Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Malaikat Penolong atau Pembohong Besar?
Siang itu, langit Jakarta mendung pekat, seolah menahan beban air yang siap tumpah. Di lantai 15, Nayla sedang sibuk menyiapkan materi presentasi untuk rapat mingguan Pak Broto. Pikirannya agak kacau karena ucapan Vina kemarin sore masih terngiang-ngiang.
Drrt... Drrt... Drrt...
Ponsel Nayla di atas meja bergetar panjang. Telepon dari Bu RT di lingkungan kontrakannya. Perasaan tidak enak langsung menyergap hati Nayla. Jarang sekali Bu RT menelepon kalau tidak ada hal mendesak.
"Halo, Assalamualaikum Bu RT?"
"Waalaikumsalam, Nay! Kamu pulang sekarang, Nay! Nenek... Nenek Ijah pingsan di kamar mandi! Ini lagi warga gotong mau dibawa ke RSUD!" Suara Bu RT panik, diiringi suara riuh warga di latar belakang.
Darah Nayla berdesir hebat. Wajahnya pucat pasi seketika. Map di tangannya jatuh ke lantai.
"A-apa Bu? Pingsan? Terus... terus sekarang gimana?"
"Udah nggak sadar, Nay! Napasnya sesek banget. Kamu langsung ke UGD RSUD ya! Cepetan!"
"Iya... iya Bu! Saya jalan sekarang!"
Nayla mematikan telepon dengan tangan gemetar hebat. Air mata langsung merebak. Tanpa pikir panjang, ia menyambar tasnya. Persetan dengan presentasi, persetan dengan Pak Broto. Nyawa Nenek adalah segalanya.
"Mau ke mana, Nay? Rapat 10 menit lagi lho," tegur Vina yang melihat Nayla berlari panik.
"Nenek saya masuk rumah sakit, Mbak! Saya harus pergi!" seru Nayla tanpa menoleh, berlari menuju lift.
Vina tertegun sejenak, lalu sudut bibirnya terangkat. "Drama lagi."
Namun, di sudut lain ruangan, Rian yang mendengar itu segera mengirim pesan singkat ke seseorang. Bukan ke HRD, tapi ke nomor yang pernah Adit berikan padanya dengan pesan: "Kalau ada apa-apa sama Nayla, hubungi saya."
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) siang itu seperti pasar malam. Penuh sesak, bau obat-obatan bercampur keringat, dan suara tangisan keluarga pasien bersahutan.
Nayla berlari menyusuri lorong UGD dengan napas memburu. Ia menemukan Nenek Ijah terbaring di brankar (ranjang dorong) di lorong sempit karena ruang perawatan penuh. Wajah Nenek pucat kebiruan, selang oksigen menempel di hidungnya.
"Nenek!" Nayla menghambur memeluk tubuh ringkih itu.
"Sabar ya, Mbak. Dokter lagi nanganin pasien kecelakaan beruntun. Antreannya panjang," ujar seorang perawat yang tampak kelelahan.
"Tapi Nenek saya sesak napas, Sus! Riwayat jantung! Tolong didahulukan!" mohon Nayla histeris.
"Semua di sini darurat, Mbak. Tunggu giliran ya. Atau kalau mau cepet, cari rumah sakit swasta lain. Di sini ICU penuh."
Dunia Nayla runtuh. Pindah rumah sakit? Dengan kondisi Nenek kritis begini? Dan biaya swasta pasti mencekik leher, meski ia punya asuransi kantor, proses admin rujukan butuh waktu.
Nayla menggenggam tangan dingin neneknya, menangis tak berdaya. "Maafin Nayla, Nek... Nayla nggak guna..."
Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh menyentuh bahunya.
"Nayla."
Nayla menoleh. Di sana berdiri Adit. Napasnya juga terengah, kemejanya sedikit berantakan. Ia jelas baru saja berlari.
"Mas Adit? Kok... kok tau?"
"Rian kasih tau. Gimana kondisi Nenek?" Adit langsung memeriksa monitor detak jantung portabel yang terpasang asal-asalan. Angkanya tidak stabil.
"Kritis Mas... ICU penuh... Dokter nggak ada..." tangis Nayla pecah di dada Adit.
