan oleh rasa lega yang luar biasa. Ia terhuyung-huyung, nyaris jatuh.

"Tenang," bisik Chae Bom, menopang tubuh Ikaeda. "Itu adalah mana dari pohon itu. Setiap benda memiliki mana-nya sendiri, dan jika kau memaksa mana-mu sendiri masuk, itu bisa berbahaya. Kau harus berbicara dengan mereka, bukan memaksa mereka."

Ikaeda menatapnya, napasnya masih terengah-engah. Ia tidak tahu bahwa memanipulasi lingkungan bisa begitu berbahaya.

.

.

.

.

Evelia datang dengan membawa keranjang berisi bekal. Ia tersenyum lembut melihat Ikaeda yang terduduk lemas di tanah, sementara Chae Bom berdiri di sampingnya. "Aku membawakan makan siang," katanya, sambil meletakkan keranjang itu di dekat Ikaeda. "Latihan yang berat, ya?"

Ikaeda hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara.

Evelia lalu tersenyum pada Chae Bom. "Mari kita mengobrol sebentar, sambil makan siang."

.

.

.

.

.

Mereka berdua duduk agak jauh dari Ikaeda, menikmati makanan yang dibawa Evelia. "Dia akan baik-baik saja, kan?" tanya Evelia, suaranya dipenuhi kecemasan.

Chae Bom mengangguk. "Tentu saja. Dia anak yang kuat, Evelia. Dia hanya perlu belajar bagaimana cara mengendalikan kekuatannya."

Evelia menghela napas lega. "Aku hanya takut. Dia adalah satu-satunya anakku. Aku tidak ingin melihatnya terluka."

Chae Bom menatap Evelia, matanya melembut. "Aku mengerti. Tapi, dunia ini kejam. Jika dia tidak menjadi kuat, dia akan terluka lebih parah lagi di masa depan. Lebih baik dia terluka di sini, bersamaku, daripada di medan perang."

Evelia hanya mengangguk, ia tahu Chae Bom benar. Namun, tetap saja, hati seorang ibu tidak bisa sepenuhnya tenang. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, Ikaeda akan mengerti mengapa semua ini harus terjadi.

Evelia bangkit, mendekati Ikaeda yang masih terbaring. Ia mengelus kepala Ikaeda dengan lembut, matanya memancarkan kasih sayang seorang ibu. "Makanlah, Nak," bisiknya. "Setelah ini, kau harus kembali berlatih."

Ikaeda mengangguk pelan, lalu mengambil bekal yang dibawa Evelia. Setelah memastikan Ikaeda baik-baik saja, Evelia melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua untuk melanjutkan latihan.

"Ibumu sangat menyayangimu," kata Chae Bom, sambil duduk di samping Ikaeda. "Dia mengkhawatirkanmu."

Ikaeda mengangguk. "Aku tahu." Ia membuka bekalnya, lalu menyuapkan makanan ke mulutnya.

Chae Bom melanjutkan, "Tapi, kau harus tahu, kekhawatiran itu bisa menjadi penghalang. Kau harus bisa melepaskan diri dari kekhawatiran itu, dan fokus pada tujuanmu."

Ikaeda terdiam, memikirkan perkataan Chae Bom. Ia tahu, Chae Bom benar. Kekhawatiran akan membuat dirinya ragu, dan keraguan akan membuatnya lemah. Ia harus bisa melepaskan semua itu. Ia menatap Chae Bom, lalu berkata, "Baiklah. Sekarang, apa lagi yang harus kulakukan?"

Chae Bom tersenyum. "Selesaikan makanmu. Setelah itu, kita akan kembali berlatih. Kali ini, kita akan belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan alam, bukan memaksanya."

.

.

.

.

Setelah selesai makan, Ikaeda kembali ke tengah lapangan. Chae Bom menatapnya dengan serius. "Sekarang, pejamkan matamu," katanya. "Jangan paksa manamu. Dengarkan alam di sekitarmu. Pohon-pohon, rumput, bahkan angin. Mereka semua memiliki mana mereka sendiri. Kau harus berkomunikasi dengan mereka, bukan memaksanya."

