Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: KETENANGAN OBSIDIAN
Lari.
Satu kata itu menjadi satu-satunya arsitektur di benak Rania. Lari.
Dia menarik Reza, yang tersandung di sisinya seperti boneka kain yang rusak. Kakinya yang terbungkus sepatu kets kebesaran milik Dion menabrak trotoar, mengirimkan getaran rasa sakit yang tumpul ke tulang keringnya. Dia mengabaikannya. Rasa sakit adalah data. Data bisa diabaikan.
Kekacauan telah meledak di sekitar mereka.
Suara lolongan frekuensi tinggi yang Rania rasakan sebagai gelombang psikis—serangan sonik yang dipicu oleh "Koreksi"—telah melakukan tugasnya. Itu telah memecahkan gelembung ketidaktahuan kolektif kota.
Orang-orang tidak lagi berdiri dan menatap.
Mereka *berteriak*.
Seorang wanita dengan setelan bisnis tersandung keluar dari lobi kantor, menjatuhkan tas kerjanya, tangannya menekan pelipisnya begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. "Hentikan!" jeritnya. "Hentikan suaranya!"
Seorang pria bersandar di tiang lampu, muntah hebat ke selokan, tubuhnya kejang.
Dan sirene-sirene itu...
Sirene-sirene itu ada di mana-mana. Raungan polisi, ambulans, dan pemadam kebakaran yang tumpang tindih dari segala penjuru, semuanya melaju menuju satu titik nol: "Kopi Titik Koma".
Tapi saat mereka semakin dekat, Rania mendengar sesuatu yang baru. Suara sirene itu sendiri mulai *salah*.
Raungannya tidak stabil. Nada *wail* yang familiar itu akan bergetar, lalu melengking ke frekuensi yang mustahil, lalu mati sejenak, seolah-olah sistem kelistrikan kota itu sendiri sedang mengalami kejang. "Koreksi" itu merusak lebih dari sekadar materi. Itu merusak *gelombang*.
"Ra... aku tidak bisa... aku tidak bisa..." Reza terengah-engah, tersandung lagi. Dia adalah jangkar yang menyeret mereka berdua ke bawah.
"Kamu *bisa*," Rania membentak, suaranya lebih keras dari yang dia duga. Dia menariknya begitu keras hingga bahu Reza hampir terkilir.
Dia tidak melihat ke belakang. Dia tidak berani. Dia hanya merasakan—bahkan dengan amulet obsidian yang meredam Gema di lehernya—panas yang aneh dan dingin di punggungnya. Panas dari realitas yang sedang dihapus.
Amulet itu sendiri terasa berat. Benda itu bergetar pelan di kulit dadanya, sebuah denyutan konstan yang menenangkan sekaligus menakutkan. Benda itu berfungsi.
Dunia di sekelilingnya, selain dari kekacauan manusiawi, tampak sangat *normal*. Tidak ada ikan. Tidak ada distorsi. Tidak ada *blueprint* oranye.
Dia *buta*.
Dan dia membencinya.
Dia telah hidup selama kurang dari dua puluh empat jam dengan indra keenam itu, dan sekarang, ketiadaannya terasa seperti kehilangan anggota tubuh. Dia merasa telanjang. Terbuka. Dia tidak tahu apakah Pria Berpayung itu ada di belakang mereka. Dia tidak tahu apakah Gema liar yang dipanggil oleh pria itu sedang menyebar di bawah aspal, "meluruskan" jalan di belakang mereka.
Dia hanya punya insting kurirnya. Dan itu harus cukup.
"Belok sini!" teriaknya.
Dia menarik Reza keluar dari jalan raya utama, masuk ke jalan tikus sempit di antara dua gedung perkantoran. Ini adalah rute yang biasa dia ambil untuk memotong lalu lintas. Sebuah jalan pintas yang hanya diketahui oleh kurir dan tikus.
Gang itu sunyi. Suara sirene dan jeritan tiba-tiba terdengar jauh.
Reza langsung roboh. Dia bersandar ke dinding bata yang kotor, tergelincir ke posisi duduk, dan meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tubuhnya berguncang hebat.
"Reza. Reza, bangun!" Rania mengguncangnya. "Ini bukan tempat aman. Kita harus terus bergerak."
