Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Wanita Misterius di Tepi Sungai
Tiga hari Arsyan nggak liat Wulan lagi.
Tiga hari yang—bodo amat deh mau kedengeran lebay—terasa lama banget. Arsyan nggak ngerti kenapa dia nungguin. Mereka cuma ketemu sekali, ngobrol sebentar, terus Wulan pergi ninggalin aroma kenanga yang sampe sekarang masih nempel di ingatan Arsyan.
"Gue gila," gumam Arsyan sambil ngaduk kuah soto. "Gue baru ketemu sekali, kok udah kangen sih?"
Gerobaknya masih di tempat yang sama—pinggir jalan deket pasar, agak sepi, pemandangan ke sungai kecil yang airnya coklat keruh. Biasanya Arsyan males banget liat sungai itu. Tapi sejak Wulan muncul dari sana—entahlah—jadi ada yang beda.
Sore itu sepi banget. Cuma ada satu pembeli, itupun cuma beli setengah porsi terus minta kuahnya dikit. Arsyan pasrah aja. Rezeki. Mau gimana lagi.
Jam lima sore, Arsyan udah mau beres-beres. Tapi...
"Mas..."
Suara itu.
Arsyan dongak cepet—sampe lehernya bunyi krek—dan—
Wulan.
Dia berdiri di depan gerobak, senyum tipis, bawa tas kanvas lusuh. Bajunya kemeja putih polos yang agak kusut, celana jeans. Rambut panjangnya diikat asal. Tapi entah kenapa... dia tetep keliatan... cantik. Cantik dalam artian yang nggak bisa Arsyan jelasin.
"Mbak—" Arsyan hampir keselek ludah sendiri. "Mbak... kemana aja?"
Wulan duduk di bangku plastik, pelan. "Aku... ada urusan. Maaf nggak bisa dateng."
"Nggak, nggak apa-apa kok. Gue... gue cuma—" Arsyan berhenti. Ngapain gue ngaku kangen? Keliatan desperate banget, anjir.
Wulan menatap Arsyan. Lama. Tatapan itu... dalem. Kayak dia bisa baca pikiran Arsyan.
"Mas... kangen?"
Arsyan nyaris muntah soto yang belum dimakan.
"Ha? Nggak—maksud gue—ya... sedikit? Eh, maksudnya—"
Wulan ketawa kecil. Ketawa yang lembut, tulus, bikin Arsyan lupa cara bernapas.
"Aku juga kangen, Mas."
Jantung Arsyan berhenti.
Lalu ngebut kayak motor nggak ada rem.
"Mbak... Mbak serius?"
"Iya." Wulan masih senyum, tapi matanya... sedih. "Aku selalu... pengen ketemu Mas."
Ada jeda panjang. Angin sore bertiup pelan, bawa aroma sungai dan... kenanga lagi. Selalu kenanga. Arsyan mulai sadar: aroma itu emang dari Wulan. Tapi kenapa? Parfum? Sabun? Apa?
"Mbak... boleh gue tanya sesuatu?"
"Tanya aja, Mas."
"Kenapa... kenapa Mbak bilang kita pernah ketemu? Gue... gue bener-bener nggak inget."
Wulan menunduk. Jari-jarinya mainkan ujung tasnya, nervous. "Sudah lama sekali, Mas. Mungkin... Mas lupa. Tapi aku... aku nggak pernah lupa."
"Kapan?"
"Sepuluh tahun lalu."
Arsyan mencoba mengingat. Sepuluh tahun lalu... dia masih SMP. Masih bocah. Nggak mungkin dia kenal cewek secantik Wulan waktu itu. Atau... mungkin?
Tapi ingatannya kabur. Cuma ada satu kejadian yang masih nempel kuat: malam di hutan bambu. Ular putih. Mata emas.
Arsyan menggeleng. "Gue... gue nggak inget, Mbak. Maaf."
Wulan tersenyum sedih. "Nggak apa-apa. Yang penting... sekarang kita udah ketemu lagi."
"Mbak tinggal di mana sih? Kok gue nggak pernah liat Mbak di kampung?"
"Aku... jarang keluar. Cuma kalau... kalau ada keperluan."
"Keperluan apa?"
Wulan menatap Arsyan. Dalam. "Ketemu Mas."
Arsyan beku.
Dadanya panas. Tangannya dingin. Otaknya blank total.
"Mbak... Mbak ngomong gitu... bikin gue..."
"Bikin Mas apa?"
"Bikin gue... suka."
Wulan tersenyum. Senyum pertama yang genuine, lebar, bikin matanya menyipit lucu. "Aku juga suka Mas."
Dan—entah setan mana yang nyuruh—Arsyan nyodorin mangkuk soto.
"Mbak mau soto? Gue traktir."
"Terima kasih, Mas."
