Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 — Di Antara Ribuan Wajah
Segalanya sunyi. Tidak ada arah, tidak ada udara, tidak ada cahaya.
Hanya perasaan tenggelam tanpa dasar — seperti jatuh dalam mimpi yang tak pernah selesai.
Shen Wuyan membuka matanya, tapi tak ada kelopak untuk digerakkan. Dunia di sekelilingnya bergetar dalam warna perak yang kabur, seperti lautan logam yang hidup. Setiap riaknya memantulkan sesuatu: wajah, mata, bibir — potongan dirinya sendiri yang tak lagi ia kenali.
“Di mana aku…” suaranya muncul tanpa bibir, meluncur sebagai gema di cairan itu.
Namun gema itu menjawab dari segala arah, suaranya identik, namun datang dalam nada berbeda.
“Di dalam dirimu sendiri.”
“Di tempat kau menenggelamkan semuanya.”
“Di Laut Tanpa Dasar.”
Ia mencoba bergerak, tapi tubuhnya tak memiliki bentuk. Ia hanya mengalir, larut dalam zat aneh itu. Di kejauhan, ratusan wajah mulai mengambang perlahan, membentuk lingkaran di sekelilingnya.
Beberapa tersenyum dengan lembut, beberapa menatap dengan mata kosong, dan sebagian menangis tanpa suara.
Wuyan ingin berpaling, tapi ke mana pun ia melihat, wajah-wajah itu mengikuti.
Laut ini seperti cermin yang tidak hanya memantulkan, tapi menelusuri ingatan terdalamnya.
Dari antara kerumunan itu, satu wajah muncul lebih dekat — wajah seorang anak kecil, mungkin berusia tujuh tahun, dengan mata jernih yang penuh rasa takut.
Anak itu menatapnya dan berkata, “Kau melupakan aku.”
Wuyan terdiam. Ia mengenali suara itu, samar-samar dari masa silam ketika ia pertama kali melihat kematian di depan mata.
“Aku tidak melupakanmu,” jawabnya lirih.
“Tapi kau menghapusku,” kata anak itu, dan permukaan laut berguncang. “Kau berpura-pura kuat, tapi aku yang menangis waktu itu. Aku yang menjerit.”
Setiap kata anak itu menimbulkan gelombang halus yang merambat jauh, hingga wajah-wajah lain mulai berbisik.
Bisikan itu seperti doa tanpa arti, bergulung-gulung di dalam pikirannya.
Wuyan memejamkan pikirannya — mencoba menutup kesadaran, tapi tak ada lagi batas antara pikiran dan dunia. Semua di sini adalah ia, semua yang menatapnya adalah pecahan yang pernah ia tolak.
Dari balik kerumunan, muncul wajah remajanya — murid muda dengan mata yang dulu penuh ambisi.
“Kenapa kau berhenti mempercayai kekuatanmu?”
Wuyan menatapnya, suaranya dingin. “Karena kekuatan hanya membawa kehilangan.”
Remaja itu tersenyum sinis. “Kehilangan bukan kesalahan kekuatan, tapi kesalahan hati yang tak bisa menanggung akibatnya.”
Gelombang lain menghantam, dan dari baliknya, muncul wajah perempuan — Liang Yu. Rambutnya melayang di air perak seperti kabut hitam. Ia menatap Wuyan tanpa dendam, tanpa kasih.
“Wuyan,” katanya, suaranya serak lembut, “kau masih mencariku bahkan di dunia seperti ini?”
“Tidak,” jawab Wuyan perlahan. “Aku mencari diriku sendiri.”
Liang Yu tersenyum tipis. “Kalau begitu, kenapa wajahku masih ada di sini?”
Pertanyaan itu memotong napasnya. Ia tidak punya jawaban.
Wajah-wajah lain mulai muncul dari bawah permukaan, seperti bintang yang muncul satu demi satu di langit terbalik. Semuanya adalah dirinya — dalam berbagai usia, dalam berbagai luka, dalam berbagai kebohongan yang ia katakan pada dirinya sendiri.
Mereka berbisik dalam serentak:
“Aku yang menolak menangis.”
“Aku yang menolak mencintai.”
“Aku yang mengaku kuat.”
“Aku yang ingin mati.”
Ratusan suara itu berpadu menjadi getaran besar. Laut perak berubah menjadi pusaran, dan Wuyan merasa tubuhnya — atau apa pun sisa dari bentuknya — mulai ditarik.
Tiba-tiba, dari arah yang tak terduga, sebuah sosok muncul berjalan di atas permukaan cairan.
Bayangan.
Ia tampak sama seperti sebelumnya — wajah tanpa warna, mata yang gelap namun jernih.
“Jadi akhirnya kau di sini,” katanya datar.
“Apa ini ulahmu?” tanya Wuyan dengan nada rendah.
“Tidak,” jawab Bayangan. “Ini adalah hasil dari tatapanmu sendiri. Laut hanya menunjukkan apa yang sudah ada di dalammu.”
“Semua ini hanya delusi.”
“Kalau begitu, kenapa kau gemetar?”