"Aman?" Reza tertawa. Tawa itu adalah suara yang patah. "Tidak ada tempat aman, Ra. Kamu tidak lihat? Dia... dia *menghapusnya*." Dia mendongak, matanya merah dan liar. "Tempatku. Seluruh hidupku. Penelitianku. Jurnal di bawah... Semuanya... *dihapus*."
"Kita hidup," kata Rania. Kata-kata itu terdengar hampa, bahkan di telinganya sendiri. Dingin.
"Hidup?" Reza memukul trotoar dengan tinjunya. "Ini hidup? Hiding in a concrete tomb? Sembunyi di kuburan beton? Aku baru saja melihat temanku... Dion... Elara... mereka..." Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Mereka mungkin selamat," kata Rania. Itu adalah kebohongan yang logis. Kebohongan yang diperlukan.
"Dan Pria Payung itu! Dan... dan... langit yang retak!" Reza mencengkeram rambutnya. "Bagaimana kita bisa melawan itu? Kita tidak punya apa-apa! Aku... aku bahkan tidak punya dompet. Dompetku... dompetku ada di laci kasir."
Kenyataan itu menghantam Rania.
Dompet Reza ada di kafe. Ponselnya... juga di sana. Rania memiliki ponselnya, tapi baterainya tinggal 5%. Dia memiliki pakaian yang dia kenakan—baju pinjaman—dan sepatu kets yang kebesaran.
Mereka bukan hanya buronan. Mereka adalah gelandangan.
"Oke," kata Rania, otaknya yang analitis bekerja *overdrive*. Dia memblokir emosi. Emosi adalah *desain yang kacau*. Dia butuh *tatanan*. "Oke. Kita butuh tiga hal. Tempat berlindung yang tidak bisa dilacak. Uang. Dan data."
"Tempat berlindung? Di mana?" Reza tertawa getir. "Apartemenmu sudah dikontaminasi. Tempatku sudah... *dikoreksi*."
Rania memejamkan mata. Dia tidak memikirkan Gema. Dia memikirkan *peta*. Peta kurir yang ada di kepalanya. Rute-rutenya. Dia telah menjelajahi setiap sudut kota ini. Dia tahu di mana retakan-retakan *fisik* berada.
"Aku tahu satu tempat," katanya. "Sebuah 'modern ruin'. Proyek apartemen mewah. 'The Elysian Spire'. Setengah jadi. Kontraktornya bangkrut tahun lalu setelah skandal korupsi."
Reza menatapnya. "Sebuah... lokasi konstruksi yang terbengkalai?"
"Itu sempurna," kata Rania. "Lokasinya terpusat, tapi kosong. Tidak ada yang peduli. Tidak ada Gema tua—bangunannya terlalu baru. Tidak ada 'Sensitif' yang nongkrong di sana. Itu adalah *Titik Buta* yang sempurna dalam artian *manusiawi*."
Dia menarik Reza berdiri. "Ayo. Masih tiga kilometer dari sini. Kita harus jalan kaki."
Mereka bergerak. Kali ini lebih lambat. Menyelinap. Dari gang ke gang. Menghindari jalan raya utama.
Setiap kali mereka melintasi jalan yang ramai, pemandangannya sama. Kekacauan. Mobil-mobil polisi kini tidak hanya menuju ke satu arah; mereka ada di mana-mana, mencoba mengendalikan kepanikan massa.
Mereka melewati sebuah toko elektronik yang jendelanya pecah dijarah. Puluhan televisi di dalamnya—semuanya menyala—menampilkan hal yang sama: bukan berita, tapi *statis*.
"Data..." gumam Rania.
"Apa?" tanya Reza.
"Pria itu. 'Koreksi'-nya," Rania menunjuk ke TV. "Itu merusak sinyal. GPS. TV. Internet. Dia tidak hanya menghapus bangunan. Dia menghapus *informasi*."
Ini menjelaskan mengapa Pria Berpayung itu tidak mengejar mereka. Dia telah melepaskan bom EMP supernatural, yang secara efektif membutakan musuh-musuhnya—Ordo Pelestari—dan seluruh kota.
Mereka terus berjalan. Melewati orang-orang yang menangis di trotoar. Melewati mobil-mobil yang ditinggalkan begitu saja di tengah jalan.
Satu jam kemudian, kaki mereka sakit dan paru-paru mereka terbakar. Mereka sampai di "The Elysian Spire".
