Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keributan di koridor
Koridor sisi timur Starlight School sore itu sepi, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan menelusuri sela kaca tinggi dan deretan rak buku di balik dinding kaca — tempat di mana perpustakaan berdiri megah dengan atmosfer yang tenang dan dingin.
Langkah sepatu terdengar lembut, teratur. Zea melangkah keluar dari ruang baca dengan map tipis di tangan, seragamnya rapi, wajahnya tetap tenang seperti biasa. Ia baru saja menyelesaikan pendaftaran akun perpustakaan — tempat yang menurutnya akan jadi zona aman dari hiruk-pikuk sosial Starlight.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Dari arah berlawanan, seseorang menabrak bahunya cukup keras, hingga map di tangannya terlepas dan kertas-kertas di dalamnya berhamburan ke lantai. Suara benturan kecil menggema di koridor kosong.
Zea menunduk sejenak, menarik napas, lalu perlahan menoleh. Tatapannya langsung bertemu dengan sepasang mata tajam milik Agler — pria dengan aura dingin yang berdiri santai di depannya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.
Zea memilih tak bicara. Ia menunduk kembali, meraih map-nya, berusaha menyatukan lembaran-lembaran yang tercecer. Ia tak punya waktu untuk drama murahan sore-sore begini. Tapi sebelum sempat melangkah pergi, suara Agler terdengar — datar, namun mengandung nada tajam yang jelas disengaja.
“Ternyata cewek kayak lo betah juga di tempat kayak gini. Gue kira cewek populer kayak lo lebih suka tebar pesona di antara kerumunan fans lo."
Kata populer ia tekan dengan nada sinis.
Zea berhenti. Jemarinya yang baru saja menutup map kembali diam di udara. Perlahan ia berdiri, menegakkan tubuhnya, lalu menatap Agler tanpa ekspresi — tenang, tapi tatapannya menembus.
“Lucu juga dengar lelucon itu dari lo,” katanya dingin. "Dan yang paling suka jadi pusat perhatian kayaknya bukan gue.”
Agler menyipitkan mata, tapi Zea belum selesai. Ia melangkah satu kali mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah.
“Dan kalau lo pikir nyenggol orang di koridor kosong bisa bikin lo ngerasa berkuasa, mungkin lo salah tempat,” ujarnya tenang, nada suaranya lembut tapi tajam. “Perpustakaan bukan arena buat unjuk ego.”
Sesaat, keheningan menggantung di antara mereka. Angin dari jendela tinggi kembali berhembus, mengibaskan ujung rambut Zea yang melintas di depan wajahnya — seolah mempertegas aura tak gentarnya.
Senyum tipis muncul di sudut bibir Agler, samar tapi berbahaya.
“Hm. Menarik,” gumamnya rendah, lalu berbalik perlahan sebelum melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Zea hanya memandang punggungnya yang menjauh, sebelum akhirnya menarik napas dalam dan menatap map di tangannya.
“Starlight benar-benar penuh orang aneh,” lirihnya pelan, lalu melanjutkan langkahnya ke arah tangga.
Koridor sisi timur Starlight School sore itu masih lengang. Baru beberapa langkah meninggalkan tangga, Zea kembali berhenti.
Tepat di depannya kini berdiri tiga gadis berpenampilan mencolok — riasan tebal, aksesoris berkilau, dan seragam yang dimodifikasi seolah sedang fashion show, bukan sekolah. Tatapan mereka tajam, seperti memang sudah menunggu seseorang lewat.
Zea tidak gentar. Ia hanya menahan napas singkat, lalu memilih bergeser ke sisi kiri untuk lewat tanpa menatap mereka. Namun gadis yang berdiri di tengah segera melangkah menghadang.
Zea beralih ke kanan. Dihadang lagi. Kiri, kanan, kiri, kanan — dan setiap kali ia mencoba, langkahnya selalu terhalang.
Akhirnya Zea menghela napas kasar. “Serius, ya?” gumamnya rendah. Ia mengangkat wajah, menatap lurus gadis yang berdiri paling depan — Haura Syaqweena, dengan dua temannya yang tak kalah mencolok di sisi kanan dan kiri: Tanisa dan Ayyana.
Tiga orang yang dikenal dengan nama geng mereka: The Vipers.
Haura melangkah sedikit lebih dekat.
“Lo mau ke mana, manis?” suaranya sarat ejekan.
Zea menatapnya datar. “Ke tempat yang gak blocking jalan orang lain.”
Ia kembali mencoba berjalan, tapi lagi-lagi langkahnya dihalangi.
Zea menarik napas dalam, menahan kesal. “Sorry, Kak. Gue mau lewat,” katanya akhirnya, memberi penekanan kecil di kata Kak — sadar mereka tampaknya senior kelas 12, sementara ia baru di kelas 11.
Haura menyeringai miring.
“Emang siapa yang bakal ngizinin lo lewat?”
Zea mengerutkan alis. “Maaf, kita punya masalah apa, ya?” tanyanya. Ia benar-benar tak paham — ini hari pertamanya di sekolah, dan rasanya mustahil sudah punya musuh.
Haura mendecak pelan.
“Masalah? Lo aja kali yang nyari masalah.”
Zea menatapnya tak mengerti. “Maksudnya?”
“Gak usah pura-pura bego, deh.”
Haura mendadak mendorong bahu Zea hingga gadis itu tersentak mundur selangkah.
Zea menahan napas, menegakkan bahunya kembali. Tapi Haura belum berhenti.
“Lo cuma murid baru yang numpang tenar di circle-nya Valesya. Jadi gak usah so cantik deh, apalagi caper sama Agler and the gang.”
