NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 — Fitnah dan Ketakutan

Langit di atas Sekte Langit Tenang belum kembali biru sejak hujan merah turun. Kabut masih menggantung di setiap sudut paviliun, membawa aroma besi yang menempel di kulit dan tak pernah benar-benar hilang. Angin yang berembus dari Lereng Timur seolah masih membawa gema jeritan dari malam itu—jeritan yang tak seorang pun ingin mengingat, tapi juga tak bisa dilupakan.

Shen Wuyan berjalan perlahan di jalan batu yang menghubungkan aula utama dengan halaman latihan. Setiap langkahnya memantulkan gema kecil di antara dinding batu putih. Tak ada satu pun murid yang menatap langsung ke arahnya. Sebagian berpaling pura-pura berbicara, sebagian lagi menunduk dalam-dalam, seakan bayangan Wuyan sendiri bisa menelan mereka.

Bisikan halus terdengar dari balik tirai bambu di sisi jalan.

“Katanya… hujan darah itu datang karena dia.”

“Dia yang memanggilnya, bukan?”

“Formasi roh meledak saat dia menatap langit—aku melihatnya sendiri.”

“Shh! Kau ingin ikut mati?”

Langkah Wuyan berhenti. Ia tidak menoleh. Tapi di bawah cahaya suram, bayangannya di tanah tampak lebih panjang dari tubuhnya, lebih pekat, dan bergoyang pelan seperti makhluk yang bernapas.

Ia mengangkat pandangannya perlahan. Di ujung jalan, seekor burung roh terbang melintas, tapi bahkan makhluk itu menjauh darinya seolah merasakan sesuatu yang asing.

Udara di sekitarnya terasa menebal; setiap napas seperti menghirup air dingin.

Dalam diam, suara familiar bergema dari dalam dirinya.

"Lihat, Wuyan… bahkan langit pun enggan menatapmu."

Ia menutup mata sesaat. “Diam.”

"Mereka takut pada apa yang mereka lihat. Tapi apa salahmu jika kebenaran terlalu menakutkan bagi mereka?"

Wuyan membuka mata. Langkahnya kembali teratur, tapi bayangan di belakangnya tetap bergerak dengan ritme berbeda, seolah tidak mengikuti gerak tubuhnya.

Ruang makan sekte, yang biasanya dipenuhi suara percakapan, kini seperti aula pemakaman. Murid-murid duduk dalam kelompok kecil, berbicara pelan, mata mereka sesekali melirik ke arah satu meja di sudut ruangan — tempat Shen Wuyan duduk sendirian.

Semangkuk bubur spiritual di depannya sudah dingin. Ia hanya menatap permukaannya yang memantulkan cahaya redup dari lentera di atas. Permukaan cairan itu bergetar ringan, seperti jantung yang berdetak lemah.

“Katanya, segelnya hancur sepenuhnya…”

“Elder Ming Zhao menutupi sesuatu.”

“Kalau benar dia sudah tersentuh kegelapan, kenapa dia masih dibiarkan di sini?”

Suara-suara itu samar, tapi bagi telinganya terdengar jelas, tajam seperti bilah tipis.

Jari-jari Wuyan mengepal tanpa suara. Aura spiritualnya bergerak liar untuk sesaat, membuat piring di sekitarnya bergetar halus. Murid di meja sebelah spontan menyingkirkan kursinya.

Ia menutup mata, menarik napas panjang. “Aku hanya menyelamatkan mereka,” gumamnya dalam hati.

Tapi dari dasar pikirannya, suara itu datang lagi — lebih lembut, seperti desiran ombak di tengah malam.

"Mereka tidak ingin diselamatkan oleh sesuatu yang mereka anggap iblis."

Sendok di tangannya patah. Bunyi kecil itu bergema lebih keras dari yang seharusnya. Semua kepala menoleh. Wuyan menatap benda itu di tangannya tanpa emosi, lalu meletakkannya perlahan di atas meja. Tak ada satu pun yang berani berbicara.

Ia bangkit, meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Namun saat melewati pintu, seseorang berbisik terlalu keras.

“Kalau malam ini dia mengamuk, siapa yang akan menghentikannya?”

Langkahnya berhenti sepersekian detik, lalu melanjutkan tanpa sepatah kata pun.

