Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Malam itu turun perlahan di langit Surabaya. Langit tampak kelabu, dan angin malam berembus lembut melewati pepohonan di halaman kediaman keluarga Wiranegara. Di kamar besar di lantai dua, suasana sunyi hanya dipecah oleh suara detak jam dinding yang terdengar pelan, mengiringi napas teratur dua insan yang masih terjaga.
Reina duduk di sisi tempat tidur, tangannya masih menggenggam tangan Aditya. Sementara Aditya, meski tampak lemah, menatap wajah gadis itu dengan senyum yang samar namun hangat. Di antara mereka, tak ada lagi jarak seperti sebelumnya. Luka yang sempat menganga di hati Reina perlahan tertutup, digantikan oleh rasa iba, pengertian, dan cinta yang tak bisa ia tolak lagi.
“Aditya…” bisiknya lirih.
Aditya mengangkat wajahnya untuk menatap lembut wajah Reina yang diterangi cahaya lampu meja di samping ranjang.
“Hmm?”
Reina menatapnya lama sebelum akhirnya berkata,
“Aku sudah memaafkan mu.”
Kata-kata itu sederhana, tapi mampu membuat dada Aditya bergetar. Napasnya sempat terhenti sejenak, seolah menahan rasa haru yang datang tiba-tiba. Ia mengulurkan tangannya dengan lemah untuk menyentuh pipi Reina.
“Terima kasih.” ucap Aditya pelan, hampir tak terdengar. “Aku tidak pantas mendapatkan maafmu, tapi aku bersyukur karena kau akhirnya mau memaafkan semua kesalahanku.”
Reina menunduk, air matanya kembali jatuh tanpa ia sadari.
“Kau mungkin telah melakukan hal yang salah, Aditya, tapi aku tahu alasannya. Aku tahu kamu hanya ingin membuat mereka menerimaku meski caramu keliru.”
Aditya menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. “
Aku terlalu bodoh waktu itu. Aku berpikir kalau dunia bisa ku lawan dengan cara sesederhana itu, tapi ternyata tidak. Aku hanya menyakitimu.”
Reina menggeleng pelan, lalu menggenggam tangan Aditya semakin erat.
“Kita sama-sama belajar dari semua ini, Aditya. Aku tidak ingin mengingat masa lalu itu lagi. Aku hanya ingin kau sembuh, dan setelah itu kita bisa mulai dari awal.”
Senyum lembut terbit di bibir Aditya. Ia mengangguk pelan setelah mendengar perkataan Reina.
“Dari awal…” ulang Aditya, seolah mengukir janji dalam hati.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Reina menoleh sekilas ke arah jendela, tapi tak sempat mengatakan apa pun ketika suara langkah tergesa-gesa dan pintu besar di lantai bawah terbuka keras yang suaranya menggema hingga ke lantai atas.
Itu suara Pak Arman.
Bu Ratna yang baru saja masuk ke kamar Aditya sempat menegang.
“Dia sudah pulang…” gumamnya pelan, pandangannya penuh kecemasan.
Reina langsung menunduk, sementara Aditya menatap wajahnya ibunya dengan wajah yang mulai tegang. Sementara Bu Ratna menatap keduanya dengan ekspresi tenang namun waspada.
“Tetap di sini. Apa pun yang terjadi, kalian jangan keluar kamar.” katanya tegas, lalu melangkah cepat keluar ruangan sebelum Pak Arman sempat naik ke atas.
Suara langkah kaki berat pak Arman yang menaiki tangga dengan cepat membuat suasana rumah mendadak tegang.
Tak butuh waktu lama, sosok Pak Arman muncul di lorong lantai dua dengan wajah yang menegang penuh amarah. Ia berjalan cepat menuju kamar Aditya, namun sebelum tangannya sempat menyentuh gagang pintu, Bu Ratna sudah berdiri di hadapannya dan memegang pergelangan tangannya dengan kuat.
"Mau kemana kau Arman?" ujar Bu Ratna dengan suara pelan tapi tegas dan membuat Pak Arman menatap istrinya dengan tajam.
“Aku ingin berbicara dengan anakku.”
“Tidak,” balas Bu Ratna. “Kau ingin mengusir gadis itu, bukan? Aku tahu niatmu, Arman.”