Ikaeda memejamkan mata, memusatkan dirinya. Kali ini, ia tidak merasakan sakit. Ia merasakan... kedamaian.

Ikaeda merasa seolah-olah ia bisa mendengar suara pohon-pohon itu, suara yang begitu lembut dan menenangkan. Ia bisa merasakan angin yang membelai wajahnya, seolah-olah angin itu mencoba berbicara dengannya. Ia membuka matanya, menatap Chae Bom.

"Aku... aku mendengarnya," kata Ikaeda, suaranya dipenuhi rasa takjub. "Aku mendengarkan alam ini."

Chae Bom tersenyum. "Bagus. Sekarang, coba salurkan manamu ke salah satu pohon, tapi jangan paksa. Ajak pohon itu untuk bergerak bersamamu."

Ikaeda mengangguk. Ia memejamkan matanya lagi, memfokuskan dirinya pada satu pohon di depannya. Ia menyalurkan mananya, tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Ia tidak memaksa, tapi mengajak. Ia membayangkan pohon itu menunduk, bukan karena paksaan, tapi karena keinginan.

Perlahan, ranting-ranting pohon itu bergerak, seolah-olah pohon itu sedang menunduk. Ikaeda tersenyum, ia akhirnya berhasil. Ia menyadari, kekuatan terbesar bukanlah paksaan, tapi komunikasi.

Setelah berhasil berkomunikasi dengan alam, Chae Bom memberikan Ikaeda tumpukan buku tebal. "Luar biasa, Ikaeda. Kau berhasil menguasai teknik komunikasi alam. Sekarang, ambillah salah satu dari buku ini," katanya, "pilihlah sihir yang paling kau suka."

Ikaeda mengambil buku-buku itu, matanya menyapu setiap judul. Ada sihir es, sihir angin, sihir ilusi, dan berbagai macam sihir lainnya. Ikaeda terus membaca, sampai akhirnya matanya berhenti pada satu judul: "Sihir Api Biru".

"Sihir Api Biru?" Ikaeda bergumam. Ia teringat akan mananya sendiri yang berwarna biru. Ia merasa ada ikatan yang kuat dengan sihir itu. "Aku akan memilih ini," katanya.

Chae Bom tersenyum, "Pilihan yang bagus. Sihir Api Biru adalah sihir yang sangat kuat. Namun, itu juga merupakan sihir yang sangat berbahaya. Kau harus hati-hati dalam menguasainya."

Chae Bom melanjutkan. "Sihir api biru adalah sihir yang membakar apa pun, bahkan mana. Sihir ini tidak akan padam sebelum semuanya terbakar habis. Kau harus bisa mengendalikannya dengan sempurna, atau sihir itu akan membakar dirimu sendiri. Ingat, Ikaeda, api adalah sahabat, tapi juga musuh yang paling berbahaya. Sekarang, bacalah buku itu. Pahami setiap kalimat, setiap kata. Dan setelah kau mengerti, kita akan mulai berlatih."

Ikaeda menatap buku di tangannya, memikirkan penjelasan Chae Bom. "Sihir yang membakar mana," gumamnya. Sesuatu terlintas di benaknya, sebuah nama yang tidak pernah ia dengar di dunia ini. "Api Amaterasu," ia berbisik tanpa sadar.

Chae Bom yang mendengar itu, menoleh dengan dahi berkerut. "Api apa itu?" tanyanya, nada suaranya terdengar penasaran.

Ikaeda tersentak. "Tidak, bukan apa-apa," jawabnya cepat. "Aku hanya... mengatakannya secara spontan. Entah kenapa, kata-kata itu muncul di kepalaku." Ia menutup buku sihirnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Jadi, sihir api biru... apakah itu benar-benar seberbahaya itu?" tanyanya.

Chae Bom menatapnya dengan tatapan curiga, tapi kemudian menghela napas.

Chae Bom melanjutkan. "Sihir api biru adalah sihir yang membakar apa pun, bahkan mana. Sihir ini tidak akan padam sebelum semuanya terbakar habis. Kau harus bisa mengendalikannya dengan sempurna, atau sihir itu akan membakar dirimu sendiri. Ingat, Ikaeda, api adalah sahabat, tapi juga musuh yang paling berbahaya. Sekarang, bacalah buku itu. Pahami setiap kalimat, setiap kata. Dan setelah kau mengerti, kita akan mulai berlatih."

