Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Sangkara memperingati kuasa hukumnya abahnya. Namun, tidak dengan cara mendatangi langsung melainkan dengan cara mengirimkan rekaman suara yang memang dia rekam saat terbangun dari tidurnya.
“Hati-hati, pak! Jika anda mau hidup lama, jaga diri anda sendiri. Jika tidak, yaaa silakan biarkan mereka habisi nyawa anda itu!”
Sebuah pesan yang Sangkara kirim membuat pak Tomi yang menerima pesan tersebut hanya menghela napas panjang. Sangkara memang sangat mirip dengan Adi. Namun, sepertinya tingkah lakunya sudah di pengaruhi oleh hal lain. Atau mungkin ini dampak dari kematian keluarganya secara tragis. Jadi, Sangkara terlihat seperti tidak punya hati dan terkesan sangat dingin tak tersentuh.
Sangkara kembali menyimpan ponselnya setelah mengirim pesan tersebut kepada pak Tomi. Dia sekarang sudah berada di dalam sebuah mobil cukup mewah. Mobil yang dia beli secara mendadak. Namun, sekarang sangat berguna.
“Mas, saya ikut ke rumah mas atau bagaimana?” tanya seorang supir yang mengendarai mobil milik Sangkara.
“Turunkan saya dekat terminal saja, pak. Dan bapak bisa kembali ke rumah. Siapa tahu nanti bang Ello pulang dan membutuhkan bapak,” sahut Sangkara.
“Baik, mas. Tapi, mas gak apa-apa kan?”
“Saya gak apa-apa, pak? Akan apa-apa, jika bang Ello tahu kalau saya minjam bapak secara diam-diam!”
Supir tersebut tersenyum tipis, “ah, mas Ello gak bakal marah. Paling ya ngomel, mas. Kayak gak tahu bagaimana mas Ello saja.”
“Nah itu, saya yang gak mau, pak. Dia ngomel gak cukup sebentar. Saat dia ingat, pasti akan kembali ngomel. Saya gak sanggup mendengarnya!”
“Baik mas, nanti saya akan langsung pulang setelah mengantar mas sampai terminal.”
Kepala Sangkara mengangguk, “terimakasih, pak!”
Sangkara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Sedangkan matanya melihat kearah luar, melihat pemandangan yang di lewati dalam diam. Sejenak otaknya mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat dirinya masih berkerja di Jepang. Saat itu dia bukan perkerja yang neko-neko. Dia kerja, lalu pulang. Begitu terus hingga dia mendapatkan jatah libur.
Karena kangen dan rindu pada dua sahabatnya yang di tempatkan di daerah lain. Sangkara menggunakan waktu liburnya untuk mengujungi dua sahabatnya. Namun, bukan bertemu dengan dua sahabatnya. Sangkara malah masuk dalam kondisi atau keadaan yang sulit. Ingin kabur namun, hati nuraninya tidak mengijinkan. Mau bantu, namun dia takut.
Tapi akhirnya, dia tetap membantu orang yang terkena luka tembak. Bahkan dia pun ikut aksi tembak menembak dengan orang yang sama sekali tidak dia kenali. Entah tembakannya meleset atau tepat, yang jelas dia hanya ingin melindungi dirinya sendiri dan orang yang terluka itu.
Aksi tembak menembak itu tidak berlangsung terlalu lama. Karena bala bantuan dari orang yang terluka itu, datang membantu.
“Anda harus ikut kami! Jika tidak, nyawa anda akan terancam,” seru salah satu laki-laki dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Kenapa nyawa saya terancam?” tanya Sangkara takut, penasaran dan bingung menjadi satu.
Secara singkat, laki-laki itu menjelaskan kepada Sangkara. Dan penjelasan itu membuat dirinya semakin merasakan takut. Mau tidak mau, Sangkara mengikuti laki-laki itu. Niatnya ingin berkunjung dan bertemu dengan dua sahabatnya menjadi batal.
Ternyata tidak hanya itu saja, Sangkara benar-benar tidak bisa kembali berkerja. Karena situasi semakin bertambah kacau, apa lagi orang yang di bantu oleh Sangkara sempat kritis.
“Kamu ikut kami saja, masalah uang jangan kamu pikirkan. Kami akan mengirimkan uang secara rutin kepada keluarga kamu. Dari pada kamu tetap di sini, tapi hidup kamu tidak tenang!”