Adit menatap sekeliling. Kekacauan ini tidak bisa ditoleransi. Uang dan kekuasaan tidak ada gunanya jika ia diam saja melihat nenek dari wanita yang dicintainya meregang nyawa di lorong pengap ini.
Persetan dengan penyamaran.
"Tunggu di sini. Jaga Nenek," perintah Adit tegas. Suaranya berubah, bukan lagi suara Mas Adit yang lembut, tapi suara Aditya Rahardian sang CEO.
Adit melangkah menjauh ke sudut yang agak sepi. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan speed dial nomor 1.
"Halo, Dokter Gunawan? Ini Adit," ucapnya dingin dan otoritatif.
"Pak Adit? Tumben telepon siang-siang. Ada apa?" Suara Direktur Utama Rumah Sakit Permata—salah satu RS swasta termewah di Jakarta yang saham mayoritasnya dimiliki Rahardian Group—terdengar kaget.
"Kirim ambulans high care unit sekarang ke RSUD Pasar Rebo. Jemput pasien atas nama Ibu Ijah. Bawa ke Permata. Siapkan kamar VVIP dan tim spesialis jantung terbaik kamu. Saya mau dia ditangani dalam 20 menit dari sekarang."
"Ta-tapi Pak, ambulans kita lagi..."
"Saya tidak menerima alasan, Dok. 20 menit. Atau saya evaluasi suntikan dana yayasan bulan depan."
"Siap! Siap laksanakan Pak! Tim berangkat sekarang!"
Adit mematikan telepon. Ia menarik napas panjang, mengatur ekspresi wajahnya kembali menjadi "Mas Adit yang khawatir", lalu kembali ke sisi Nayla.
"Tenang Nay. Saya udah telepon temen saya. Ambulans lagi jalan ke sini. Kita pindah ke RS Permata."
Nayla mendongak, matanya basah. "RS Permata? Itu kan rumah sakit mahal banget, Mas! Asuransiku emang cover?"
"Udah nggak usah mikirin biaya. Nyawa Nenek lebih penting. Asuransi kantor kita bagus kok, tenang aja," Adit menenangkan, mengusap kepala Nayla.
Benar saja. Kurang dari 15 menit, sirine ambulans mewah terdengar meraung membelah kemacetan. Tiga orang paramedis dengan seragam rapi dan peralatan lengkap turun, langsung mencari pasien bernama Ibu Ijah.
"Keluarga Ibu Ijah?" tanya paramedis itu sopan.
"Saya!" jawab Nayla kaget.
Para medis itu bekerja dengan cekatan dan sangat hormat—terlalu hormat malah. Mereka memindahkan Nenek ke ambulans dengan hati-hati.
"Silakan Ibu dan Bapak ikut di depan," ujar sopir ambulans sambil membukakan pintu untuk Adit. Sikap sopir itu terlihat segan sekali pada Adit, meski Adit berusaha membuang muka.
Sesampainya di RS Permata, perlakuan istimewa berlanjut. Nenek Ijah tidak masuk UGD umum, tapi langsung dibawa masuk lewat jalur khusus menuju Presidential Suite Ward yang disulap menjadi ruang perawatan intensif sementara.
Nayla terbengong-bengong. Ruangan itu lebih mirip kamar hotel bintang lima daripada kamar rumah sakit. Ada sofa kulit, TV layar datar raksasa, kitchen set, dan pemandangan taman. Dokter spesialis senior langsung datang memeriksa.
Setelah satu jam yang menegangkan, dokter keluar menemui Nayla dan Adit di ruang tunggu privat.
"Kondisinya sudah stabil, Bu Nayla. Serangan jantung ringan akibat kelelahan, tapi untung cepat ditangani dengan obat peluruh sumbatan terbaik. Kalau telat sedikit saja tadi di RSUD, mungkin ceritanya beda," jelas dokter itu ramah.
Nayla lemas saking leganya. Ia merosot duduk di sofa empuk. "Alhamdulillah... Terima kasih, Dok."
Dokter itu kemudian melirik Adit, mengangguk hormat sedikit lebih dalam dari biasanya. "Kalau butuh apa-apa lagi, langsung panggil saya saja, Pak."