Zea terkekeh kecil___tak habis pikir, nada tawanya terdengar datar tapi menyindir.
“Jadi itu alasan kalian ngeroyok gue?” Ia menatap mereka satu per satu. “Oke, gue murid baru, benar. Tapi gue gak ngerasa numpang famous sama siapa pun, apalagi caper sama cowok yang lo sebut tadi…” Zea mengetuk dahinya sejenak.
“Ah, iya — Agler. Sorry, tapi mereka gak semenarik itu buat gue.”
“Lo gak usah banyak bacot, an***g!” bentak Haura, nadanya meninggi. “Barusan aja lo goda dia, gue liat sendiri!”
“Lo budeg, kali. Gue gak tertarik goda siapa pun di sekolah ini, termasuk dia,” jawab Zea tegas, tanpa gentar sedikit pun.
Haura makin geram. “Brengsek lo!” teriaknya sambil melayangkan tangan —
Namun sebelum tamparan itu mendarat, seseorang menahan pergelangan tangannya.
“Weiss… santai dong,” suara itu terdengar tenang tapi tajam.
Zea menoleh — Valesya.
Gadis itu berdiri di belakang Haura dengan tatapan menusuk, jemarinya masih mencengkeram tangan Haura yang tertahan di udara. Di belakangnya, dua sosok lain muncul: Arcelyn dan Claudy, keduanya menatap The Vipers dengan ekspresi dingin penuh peringatan.
Valesya menurunkan tangan Haura perlahan, lalu berkata datar,
“Jadi ini yang kalian lakukan sekarang? Nyari mangsa di koridor?”
Arcelyn menyilangkan tangan di dada, menambahkan sinis,
“Sayang banget. Kalian salah pilih mangsa.”
Haura mendengus. “Urusan gue cuma sama dia,” tunjuknya pada Zea.
Valesya menaikkan alisnya pelan.
“Oh, lo belum tahu, ya? Gadis ini udah bagian dari geng kita. Jadi kalau lo usik dia, lo otomatis usik kita juga.”
Suasana menegang. Tanisa dan Ayyana saling berpandangan sebelum akhirnya mundur selangkah. Tapi Haura masih diam di tempat, menatap Zea dengan mata berapi.
“Kalau gitu, ayo. Gue gak takut.”
Valesya tersenyum miring. “Salah langkah, sayang.”
Dan bentrokan pun pecah — suara sepatu menghentak, seragam berkibar, jeritan kecil terdengar bersahutan di koridor perpustakaan yang tadinya sunyi.
“Dasar tukang caper!” seru Haura, berusaha meraih rambut Zea.
Namun Zea cepat mengelak, menangkap pergelangan tangan Haura dan memelintirnya ke belakang.
“Aaa...!!” jerit Haura melengking. “A*ng lo, lepasin tangan gue, bangt!”
“Lo yang duluan cari masalah, jadi nikmati aja akibatnya.” Zea masih menahan pelintiran tangannya dengan tenang.
Sementara di sisi lain, teman-teman mereka saling beradu umpatan, tabrakan, bahkan adu cakar. Kekacauan pecah di sepanjang koridor.
Hingga peluit panjang tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Tak ada yang langsung berhenti. Baru ketika suara dingin itu terdengar, semua gerak otomatis terhenti.
“Cukup.”
Satu kata, tapi tegas.
Semua kepala serempak menoleh. Di antara kekacauan itu, seseorang berjalan mendekat dengan tatapan dingin — Elvatir.
Ia menarik Zea yang masih berusaha melawan dari cengkeraman lawannya, lengannya melingkar di pinggang gadis itu, menahannya agar tak kembali maju.
“Lepasin gue!” seru Zea, masih berontak.
Namun genggaman Elvatir tak berubah. Tatapannya tetap dingin, penuh peringatan.
“Udah. Gue bilang cukup.”
Hening jatuh tiba-tiba. Hanya terdengar napas terengah dan langkah yang berhenti di antara serpihan ego yang berserakan di lantai koridor Starlight sore itu.
"Dasar tukang caper." Kata Haura yang ingin meraih rambut Zea yang segera mengelak dan menangkap cepat tangannya lalu memelintir nya ke belakang.
"Aaa...!!" Jeritan Haura menggema, "A***ng lo, lepasin tangan gue bang**t!" Lanjutnya mengumpati Zea kasar.
"Lo yang lebih dulu cari masalah, jadi nikmati aja akibat nya." Zea masih menahan pelintiran tangan Haura.
Tak jauh berbeda dengan teman-teman mereka yang melemparkan umpatan yang sama, saling tabok, jampak bahkan adu cakar terjadi di sana.
Hingga peluit panjang tiba-tiba terdengar dari arah belakang, namun tak ada yang langsung berhenti. Sampai suara dingin memecah suasana kacau itu:
“Cukup.”
Satu kata, tapi tegas.
Semua kepala serempak menoleh. Dan di antara kekacauan itu, seseorang berjalan mendekat dengan tatapan tajamnya — Agler.
Ia menarik Zea yang masih berusaha melawan dari cengkeraman lawannya, lengannya melingkar di pinggang gadis itu, menahannya agar tak kembali maju.
Zea masih meronta. “Lepasin gue!”
Namun genggaman Agler tak berubah. Tatapannya dingin, penuh peringatan.
“Udah. Gue bilang cukup.”
Hening jatuh tiba-tiba. Hanya suara napas terengah dan langkah yang berhenti di antara serpihan ego yang bertebaran di lantai koridor Starlight sore itu.
***
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