“Tapi…”
“Saya jamin hidup kamu akan lebih baik. Apa yang kamu inginkan, akan saya wujudkan!”
Sangkara terdiam, dia tampak berpikir sejenak. Lalu menganggukkan kepalanya. Ternyata Sangkara dibawa ke sebuah Negara yang ada di benua Eropa. Di sana dia di perlakukan sangat baik. Dia di didik bahkan di kuliahkan di jurusan yang bisa Sangkara pilih sendiri. Namun, semuanya tidak berjalan dengan lancar. Sangkara pernah terluka parah karena sebuah pertempuran. Dia sangat koma beberapa bulan, walau akhirnya dia bisa sadar lagi, namun untuk pulih 100% membutuhkan waktu cukup lama.
“Mas… Mas…!”
“Eh, iya pak.”
“Kita sudah sampai, mas,” ungkap supir tersebut. “Saya tidak tahu apa yang pikirkan atau lamunkan, yang jelas saya hanya bilang. Yang berlalu ya sudah berlalu. Tidak bisa di putar kembali, dan jangan ada kata andai terus dalam hidup. Agar hidup kita bisa maju ke depan!”
Bibir Sangkara tersenyum, “noted, pak. Terimakasih ya pak!”
“Sama-sama, mas. Hati-hati ya?”
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Suasana hening sangat terasa ketika kaki Sangkara masuk ke dalam desanya. Tidak satu pun warga desa yang dia temui. Padahal sekarang belum terlalu larut malam. Walaupun sudah larut malam pun, masih ada orang yang berjaga di pos ronda.
“Sunyi bangeet sih?” gumam Sangkara.
Pemuda itu terus melangkah hingga berhenti di depan rumah kepala desa. Rumah yang paling mewah di desanya biasanya terlihat gemerlap dan bercahaya, sekarang terlihat seperti rumah tanpa penghuni. Tidak ada sedikit pun cahaya yang terpancar dari rumah itu. Bahkan tidak ada suara yang terdengar dari dalam rumah.
“Hmm, kayaknya dia menjalankan tugasnya dengan baik. Harus aku kasih apresiasi!” ujar Sangkara pelan.
“Siapa yang akan kamu kasih apresiasi, Kara?”
Seeeeeet…
Kepala Sangkara langsung menoleh ke belakang. Dia menghela napas lega ketika mengetahui siapa yang berdiri di belakangnya.
“Hai, dok. Selamat malam… Mau pulang atau mau kemana, dok?” sapa Sangkara sambil tersenyum kearah dokter Adit.
“Mau cari kamu! Dan sangat kebetulan bertemu kamu di sini! Dari mana saja Sangakara? Beberapa hari ini saya ke rumah kamu untuk ngajak mancing, tapi kamu selalu tidak ada di rumah. Sudah bosan tinggal di sini ya?”
“Bosan? Hmm, tidak ada kata bosan, dok. Soalnya saya di lahirkan dan di besarkan di sini. Hanya saja kemaren saya ada urusan penting. Jadi, terpaksa deh pergi. Dokter kangen saya ya? Atau dokter ingin mengorek kehidupan saya? Atau malah dokter pengen melihat foto-foto emak saya?” cerca Sangkara yang membuat dokter Adit terdiam.
Apa yang disebutkan oleh Sangkara semuanya benar. Dia ingin tahu lebih dalam lagi tentang Sangkara, dia ingin melihat foto-foto emaknya Sangkara yang dia yakini itu adalah kakak kandungnya. Dan juga dia ingin mengambil sehelai rambut atau sesuatu yang bisa dia gunakan untuk tes DNA.
“Om…!” panggil Sangkara dengan kedua tangan dia rentangkan.
Dokter Adit yang melihat tingkah Sangkara mengernyitkan dahinya. Dia tidak bergerak, malah menatap Sankara dengan tatapan bingung.
“Tidak mau peluk saya, om? Bukannya oom merindukan keponakan oom yang menghilang?”
“Apa maksud kamu Sangkara???”
Sangkara tersenyum, dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.
“Saya dapat ini dari kuasa hukum a…”
“SANGKARAAAA!!!”
Semangat untuk authornya... 💪💪