Adit mengedipkan mata, kode agar dokter itu segera pergi.
Setelah dokter pergi, hening menyelimuti ruangan. Nayla menatap sekeliling ruangan mewah itu, lalu menatap Adit yang sedang menuangkan air mineral ke gelas.
Kecurigaan itu akhirnya meledak.
"Mas Adit," panggil Nayla. Suaranya bergetar, bukan karena sedih, tapi karena takut.
"Ya, Nay? Minum dulu nih."
"Ini semua... nggak masuk akal," Nayla tidak mengambil gelas itu. Ia menatap mata Adit tajam. "Ambulans dateng cepet banget. Masuk kamar VVIP tanpa antre. Dokter spesialis langsung nanganin. Dan sikap mereka ke Mas Adit... mereka kayak takut sama Mas."
Adit menelan ludah. "Kan saya bilang, temen saya kerja di sini."
"Temen Mas dokter biasa atau pemilik rumah sakit?" tembak Nayla. "Mas, tolong jujur. Asuransi staf admin level saya plafonnya cuma VIP biasa, bukan Presidential Suite kayak gini. Semalam tarif kamar ini mungkin setara gaji saya sebulan. Siapa yang bayar?"
Adit terdiam. Ia terpojok.
Berbohong lagi akan semakin menyakitkan. Tapi jujur sekarang, saat emosi Nayla sedang tidak stabil, bisa membuat wanita itu merasa berhutang budi atau malah merasa ditipu.
"Nay..." Adit duduk di samping Nayla, meletakkan gelas di meja. "Dengerin saya."
"Saya punya tabungan, Nay. Dulu... dulu saya pernah kerja di luar negeri, gaji lumayan. Saya kenal beberapa orang penting karena kerjaan lama saya. Jadi saya pake koneksi itu buat bantu Nenek. Soal biaya, anggep aja saya talangin dulu. Kamu bisa cicil ke saya kapan aja. Seumur hidup juga nggak apa-apa."
Itu adalah kebohongan setengah matang.
Nayla menatap Adit, mencari kebenaran di mata itu. Penjelasan itu terdengar sedikit masuk akal, tapi masih banyak lubangnya. Staf Pengawas Umum yang punya tabungan ratusan juta dan koneksi Direktur RS?
Namun, rasa lelah dan rasa syukur karena Nenek selamat mengalahkan logika Nayla saat itu.
Nayla menunduk, air matanya menetes lagi. "Kenapa Mas baik banget sama aku? Kita baru kenal sebentar... Aku nggak punya apa-apa buat bales ini..."
Adit meraih tangan Nayla, menggenggamnya erat.
"Karena saya sayang sama kamu, Nay. Dan sama Nando. Saya nggak bisa liat kamu nangis."
Pengakuan itu keluar begitu saja. Tanpa rencana, tanpa strategi. Murni dari hati.
Nayla tersentak. Ia menatap Adit, wajahnya memerah. Di tengah bau antiseptik rumah sakit mewah ini, di antara bunyi monitor detak jantung, sebuah perasaan baru bersemi dengan kuat.
"Mas..."
"Udah, jangan dipikirin sekarang. Yang penting Nenek sembuh dulu. Kamu istirahat, muka kamu pucat banget."
Adit membiarkan Nayla bersandar di bahunya. Untuk saat ini, Nayla memilih untuk percaya. Atau lebih tepatnya, memilih untuk menutup mata karena ia terlalu takut kehilangan sosok pelindung ini.
Tapi di luar pintu kamar VVIP, seorang perawat muda sedang berbisik pada temannya.
"Eh, itu tadi Pak Aditya Rahardian kan? CEO grup kita? Kok nungguin pasien biasa? Pacarnya ya?"
Dan sialnya, di belakang perawat itu, ada seseorang yang sedang menjenguk kerabatnya di kamar sebelah dan mendengar percakapan itu. Seseorang yang satu divisi dengan Vina di kantor pusat.
Gosip itu kini punya sayap, dan siap terbang menuju Vina besok pagi.
...****************...
Bersambung...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️