Pak Arman menghela napas kasar, nada suaranya meninggi.
“Dia tidak pantas tinggal di rumah ini, Ratna! Gadis itu tidak pantas menjejakkan kakinya di rumah ini! Aku tidak akan membiarkan Aditya semakin terpengaruh oleh gadis kampungan itu!”
“Cukup, Arman!” suara Bu Ratna kini naik setingkat. “Kalau kau ingin marah, kita bicara di ruang kerja. Sekarang.”
Pak Arman sempat diam, lalu menatap istrinya dengan tajam sebelum melangkah ke arah ruang kerjanya di lantai bawah. Bu Ratna mengikutinya dengan langkah cepat, memastikan tak ada pelayan yang mendengar pembicaraan mereka. Begitu pintu ruang kerja tertutup, suasana di dalamnya langsung berubah mencekam.
Pak Arman berjalan ke arah meja besar dari kayu jati itu, meletakkan kedua tangannya di atas permukaannya, sembari menatap istrinya dengan sorot mata tajam.
“Apa maksudmu membawa gadis itu ke rumah ini, Ratna? Kau tahu siapa dia.”
Bu Ratna menegakkan bahunya.
“Aku tahu betul siapa dia. Dia adalah gadis yang dicintai anakmu. Dan aku tidak akan membiarkan bapak menyakitinya lagi.” jawab Bu Ratna yang membuat Pak Arman mengepalkan tangannya.
“Cinta? Cinta tidak ada artinya ketika masa depan keluarga ini dipertaruhkan, Ratna! Aditya harus menikah dengan Alisha, itu sudah keputusanku. Tidak ada yang bisa mengubahnya, termasuk kau!”
“Dan aku,” balas Bu Ratna dingin, “sudah memutuskan untuk merestui Aditya dengan Reina.”
Ruangan itu membeku.
Pak Arman perlahan menegakkan tubuhnya, wajahnya memucat lalu berubah merah menahan amarah.
“Apa yang kau katakan?”
“Aku bilang, aku merestui mereka berdua.” Suara Bu Ratna bergetar, namun tegas. “Aku sudah melihat bagaimana gadis itu mencintai anakmu, Arman. Aku melihat bagaimana dia menangis, berdoa, dan memohon agar Aditya tetap hidup. Aku tidak peduli dari mana asalnya, aku hanya tahu bahwa dia tulus mencintai Aditya.” ucap Bu Ratna yang membuat Pak Arman menggeleng tidak percaya.
“Ratna, kau terlalu terbawa emosi. Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan. Kalau Aditya menikah dengan Reina, reputasi keluarga kita akan hancur. Nama besar Wiranegara akan jadi bahan ejekan semua orang.”
“Nama besar?” potong Bu Ratna dengan nada getir. “Apa artinya nama besar, Arman, kalau kau bahkan tidak bisa melindungi kebahagiaan anakmu sendiri?”
Pak Arman membeku. Ia menatap istrinya dengan tatapan kosong, namun tak ada kata yang keluar.
“Sudah terlalu lama kau menekan anakmu,” lanjut Bu Ratna dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. “Bapak berpikir bisa melindunginya dengan kekuasaan dan aturan, padahal bapak hanya membuatnya kehilangan dirinya sendiri. Dan sekarang, ketika dia akhirnya menemukan seseorang yang membuatnya hidup kembali, bapak ingin menghancurkannya lagi?”
“Cukup!” bentak Pak Arman, suaranya bergema keras hingga terdengar ke luar ruangan. Namun Bu Ratna tak gentar.
“Aku tidak akan diam kali ini, Arman. Aku akan membela anakku. Jika bapak ingin melarang hubungan mereka, maka bapak harus berhadapan denganku.”
Kata-kata itu menembus pertahanan Pak Arman. Ia menatap istrinya dengan campuran amarah dan ketakutan, takut kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mendukungnya.
“Ratna…” suara pak Arman melembut, namun masih terdengar tegang. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk Aditya. Kau tahu itu. Alisha bukan sembarang gadis, keluarganya pemilik Bank Permadi. Pernikahan ini bisa memperkuat masa depan bisnis kita. Aku melakukannya demi Aditya juga.”
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/