Sore hari, kabut semakin tebal. Di Aula Batu Giok, Elder Ming Zhao menatap formasi penyucian roh di depannya yang berkilau redup. Saat Wuyan masuk dan berlutut, suasana ruangan terasa seperti pusara.

“Guru,” ucapnya pelan.

Ming Zhao menatap muridnya itu lama, mata tuanya dipenuhi sesuatu yang sulit diartikan. “Kau tahu apa yang dibicarakan sekte tentangmu?”

“Rumor kosong, Guru,” jawab Wuyan datar. “Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”

“Tidak ada yang kosong di dunia roh, Wuyan.” Nada suara Ming Zhao tegas namun bergetar. “Kau melepaskan segel tanpa izin. Kau memanggil kekuatan yang bahkan aku tidak bisa pahami. Sekarang, setiap mata di sekte ini melihatmu sebagai ancaman.”

“Kalau aku tidak melepaskannya, mereka semua sudah mati.”

“Dan sekarang?” tanya Ming Zhao lirih. “Kau menyelamatkan mereka untuk hidup dalam ketakutan padamu.”

Hening.

Cahaya dari formasi memantulkan wajah Wuyan dalam warna biru pucat. Matanya kosong, tapi ada sesuatu di baliknya — api yang tidak padam, hanya tersembunyi di balik kabut.

“Aku tidak menyesal,” katanya akhirnya.

Ming Zhao menunduk. “Kau terlalu muda untuk memahami harga dari keyakinan seperti itu.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara hampir berbisik, “Dunia tidak peduli apa yang benar, Wuyan. Dunia hanya mengingat apa yang tersisa setelah darah mengering.”

Kata-kata itu menggantung lama.

Ketika Wuyan meninggalkan aula, mata sang guru mengikutinya, tapi tidak dengan kepercayaan seperti dulu. Ada jarak yang tumbuh di sana — diam, tapi nyata.

Malam turun dengan cepat. Di kamar batunya yang sempit, Wuyan duduk di depan cermin batu yang retaknya semakin lebar. Retakan itu membentuk garis seperti urat nadi yang bercahaya samar. Ia menatap dirinya sendiri lama, tanpa gerak.

Bayangan dalam cermin bergetar halus, tapi sesuatu di dalam pantulan itu tampak tidak serupa dengannya. Senyumnya muncul tanpa ia sadari.

“Mereka membencimu,” suara itu datang pelan.

“Diam.”

“Mereka takut pada apa yang mereka lihat dalam dirimu.”

“Aku bukan seperti kalian.”

Bayangan itu tersenyum lebih lebar. “Kau yakin?”

Retakan di cermin bertambah satu, melengkung seperti garis bibir yang menahan tawa.

Wuyan menarik napas panjang, menunduk. Tangannya bergetar halus, bukan karena marah, tapi karena menyadari betapa mudahnya suara itu menembus pikirannya sekarang.

Di luar, lonceng malam berbunyi dua kali. Angin berembus masuk dari jendela, memadamkan satu lilin di sudut ruangan. Dalam gelap, hanya cahaya dari segel retak di dadanya yang masih berdenyut lemah — merah seperti bara yang menolak padam.

Suara itu berbisik lagi.

"Kau bisa merasakannya, bukan? Setiap tatapan, setiap bisikan, seperti jarum di bawah kulitmu."

“Cukup.”

"Kalau mereka memutuskan kau iblis, maka yang tersisa hanyalah bertingkah seperti iblis."

Wuyan menggigit bibir, darah menetes dari sudut mulutnya. Tapi ia tidak bersuara lagi. Hanya diam yang tersisa, berat, panjang, seperti malam yang menolak berakhir.

Keesokan paginya, kabut belum menghilang. Cahaya matahari hanya menembus sebagai garis abu-abu di antara dinding-dinding giok. Di halaman latihan, para murid berkumpul dalam keheningan. Suara bisikan terdengar seperti dengung lebah yang gelisah.

Di tengah mereka, nama yang dibicarakan semua orang tetap berdiri dengan wajah datar — Shen Wuyan.

Hari itu, pelatihan rutin diadakan di bawah pengawasan Elder Wu Han. Tapi bahkan sang elder tampak enggan menatap langsung ke arah Wuyan. Setiap instruksi yang ia berikan, setiap koreksi yang diucapkan, tidak pernah diarahkan pada Wuyan meski jelas ia satu-satunya yang menonjol di lapangan itu.