Itu adalah kerangka beton yang mengerikan, menjulang 40 lantai ke langit. Sebuah monumen keserakahan yang gagal. Dikelilingi oleh pagar seng biru yang tinggi, ditutupi poster-poster "DIJUAL" yang sudah pudar.
"Bagaimana kita masuk?" bisik Reza.
"Seperti arsitek," kata Rania. "Kita cari kesalahan desainnya."
Dia berjalan di sepanjang pagar, matanya memindai. Dia menemukannya dalam tiga menit. Sebuah panel di sudut belakang, di mana dua pagar bertemu. Kontraktor telah mengambil jalan pintas; panel itu tidak dibaut ke tiang beton, hanya diikat dengan kawat tebal.
"Sini." Rania menemukan sepotong pipa rebar berkarat di selokan. Dia menggunakannya sebagai pengungkit, memutar kawat itu sampai putus dengan suara *TWANG* yang pelan.
Mereka menyelipkan diri melalui celah sempit itu.
Mereka kini berada di dalam.
Tempat itu sunyi. Sunyi yang berbeda dari ruang bawah tanah. Ini adalah keheningan yang kosong, berangin.
Mereka berada di apa yang seharusnya menjadi lobi parkir bawah tanah. Sebuah gua beton yang sangat luas, gelap, dan lembap. Pilar-pilar beton raksasa berbaris seperti pohon-pohon di hutan yang mati. Bau beton basah, karat, dan jamur (kali ini jamur *sungguhan*) terasa pekat.
Reza segera berlari ke sudut yang gelap dan muntah lagi, tidak ada lagi yang keluar selain cairan empedu yang pahit.
Rania berjalan ke tengah ruangan. Dia akhirnya berhenti.
Mereka aman. Untuk saat ini.
Sirene-sirene itu terdengar sangat jauh dari sini. Hanya gema yang samar.
Reza akhirnya berhenti gemetar. Dia merosot ke dinding, memeluk lututnya, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia mulai menangis.
Bukan isak tangis yang panik. Tapi tangisan yang dalam dan penuh duka. Tangisan seseorang yang baru saja kehilangan segalanya.
"Tempatku..." isaknya ke lututnya. "Semua penelitianku... jurnal itu... Dion... Elara... semuanya... hilang... Ra, semuanya hilang..."
Rania berdiri di tengah kegelapan yang dingin itu, mendengarkan gema tangisan temannya.
Dia *seharusnya* merasakan sesuatu. Dia seharusnya merasakan kesedihan atas kafenya. Ketakutan atas hidupnya. Simpati atas temannya.
Dia tidak merasakan apa-apa.
Dia hanya merasakan batu obsidian yang berat dan dingin di dadanya. Dan keheningan yang tumpul di kepalanya.
Dia merasa... *efisien*.
"Kita hidup, Za," katanya lagi. Suaranya terdengar datar dan mati di dalam gua beton itu.
Reza mendongak. Wajahnya basah oleh air mata dan kotoran. Ada kemarahan baru di matanya. "Berhenti bilang begitu! Apa itu artinya? *'Kita hidup'*? Lihat kita! Kita bersembunyi di selokan beton! Teman-teman kita mungkin sudah mati! Dan kamu... kamu... "
"Aku apa?" tanya Rania, suaranya masih tanpa emosi.
"Kamu bahkan tidak sedih!" teriak Reza, suaranya pecah. "Kamu tidak takut! Sejak kamu memakai kalung itu, kamu... kamu menjadi *dingin*. Kamu... kamu seperti... Pria Payung itu."
Pukulan itu telak.
Rania tersentak seolah-olah ditampar.
Dia melihat ke bawah, ke tangannya yang masih memegang pipa rebar berkarat. Dia melihat pakaiannya yang kotor. Dia memikirkan kata-katanya sendiri. *'Emosi adalah desain yang kacau'.*
*...tatanan murni...*
"Kamu... kamu benar," bisik Bima di benaknya. *'Nostalgia bodoh.'*
"Ya Tuhan," bisik Rania ngeri. "Kamu benar."
Apakah ini yang dilakukan amulet itu? Apakah ini *harga* dari kebisuan? Apakah benda itu tidak hanya memblokir Gema, tetapi juga... *dirinya*?