.

.

.

.

Tiga jam berlalu, dan Chae Bom kembali ke lapangan. Ia mendapati pemandangan yang kacau. Beberapa pohon di sekitar Ikaeda hangus, dan Ikaeda sendiri sibuk memadamkan api biru yang muncul dari telapak tangannya. Wajahnya dipenuhi keringat dan matanya panik.

"Sial! Kenapa tidak bisa padam?" gumam Ikaeda, mencoba mengendalikan api itu, tapi api itu malah semakin membesar.

Chae Bom menghela napas. "Sudah kubilang, kan? Api itu akan terus membakar sampai semuanya habis," katanya, sambil melangkah mendekat. Ia menyalurkan mana-nya ke udara, menciptakan pusaran angin yang kuat. Angin itu berputar di sekitar Ikaeda, lalu menyedot api biru itu, seolah api itu adalah debu. Api itu padam, meninggalkan Ikaeda yang terengah-engah.

"Kau tidak bisa memadamkan sihir api biru dengan air. Kau harus memadamkannya dengan mana-mu sendiri," jelas Chae Bom. "Sihir ini seperti cerminan manamu. Kau harus bisa mengendalikannya dari dalam. Sekarang, duduk. Tenangkan dirimu. Kita akan mulai dari awal lagi."

Ikaeda mengangguk, ia tahu ia sudah melakukan kesalahan besar. Ia terlalu terburu-buru, dan hampir membakar dirinya sendiri.

Ikaeda menatap Chae Bom, wajahnya masih memerah karena malu. "Aku terlalu terburu-buru," gumamnya, menyadari kesalahannya.

Chae Bom mengangguk. "Tepat. Sihir adalah seni yang membutuhkan kesabaran. Kau tidak bisa memaksa api untuk muncul begitu saja. Kau harus mengundangnya, mengenalnya, dan menyatu dengannya." Ikaeda menelan ludah, pelajaran hari ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.

"Sihir api biru adalah cerminan dari emosi penggunanya," lanjut Chae Bom, sambil duduk bersila di hadapan Ikaeda. "Jika kau marah, api itu akan membakar dengan ganas. Jika kau tenang, api itu akan stabil. Kau harus bisa mengendalikan emosimu, Ikaeda, karena jika tidak, api itu yang akan mengendalikanmu."

Ikaeda terdiam. Ia adalah orang yang mudah marah, dan ia tahu, itu akan menjadi rintangan terbesar baginya.

"Baiklah," kata Ikaeda, "aku akan coba lagi." Ia memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu memfokuskan dirinya pada api biru. Kali ini, ia tidak memaksa. Ia mengundang, ia merasakan, ia menyatu.

Perlahan, api biru muncul di telapak tangannya, tapi kali ini, api itu tenang, seolah api itu adalah bagian dari dirinya. "Aku berhasil mengendalikannya," bisiknya, takjub.

Ikaeda menatap api biru yang menari-nari di telapak tangannya. Api itu tidak lagi liar dan tak terkendali, melainkan tenang dan patuh, seolah menunggu perintahnya. Ia merasakan koneksi yang aneh dengan api itu, seolah api itu adalah bagian dari dirinya. Ia mendongak, melihat Chae Bom yang hanya tersenyum tipis, kedua tangannya terlipat di dada. Ekspresi gurunya sulit dibaca, namun Ikaeda bisa merasakan sedikit kebanggaan terpancar dari matanya.

"Bagus sekali, Ikaeda," kata Chae Bom akhirnya, suaranya pelan namun jelas. "Kau belajar dengan cepat. Tapi, ini baru permulaan. Mengendalikan api kecil di telapak tanganmu berbeda dengan menggunakannya dalam pertarungan yang sesungguhnya. Kau harus bisa memanggilnya kapan saja kau butuhkan, dan mengendalikannya dalam situasi apa pun."

Ikaeda mengangguk, ia tahu Chae Bom benar. Ini hanyalah langkah awal dari perjalanan panjangnya.