Ketika giliran sparring tiba, seorang murid perempuan bernama Su Lin melangkah maju. Ia seharusnya menjadi pasangan latihan Wuyan seperti biasa. Namun kali ini, ia mundur setengah langkah, lalu menggeleng.

“Aku tidak ingin berlatih dengan iblis,” katanya keras, cukup untuk memecah kesunyian.

Suara itu bergema di antara dinding batu, diikuti hening yang lebih berat dari sebelumnya. Beberapa murid memalingkan wajah, sebagian menatap Wuyan dengan mata ragu, tapi tidak satu pun yang menegur Su Lin.

Elder Wu Han hendak berbicara, namun Wuyan sudah lebih dulu mengangkat kepalanya.

Tatapannya tenang, tapi suaranya dingin. “Kalau aku iblis,” katanya datar, “kau tidak akan sempat berkata begitu.”

Kata-kata itu membuat udara di sekitar mereka mengencang. Aura spiritual yang selama ini ia tekan mulai bocor, menimbulkan tekanan halus yang membuat lantai bergoyang. Bayangannya di tanah membesar, melebar hingga menutupi setengah lapangan.

Su Lin mundur, wajahnya pucat. “Lihat! Dia tidak bisa menahan dirinya!”

Teriakannya memancing panik. Para murid bergeser menjauh. Elder Wu Han segera membentuk segel pelindung, suaranya tegang. “Tenangkan dirimu, Shen Wuyan!”

Namun Wuyan hanya berdiri di tempat, kedua matanya perlahan kembali redup. Ia menunduk, menekan aura itu kembali masuk ke tubuhnya. “Aku tenang,” ucapnya pelan. “Kalian saja yang tidak.”

Saat ia berjalan keluar dari lapangan, suasana tetap membeku. Tidak ada yang mengejar, tidak ada yang memanggil. Hanya langkahnya yang bergema, panjang dan berat.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti kabus yang tak berakhir. Sekte seolah menutup diri tanpa pengumuman resmi, tapi setiap perubahan terasa seperti keputusan yang sudah diambil.

Satu demi satu, para murid mulai menjauh. Orang-orang yang dulu menyapanya di jalan kini berpura-pura tidak mengenal. Beberapa bahkan mengganti tempat latihan agar tak berada dalam satu formasi dengannya.

Di depan kamarnya, formasi roh kecil dipasang — bukan formasi perlindungan, tapi formasi penjaga. Bagi mereka yang tahu, simbol itu berarti: objek pengawasan, bukan perlindungan.

Setiap kali Wuyan melangkah keluar, ia merasakan tatapan halus dari arah lain. Kadang di atap, kadang di balik tirai bambu. Langkah-langkah ringan mengikutinya hingga ke pintu paviliun, tapi selalu berhenti ketika ia menoleh.

Sekte Langit Tenang, tempat ia tumbuh dan belajar selama bertahun-tahun, kini terasa seperti penjara luas dengan tembok tak terlihat.

Malam itu, hujan turun lagi. Tidak merah kali ini, tapi warna kelabu yang membawa hawa dingin menusuk tulang.

Wuyan duduk di serambi kamarnya, menatap langit tanpa bintang. Air menetes dari atap, jatuh di lantai batu dengan ritme perlahan, seperti suara detak waktu yang membusuk.

Ia menatap telapak tangannya, bekas segel di dada masih terasa hangat kadang-kadang — seperti luka yang menolak sembuh.

Dalam diam, suara itu kembali.

"Kau tahu kenapa mereka tidak mempercayaimu?"

Ia tidak menjawab.

"Karena mereka tahu apa yang tersembunyi di dalam laut jiwamu. Mereka tahu suatu hari kau akan berhenti menahan arus itu."

“Aku tidak akan berhenti.”

"Kau sudah melakukannya sekali. Kau pikir bisa menahan lagi?"

Wuyan menutup matanya. Dalam pikirannya, bayangan laut perak muncul lagi — tenang di permukaan, tapi beriak di bawahnya. Wajah-wajah samar menatapnya dari kedalaman, bisu tapi hidup.

Suara tawa halus terdengar dari dalam laut itu, bercampur dengan bunyi hujan di luar.

“Kenapa… semua harus berubah seperti ini?” gumamnya pelan.

"Karena kau lupa, Wuyan," jawab suara itu lembut, "bahwa manusia tak pernah memaafkan yang mereka tak pahami."