Wuyan terdiam. Laut bergetar pelan, seolah ikut menertawakan kebisuannya.
Bayangan melangkah mendekat. Setiap langkahnya menciptakan riak yang memantulkan ribuan wajah. “Kau mengira kau bisa menguasai kekuatan jiwa tanpa memahami retakannya? Setiap wajah yang kau lihat adalah satu alasan kenapa kau belum utuh.”
“Kalau aku terima mereka semua, apa yang tersisa dariku?”
“Kesadaran yang baru,” jawab Bayangan. “Atau kehancuran yang sempurna.”
Suara itu bergema seperti mantra. Wuyan menatap laut di sekelilingnya — pusaran wajah yang berputar semakin cepat, membentuk spiral besar.
Tiba-tiba, satu wajah meloncat keluar dari permukaan dan menempel di tubuhnya.
Ia menjerit, merasakan ingatan menyeruak masuk: darah, pedang, malam panjang di mana ia membunuh untuk bertahan.
Wajah itu menatapnya dengan tatapan dingin, dan sebelum ia sempat menolak, wajah itu menyatu dengannya — lenyap ke dalam dirinya.
Ia terhuyung, terengah-engah tanpa paru-paru. Tapi setelahnya, ada sesuatu yang berubah.
Suara di dalam pikirannya menjadi lebih jelas, lebih tenang.
Ia tidak tahu apakah itu pertanda pemahaman, atau awal kegilaan.
Bayangan berbicara lagi, suaranya tenang tapi menekan.
“Setiap wajah yang kau akui akan kembali ke tempatnya. Tapi semakin banyak yang kau terima, semakin tipis batasmu sebagai satu kesadaran.”
“Dan kalau aku menolak?”
“Laut ini akan menelannya untukmu.”
Laut tiba-tiba bergemuruh keras. Dari dasar yang tak terlihat, muncul ribuan tangan cair yang mencoba menjangkau Wuyan. Ia berusaha menjauh, tapi setiap langkah hanya membawanya ke pusaran lain.
Satu wajah muncul di antara riak — wajah tanpa mata, hitam sepenuhnya, seperti kekosongan.
Wuyan menatapnya dengan napas tertahan. Ia tahu wajah itu. Ia tahu rasa dingin yang dibawanya.
Bayangan menatap wajah itu dengan datar. “Itu adalah yang belum kau beri nama. Kosongmu. Keinginanmu untuk berhenti menjadi apa pun.”
“Kenapa dia di sini?”
“Karena bagian itu juga milikmu.”
Wajah hitam itu melangkah di permukaan cairan, tak mengeluarkan suara. Ketika ia membuka mulutnya yang tak berbentuk, lautan bergetar — bukan oleh suara, tapi oleh makna yang tak bisa diterjemahkan.
Semua wajah lain menunduk.
Bahkan Bayangan pun tidak bergerak.
Wuyan tahu ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang bukan sekadar ingatan atau emosi — tapi pusat dari kehampaannya sendiri.
Ia menatap balik, tubuhnya hampir hancur oleh tekanan spiritual yang menyelimuti ruang ini.
“Kalau aku terima kau,” katanya dengan suara bergetar, “apa yang tersisa dari Shen Wuyan?”
Wajah itu tidak menjawab. Hanya mendekat, perlahan, seperti bayangan bulan yang menelan cahaya terakhir di permukaan laut.
***
Wajah hitam itu berhenti tepat di depan Wuyan. Jaraknya hanya sehelai napas, tapi Wuyan tahu — jika ia membiarkannya mendekat sedikit saja, semuanya akan berakhir.
Namun pada saat yang sama, sesuatu dalam dirinya berbisik lirih: Bukankah ini yang kau cari selama ini?
Ia menatap wajah itu lebih dalam. Tidak ada mata, tidak ada bentuk, hanya kehampaan yang memantulkan dirinya dalam bayangan tak berujung.
Di kedalaman gelap itu, ia melihat segala hal yang pernah ia tolak — semua kematian, semua rasa bersalah, semua cinta yang ia biarkan membusuk.
Suaranya bergetar. “Jadi ini… inti dari semuanya?”
Bayangan di belakang menjawab pelan, “Ini adalah tempat di mana kau berhenti menjadi manusia, tapi belum menjadi iblis.”
Laut mulai bergetar pelan. Gelombang cahaya perak memantul di wajah-wajah lain, seolah mereka semua menanti keputusan yang akan mengubah segalanya.
Wuyan mengulurkan tangan — bukan karena keberanian, tapi karena kelelahan.
Ketika ujung jarinya menyentuh permukaan wajah hitam itu, waktu berhenti.
Seketika, semua suara lenyap. Laut menjadi senyap mutlak.
Lalu, satu demi satu wajah di sekelilingnya mulai larut menjadi cahaya lembut. Tidak ada jeritan, tidak ada penolakan. Mereka meleleh seperti lilin di bawah napas hangat, mengalir menuju pusat — menuju dirinya.
Wuyan merasakan sesuatu yang berat memasuki pikirannya.