"Sekarang," lanjut Chae Bom, "coba bentuk api itu menjadi sesuatu. Senjata, perisai, atau apa pun yang kau inginkan. Ingat, imajinasimu adalah batasanmu."

Ikaeda kembali memejamkan mata, memvisualisasikan api biru itu. Ia membayangkan sebuah katana, berkilauan dengan nyala biru yang intens.

Perlahan, api di tangannya mulai bergerak, membentuk sebuah bilah yang tajam dan mematikan. Ikaeda membuka matanya, menatap katana api biru di tangannya dengan rasa kagum.

Ia merasa, ia baru saja membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Bagus. Sekarang serang aku dengan katana api itu," perintah Chae Bom, sambil berdiri dengan tangan terlipat di dada.

Ikaeda mengayunkan katana api birunya. Bilah api itu bergerak cepat, membelah udara dengan suara mendesis. Namun, Chae Bom dengan mudah menghindar.

Tiba-tiba, api biru yang sama persis muncul di tangan Chae Bom. Ia membuat katana api biru yang identik dengan milik Ikaeda. "Seranganmu masih terlalu mudah ditebak," katanya, sambil membalas serangan Ikaeda.

Ikaeda terkejut. "Bagaimana bisa kau melakukan itu?" tanyanya, tidak percaya. "Itu sihirku."

Chae Bom tersenyum. "Ingat, aku adalah gurumu," jawabnya. "Aku bisa melihat mana-mu, merasakan mana-mu, dan bahkan menirukan mana-mu. Aku adalah cerminan dari dirimu, Ikaeda. Jadi, jika kau ingin menyerangku, kau harus menyerang dirimu sendiri."

"Setiap gerakanmu, setiap aliran mana-mu, aku bisa merasakannya. Aku tahu apa yang akan kau lakukan sebelum kau melakukannya," lanjut Chae Bom, sambil menangkis serangan Ikaeda lagi. "Kau harus belajar untuk menipu dirimu sendiri, Ikaeda. Kau harus belajar untuk tidak bisa ditebak. Karena jika tidak, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, dan kau tidak akan pernah bisa menjadi kuat."

Ikaeda mengangguk, ia tahu, tantangan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Chae Bom melepaskan jubahnya, memperlihatkan pakaian bertarung yang ketat dan lincah. "Sudah siap?" tanyanya, senyumnya kali ini bukan senyum ramah, melainkan senyum seorang petarung yang siap menguji lawannya.

Ikaeda mengangguk. Ia memejamkan mata, memusatkan mana-nya. Ia menyalurkan mana-nya ke tiga arah sekaligus: ke katana api birunya, ke tubuhnya untuk membentuk 'zirah mana', dan sebagian kecil ia simpan untuk sihir penyembuhan jika ia terluka. Ia tahu, ia harus bersiap untuk segala kemungkinan.

"Kau belajar dengan cepat," puji Chae Bom. "Tapi, itu tidak akan cukup. Kau harus bisa melakukan semua itu tanpa berpikir. Secara insting."

Ikaeda membuka matanya. Katana api birunya berkilau, zirah mananya terasa dingin dan kuat, dan ia merasakan cadangan mana untuk penyembuhan siap digunakan kapan saja. Ia memandang Chae Bom, lalu mengangguk lagi. Kali ini, ia akan bertarung dengan serius.

.

.

.

.

..

.

.

.

Pertarungan dimulai. Chae Bom menyerang terlebih dahulu, gerakannya cepat dan mematikan. Ikaeda menangkis serangan Chae Bom dengan pedang api birunya.

Benturan itu menciptakan percikan api dan getaran hebat. Ikaeda tahu, Chae Bom tidak menggunakan 5% kekuatannya. Ia menggunakan seluruh kekuatannya untuk melatih Ikaeda.

"Ayo, Ikaeda!" teriak Chae Bom. "Tunjukkan padaku apa yang kau punya!" Ikaeda tersenyum, ia merasa, ini adalah pertarungan yang sesungguhnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pertarungan sengit itu berlanjut. Ikaeda mengayunkan pedang api birunya, setiap gerakannya diperkuat oleh mana. Chae Bom menghindar dan menangkis, tangannya seolah-olah dilapisi perisai tak kasat mata.