Hujan semakin deras. Angin membawa aroma lembap tanah bercampur abu, mengisi udara dengan perasaan hampa yang sulit dijelaskan.

Keesokan harinya, aula utama sekte dipenuhi murid dan tetua. Elder Ming Zhao berdiri di depan altar, memimpin upacara pembersihan roh bagi korban Lereng Timur. Nama-nama dibacakan satu per satu. Setiap nama diikuti oleh doa.

Tapi ketika nama Shen Wuyan disebut sebagai penyintas, suasana menjadi ganjil. Hening panjang menggantikan doa. Beberapa tetua menunduk, sebagian murid berpaling.

Wuyan berdiri di barisan paling belakang, mengenakan jubah hitam sederhana. Ia tidak menunduk, tidak pula menatap ke depan. Ia hanya berdiri di antara orang-orang yang dulu memanggilnya saudara, kini bahkan tak berani mengucap namanya.

Setelah upacara selesai, ia berjalan keluar melewati halaman utama. Di tanah basah, bayangannya tampak retak oleh pantulan air.

Dari arah belakang, seseorang bersuara pelan tapi cukup keras untuk didengar semua.

“Kalau bukan karena dia, hujan merah itu tak akan turun.”

Wuyan berhenti. Tidak menoleh. Tidak menjawab. Tapi udara di sekitarnya menegang, dan orang yang bicara langsung terdiam ketakutan.

Elder Ming Zhao yang menyaksikan dari jauh tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap muridnya itu dengan pandangan yang hancur perlahan.

Malam tiba lagi. Wuyan duduk di depan cermin batu yang kini hampir seluruhnya retak. Pantulan dirinya terbelah menjadi banyak bagian. Setiap potongan wajahnya memiliki ekspresi berbeda: marah, dingin, kosong, tersenyum.

“Semua ini…” katanya pelan, “…hanya karena aku hidup.”

Bayangan dalam pantulan menatapnya, lalu tersenyum samar.

"Tidak. Karena kau hidup dan mereka tidak bisa mengendalikannya."

Cermin bergetar, retakannya merambat hingga ke meja batu. Lilin di sekitarnya padam satu per satu. Dalam gelap, hanya bayangan yang tersisa.

Wuyan mengangkat tangan, menyentuh permukaan retak itu. Dingin. Licin. Tapi dari sisi lain cermin, sesuatu seolah menyentuh balik.

"Mereka membencimu karena mereka takut pada yang serupa," bisik suara itu, semakin dekat.

Wuyan terdiam. Tatapannya kosong, tapi matanya memantulkan dua cahaya berbeda warna — satu miliknya, satu lagi bukan.

Pagi berikutnya, saat kabut baru mulai turun, ia membuka pintu kamarnya. Di tanah di depan pintu, segel roh baru telah diukir — pola penjaga dengan simbol pembatas.

Ia menatapnya tanpa ekspresi. Hujan semalam belum benar-benar berhenti; tetes air masih jatuh dari atap, membasahi segel itu hingga tampak seperti mata yang menangis.

Di kejauhan, suara langkah murid lain terdengar, tapi tak satu pun mendekat. Mereka berjalan cepat, kepala tertunduk, seolah kehadirannya bisa menulari sesuatu yang tak terlihat.

Wuyan menatap ke tanah lama sekali, lalu menengadah. Langit di atas Sekte Langit Tenang kelabu pekat, tak menunjukkan warna lain selain abu.

Di dalam dirinya, tawa lembut itu muncul lagi, kali ini tidak dari laut perak, tapi dari kedalaman dada yang kosong.

"Kau melihatnya, bukan? Dunia ini sudah memutuskan kau bukan bagian dari mereka."

Ia tidak menjawab. Ia hanya berdiri, membiarkan angin meniup ujung jubahnya yang basah.

"Kau tidak perlu menyesal," lanjut suara itu. "Kau hanya perlu berhenti berharap mereka akan memahamimu."

Hening panjang menyelimuti halaman. Bayangan Wuyan di tanah perlahan berubah bentuk — sedikit lebih tinggi, sedikit lebih gelap, sedikit lebih hidup.

Dan untuk pertama kalinya, ia tak lagi tahu siapa yang sedang berdiri di bawah langit itu — dirinya, atau sesuatu yang sedang tumbuh di dalamnya.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!