Rasa sedih, amarah, cemburu, cinta, kehilangan — semuanya datang bersamaan, menabrak batas kesadarannya tanpa ampun. Ia ingin menolak, tapi setiap kali ia mencoba, wajah hitam itu menatapnya lebih dalam, menegaskan bahwa penolakan hanya akan membuatnya tenggelam kembali.
“Terimalah,” suara itu berbisik tanpa suara. “Kau tak perlu menjadi sempurna. Cukup menjadi utuh.”
Lalu tubuhnya — atau apa pun sisa dari bentuknya — mulai bergetar hebat.
Ia melihat potongan kenangan berkelebat: malam ia pertama kali membunuh; hari Liang Yu meninggalkan sekte; masa ketika ia menatap darahnya sendiri menodai tanah salju.
Semua itu menyatu menjadi satu aliran panjang, tak terputus, hingga ia tak tahu lagi apakah ia sedang mengingat atau sedang bermimpi.
Bayangan berdiri di tepi pusaran, matanya tak berpaling. “Ini harga dari melihat wajahmu sendiri.”
“Apakah aku akan hancur?” tanya Wuyan.
“Tidak,” jawab Bayangan dengan suara pelan, “kau akan menjadi sesuatu yang bahkan kehancuran pun tak bisa menyentuh.”
Laut bergetar lebih keras. Dari dalam pusaran muncul suara-suara — bukan lagi wajah, tapi gema perasaan yang tak berbentuk.
“Kami kembali.”
“Kami mendengar.”
“Kami adalah kau.”
Wuyan menjerit, bukan karena sakit, tapi karena tekanan jiwa itu terlalu besar untuk ditanggung oleh satu kesadaran.
Dalam sekejap, Laut Tanpa Dasar berubah menjadi cermin yang benar-benar memantulkan dirinya — ribuan versi Wuyan yang menatap dari segala arah, setiap satu di antaranya dengan ekspresi berbeda.
Namun kali ini, tidak ada kebencian di mata mereka.
Hanya pengakuan.
Satu wajah tersenyum pelan, seperti refleksi masa lalu yang akhirnya diterima.
Yang lain menunduk dengan tenang, seolah lega telah menemukan tempatnya.
Cahaya perak meredup menjadi abu-abu lembut, dan Wuyan merasa sesuatu di dalam dirinya kembali menyatu.
Dalam keheningan yang menakutkan, suara Liang Yu terdengar samar dari jauh.
“Jangan melawan, dengarkan mereka…”
Ia menutup mata — atau mungkin membuka matanya yang lain — dan membiarkan suara itu menuntunnya.
Laut mulai surut. Cairan perak turun perlahan, meninggalkan permukaan batu di bawahnya.
Udara kembali hadir, lalu gravitasi, lalu tubuh. Ia tersadar sedang berlutut di tengah altar yang retak, tangan gemetar di atas genangan kecil sisa logam cair.
Bayangan berdiri di belakangnya, diam.
Wuyan menatap refleksinya di permukaan logam itu — tapi kali ini, bukan satu wajah yang ia lihat.
Ada dua.
Keduanya sama, namun berbeda.
Satu dengan tatapan lembut yang lelah, satu lagi dengan senyum samar yang tak bisa dijelaskan.
Keduanya menatap satu sama lain, lalu menoleh padanya bersamaan.
“Ini belum akhir,” kata Bayangan pelan.
“Aku tahu,” jawab Wuyan, suaranya datar namun tenang. “Ini baru awal dari memahami siapa aku sebenarnya.”
Ia berdiri perlahan. Tanah di bawah altar masih bergetar lembut, seperti detak jantung yang berasal dari bumi itu sendiri.
Kabut di sekitarnya menipis, memperlihatkan langit tanpa bintang di atas — gelap, namun tenang, seperti mata dunia yang sedang menatap.
Wuyan menatap cermin perak itu sekali lagi.
Di dalamnya, wajah-wajah yang tadi menjerit kini diam, seolah menunggu panggilan berikutnya. Ia tahu mereka belum pergi. Mereka hanya menunggu saatnya diakui sepenuhnya.
Dari dalam pikirannya, suara yang dalam dan tenang berbisik lembut, begitu dekat seakan muncul di belakang telinganya sendiri:
“Ini baru permulaan. Masih banyak wajah yang belum kau kenali.”
Wuyan menunduk, menggenggam tanah lembab di bawah tangannya.
Rasa dingin menembus kulitnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut. Ia tahu bahwa Laut Tanpa Dasar bukan tempat untuk dihancurkan, melainkan cermin yang harus dipahami.
Ia menatap langit sekali lagi sebelum berbalik.
Kabut lembah kembali menutup altar, menelan cermin itu dalam keheningan purba.
Dan di antara bisikan jauh dari dalam tanah, terdengar gema samar yang hampir seperti doa:
“Satu wajah telah diterima. Seribu menunggu.”
Wuyan berjalan menjauh, langkahnya berat namun mantap.
Setiap bayangan di bawah kakinya tampak hidup — bukan musuh, bukan hantu, tapi bagian dari dirinya yang akhirnya ikut melangkah bersama.