"Terlalu lambat, Ikaeda! Aku sudah melihat gerakan itu ribuan kali!" teriak Chae Bom. Ia meninju udara, menciptakan gelombang kejut yang membuat Ikaeda harus menangkis. Ia lalu melesat, membalas serangan itu dengan kecepatan yang luar biasa.

"Fokus! Jangan hanya mengandalkan kekuatan, gunakan akalmu!" monolog Chae Bom saat ia menangkis serangan Ikaeda. "Kau punya mata, kau punya otak, gunakan itu! Aku tidak akan memberimu belas kasihan!"

Chae Bom lalu menginjak tanah, menciptakan getaran yang membuat keseimbangan Ikaeda goyah. Dalam sepersekian detik itu, Chae Bom sudah berada di belakangnya, sebuah pukulan telak mendarat di punggungnya. Ikaeda terpental, tapi senyum tipis terukir di wajahnya. Ia tahu, Chae Bom tidak bermaksud jahat. Ini bukan pertaruhan, ini adalah pelajaran yang paling berharga.

"Kau harus bisa membaca gerakanku, bukan hanya bereaksi!" teriak Chae Bom. "Jika kau tidak bisa mengalahkanku, bagaimana kau bisa melawan musuh yang lebih kuat? Bangkit, Ikaeda! Bangkit dan tunjukkan padaku bahwa kau adalah pejuang sejati!"

Ikaeda bangkit, terengah-engah, tapi senyum tipis terukir di wajahnya. Ia tahu, Chae Bom tidak bermaksud jahat. Ini bukan pertaruhan, ini adalah pelajaran yang paling berharga.

.

.

.

.

.

Ikaeda bangkit, terengah-engah, namun matanya memancarkan tekad yang membara. Ia mengacungkan pedang api birunya, tetapi kali ini, gerakannya berbeda. Ia tidak menggunakan kuda-kuda yang biasa ia pelajari dari R.I.

Gerakannya lebih lincah, lebih aneh, dan tidak bisa ditebak. Ini adalah kuda-kuda orisinitnya, yang muncul begitu saja dari instingnya. Chae Bom melihatnya, dan senyum tipis terukir di wajahnya.

"Akhirnya," gumamnya, "kau mulai menemukan dirimu sendiri."

Ikaeda tidak menjawab, ia hanya fokus pada Chae Bom. Ia tidak lagi memikirkan serangan yang mematikan, atau pertahanan yang sempurna. Ia hanya memikirkan bagaimana cara mengalahkan Chae Bom. Ia melancarkan serangan, gerakannya aneh, tapi cepat dan mematikan.

Chae Bom, yang sudah terbiasa dengan gerakan Ikaeda, sedikit terkejut. Ia tidak bisa menebak apa yang akan Ikaeda lakukan selanjutnya.

.

.

.

.

"Luar biasa," puji Chae Bom, sambil menghindari serangan Ikaeda. "Itu adalah langkah pertamamu untuk menjadi seorang Knight sejati. Knight sejati tidak hanya mengandalkan kekuatan, tapi juga kreativitas. Sekarang, tunjukkan padaku apa yang kau punya!"

Ikaeda tersenyum, ia merasa, ia baru saja menemukan jati dirinya. Ia tidak lagi mengikuti jejak R.I., tapi ia menciptakan jejaknya sendiri.

.

.

.

.

.

Ikaeda menari dalam pertarungan, gerakannya lincah dan tidak terduga. Ia menikmati setiap momen, seolah-olah ia sedang menari dengan Chae Bom. Setelah beberapa saat, Ikaeda melemparkan pedang api birunya ke arah Chae Bom.

Chae Bom, dengan refleks luar biasa, menghindar. Namun, ada satu hal yang tidak Chae Bom ketahui. Di saat yang sama, Ikaeda menggunakan sihirnya untuk berteleportasi ke tempat di mana pedangnya menancap.

Chae Bom terkejut, matanya membelalak. Ia baru menyadari ada orang lain selain R.I. yang bisa melakukan teknik 'Warp Strike' ini. Ia mengangkat tangannya, lalu tersenyum puas. "Luar biasa, Ikaeda," katanya.