Wulan makan pelan. Sangat pelan. Arsyan perhatiin gerakannya—rapi, anggun, kayak... kayak bukan orang biasa. Tapi Arsyan nggak mau mikir aneh-aneh. Dia cuma mau menikmati moment ini.
"Enak nggak, Mbak?"
"Enak. Paling enak yang pernah aku makan."
Arsyan nyengir. "Ah, Mbak lebay."
"Serius, Mas. Aku nggak bohong."
Mereka ngobrol lama. Tentang hal-hal kecil—cuaca, warung, kehidupan. Wulan nggak banyak cerita tentang dirinya sendiri, tapi dia pendengar yang baik. Dia dengerin Arsyan cerita tentang usahanya yang susah, tentang Bhaskara sama Dzaki yang nyebelin, tentang ibu yang sering sakit.
"Mas... pasti capek ya, hidup sendiri kayak gini?"
Arsyan menggaruk kepala. "Ya gimana... namanya juga hidup. Yang penting usaha, Mbak."
"Mas nggak pernah... nyerah?"
"Pernah. Sering malah. Tapi... gue selalu inget kata ibu: 'Allah nggak akan kasih cobaan yang nggak bisa dijalanin hambanya.' Jadi... yaudah, jalanin aja."
Wulan menatap Arsyan lama. Matanya berkaca-kaca.
"Kenapa, Mbak? Gue ngomong aneh?"
"Nggak." Wulan menggeleng cepat, usap matanya. "Aku cuma... kagum sama Mas."
"Kagum apaan? Gue cuma penjual soto, Mbak."
"Tapi Mas... baik. Mas sabar. Mas... tulus."
Arsyan nggak tau harus jawab apa. Pujian dari Wulan... entah kenapa terasa berat. Terasa berharga banget.
"Makasih, Mbak," bisiknya pelan.
Senja makin gelap. Lampu jalan mulai nyala. Wulan berdiri, "Mas, aku harus pulang."
"Oh... oke. Hati-hati ya, Mbak."
Wulan tersenyum, lalu—tiba-tiba—dia pegang tangan Arsyan sebentar. Sedetik. Cuma sedetik.
Tapi cukup buat bikin Arsyan shock.
Tangannya... dingin banget.
Kayak es. Kayak... bukan tangan manusia.
Tapi sebelum Arsyan sempet mikir lebih jauh, Wulan udah jalan pergi. Melambai kecil. "Sampai ketemu lagi, Mas."
Arsyan cuma bisa melambai balik, masih bingung.
Pas Wulan udah hilang di tikungan, Bhaskara tiba-tiba muncul dari belakang.
"GAS."
Arsyan hampir jantungan. "ANJIR, BHAS! NGAGETIN!"
"Gas, gue liat semuanya."
"Liat apaan?"
Bhaskara menatap serius. Serius banget—ini pertama kalinya Arsyan liat Bhaskara serius.
"Gas... cewek itu... aneh."
"Aneh gimana?"
"Dia... dia nggak keringetan, Gas. Padahal sore ini panas banget. Lo keringetan, gue keringetan, tapi dia? Kering. Bersih. Kayak... kayak nggak ngerasain panas."
Arsyan diam.
"Terus... gue perhatiin bayangannya—"
"Bhas, jangan mulai—"
"—DIA NGGAK PUNYA BAYANGAN, GAS."
Arsyan menegang.
"Lo ngaco."
"Serius! Tadi pas dia duduk, kan matahari sore masih kuat tuh, terus gue liat—NGGAK ADA BAYANGAN!"
Arsyan menggeleng. "Lo salah liat."
"Gas, gue nggak salah liat! Gue—"
"BHAS, CUKUP!" bentak Arsyan tiba-tiba.
Bhaskara terdiam.
Arsyan napasnya berat. Tangannya gemetar. "Lo... lo jangan ngomong gitu lagi. Wulan itu... dia baik. Dia nggak... dia nggak aneh."
"Gas, gue cuma—"
"Udah, Bhas. Pulang sono. Gue mau beres-beres sendiri."
Bhaskara menatap Arsyan lama. Lalu dia menghela napas panjang. "Oke. Tapi Gas... hati-hati. Gue cuma... gue cuma takut lo kenapa-kenapa."
Bhaskara pergi.
Arsyan sendirian di pinggir jalan. Gerobaknya sepi. Angin malam mulai dingin.
Dan dalam hatinya... ada bisikan kecil yang nggak bisa dia abaikan:
Kenapa tangan Wulan sedingin itu?
Kenapa dia nggak pernah keringetan?
Dan kenapa... kenapa gue ngerasa... dia bukan manusia biasa?
Tapi Arsyan menggeleng keras.
"Nggak. Gue nggak mau mikir gitu. Wulan baik. Dia... dia cuma beda. Itu aja."
Arsyan pulang malam itu dengan perasaan campur aduk.
Senang karena ketemu Wulan.
Tapi... ada rasa takut kecil yang mulai tumbuh di dadanya.