Dia adalah seorang arsitek kekacauan manusiawi. Dia *adalah* emosinya. Sarkasmenya adalah perisainya.
Dalam satu gerakan panik yang tiba-tiba, dia meraih amulet itu dan merenggutnya dari lehernya. Tali kulit itu putus.
Dunia *meledak*.
Rasanya seperti seribu pintu dibanting terbuka pada saat bersamaan.
*Pertama, suara.* Lolongan psikis kota itu—ratapan para "Sensitif"—menghantam kepalanya seperti gelombang kejut, membuatnya berlutut. Itu bukan lagi desingan; itu adalah jeritan yang memekakkan telinga.
*Kedua, penglihatan.* Dia mendongak, dan kegelapan gua beton itu tidak lagi kosong.
Langit-langitnya *merangkak*.
Puluhan... ratusan... "Ikan Gema" oranye kecil, yang tertarik oleh anomali "Koreksi" di seluruh kota, kini berkerumun di sini, di tempat yang sunyi. Mereka berenang panik di antara pilar-pilar, seperti ikan di kolam yang baru saja dilempari batu.
*Ketiga, rasa.* Dia merasakan *segalanya*. Dia merasakan ketakutan murni Reza seperti sengatan listrik statis. Dia merasakan *kekosongan* dingin dari beton di bawahnya. Dan dia merasakan... sesuatu yang lain.
Jauh di bawah mereka. Di bawah fondasi bangunan yang gagal ini.
Sebuah denyutan.
Lambat, stabil, dan *sangat besar*.
Denyutan Gema lain. Sebuah "Titik Buta" yang tidak aktif. Tertidur.
*...struktur menuntut keseimbangan...*
Bisikan "Sang Geometer". Lemah, tapi ada.
Itu terlalu banyak. Setelah berjam-jam teredam, paparan penuh itu adalah sebuah serangan.
Rania roboh ke lantai beton yang dingin. Dia memuntahkan sisa kopi pahit yang diberikan Reza berjam-jam yang lalu. Tubuhnya kejang, sistem sarafnya tidak mampu memproses rentetan data supernatural itu.
"Ra! Ada apa?!" Reza merangkak ke arahnya, kepanikannya sendiri terlupakan sejenak melihat penderitaan Rania. "Ra! Kamu kejang!"
Rania tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa terengah-engah di lantai yang dingin, matanya menatap liar pada akuarium panik di langit-langit di atasnya.
Dia melihat amulet obsidian itu tergeletak beberapa meter darinya, di genangan air kotor.
Dia tidak bisa hidup dengan kebisingan ini. Ini adalah kegilaan yang didengar "Si Tuli".
Dia juga tidak bisa hidup dengan keheningan yang dingin dan tidak manusiawi itu.
Dia terjebak.
Reza, melihat Rania yang menatap putus asa ke arah batu hitam itu, akhirnya mengerti. Dia merangkak, meraih amulet itu.
"Ini... ini yang menghentikannya?" tanyanya.
Rania hanya bisa mengangguk lemah, air mata mengalir dari matanya karena rasa sakit sensorik.
Reza menatap batu itu, lalu ke temannya yang sedang sekarat di lantai. Dia membuat pilihan.
Dia mengambil tali kulit yang putus, mengikatnya dengan simpul darurat, dan mengalungkan kembali batu obsidian itu ke leher RANIA.
*KLIK.*
Dunia padam.
Jeritan itu lenyap. Ikan-ikan itu menghilang. Denyutan di bawah tanah itu sunyi.
Rania terbaring gemetar di lantai beton, terengah-engah. Keheningan yang dingin dan mati itu kembali, dan kali ini, rasanya seperti selimut yang menenangkan.
Dia menatap Reza. Temannya tampak pucat, tapi ketakutan di matanya telah digantikan oleh resolusi yang suram.
"Aku tidak bisa... hidup tanpanya," bisik Rania, suaranya serak. Dia mencengkeram amulet itu di dadanya. "Dan aku tidak tahu... apa aku bisa hidup... dengannya."
Reza duduk di sampingnya di lantai yang kotor. Dia tidak menyentuhnya. Dia hanya duduk bersamanya dalam kegelapan yang dingin.
"Kalau begitu," kata Reza pelan, suaranya menggema di kuburan beton itu. "Kita harus belajar caranya."