.

.

.

.

Saat itu juga, Ikaeda muncul di belakangnya, menodongkan pedang api birunya ke punggung Chae Bom.

.

.

.

.

.

.

"Aku menang," bisik Ikaeda, napasnya tersengal-sengal.

Chae Bom hanya tersenyum. "Ya, kau menang," jawabnya. "Aku tidak menyangka kau bisa melakukan 'Warp Strike'. Itu adalah teknik yang sangat sulit, dan hanya sedikit orang yang bisa melakukannya."

Chae Bom berbalik, menatap Ikaeda. "Selamat, Ikaeda. Kau bukan lagi muridku. Kau sudah menjadi seorang pejuang sejati."

Chae Bom berbalik, menatap Ikaeda dengan senyum bangga. "Selamat, Ikaeda. Kau berhasil melampaui dirimu sendiri."

Ia lalu mengedipkan mata, "Dan sekarang, kau bukan lagi muridku. Kau sudah menjadi seorang pejuang sejati. Pangeran yang kuat."

Ikaeda terdiam, ia tahu Chae Bom sedang menggodanya, tapi entah kenapa, ia merasa tersanjung. Ia memang putra dari Araya Yuki Yamada, pemimpin Benua Shirayuki Sakura, dan putra angkat Evelia Namida, pemimpin wilayah Suzaku. Secara langsung, ia adalah seorang pangeran. Namun, selama ini ia tidak pernah menganggap dirinya seperti itu.

"Jangan berlebihan," gumam Ikaeda, wajahnya sedikit memerah. "Aku masih jauh dari kata kuat."

Chae Bom tertawa. "Pangeran yang rendah hati," katanya. "Itu adalah kualitas yang langka. Tapi, kau harus tahu, Ikaeda. Kau punya kekuatan yang luar biasa. Kau punya mana yang murni dan kuat, kau punya insting seorang pejuang, dan kau punya tekad yang tidak bisa dihancurkan. Kau adalah harapan bagi Benua Shirayuki Sakura."

.

Ikaeda menatap Chae Bom, matanya dipenuhi pertanyaan. "Harapan?" tanyanya.

Chae Bom mengangguk. "Ya. Suatu hari nanti, kau akan mengerti. Tapi untuk sekarang, nikmati kemenanganmu. Kau sudah membuktikan dirimu. Kau sudah membuktikan bahwa kau adalah seorang Knight sejati, dan juga seorang pangeran yang kuat."

Ikaeda tersenyum. Ia tahu, perjalanan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Dan ia sudah tidak sabar untuk menghadapinya.

.

.

.

.

.

.

.

"Chae-san, apa kau akan kembali ke Benua Hanie sekarang?" tanya Ikaeda, matanya dipenuhi harapan.

Chae Bom tersenyum. "Tidak," jawabnya. "Aku akan berada di Benua Shirayuki Sakura untuk sementara waktu, mungkin sampai R.I. kembali."

Mendengar lega, wajah Ikaeda langsung berseri-seri. Ia merasa lega, ia tidak ingin kehilangan gurunya yang gila ini.

"Kalau begitu," kata Ikaeda, suaranya dipenuhi semangat, "tolong latih aku lagi, saat kau sedang senggang."

Chae Bom tertawa. "Kau tidak kapok dengan latihanku?"

Ikaeda menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku butuh latihanmu. Aku butuh menjadi lebih kuat."

Chae Bom menatapnya dengan tatapan bangga. "Baiklah, kalau begitu. Aku akan melatihmu. Tapi, jangan harap latihanku akan menjadi lebih mudah."

.

.

.

.

Ikaeda tersenyum. Ia tahu, perjalanan yang ia hadapi tidak akan mudah. Namun, dengan Chae Bom di sisinya, ia merasa lebih percaya diri. Ia tahu, ia akan menjadi Knight yang kuat, dan suatu hari nanti, ia akan bisa melindungi Benua Shirayuki Sakura. Ia tidak sabar untuk menghadapi petualangan-petualangan baru yang akan datang.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!