Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan Belas
“Pak Azka, Bu Amanda belum pulang juga?” suara Mbok Rini terdengar dari arah dapur, membuat Azka yang sedari tadi duduk di ruang tamu menoleh cepat.
Azka melirik jam dinding. Jarum panjang sudah melewati angka dua belas, pukul delapan lewat lima belas, malam.
Ia menarik napas berat. “Belum, Mbok. Biasanya jam segini udah sampai.”
“Mungkin Ibu terjebak macet, Pak," jawab Mbok Rini. Sejak Amanda kerja, di rumah memang ada seorang pekerja untuk membantu istrinya itu.
“Mungkin.” Azka mencoba tersenyum, tapi senyum itu hanya bertahan sepersekian detik.
Sudah lebih dari sejam ia mondar-mandir di ruang tamu. Kopi di meja sudah dingin, tapi belum disentuh. Pikiran dan hatinya penuh kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Semuanya bermula dari telepon Mama sore tadi.
“Azka, barusan Amanda ke rumah.”
“Apa, Ma?” tanya Azka.
“Dia lihat Nathan.”
Sekujur tubuh Azka langsung kaku. Suaranya tercekat. “Dia lihat Nathan?”
“Iya. Mama nggak sengaja. Tadi Nathan main di ruang keluarga. Amanda datang tiba-tiba. Untung Papa cepat bawa anak itu ke atas.”
“Amanda bilang apa, Ma?”
“Nggak banyak. Tapi tatapan matanya beda, Nak. Mama rasa dia curiga.”
Sejak telepon itu berakhir, dada Azka tak berhenti berdebar. Dia takut Amanda sudah tahu sesuatu.
“Ya Tuhan,” gumam Azka, mengusap wajah. “Kenapa semua jadi begini?”
Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai. Hujan tipis turun, membasahi jalanan depan rumah. Lampu-lampu kendaraan lewat memantul di aspal yang basah.Pikirannya tak bisa tenang.
“Kalau semua tahu, aku habis,” bisiknya lirih. “Yuni bisa hancur. Amanda juga nggak akan maafin aku.”
Ia menatap jam lagi. Sudah pukul sembilan lewat lima belas. Amanda belum pulang. Telepon tak diangkat. Pesan hanya dibaca.
Azka berjalan mondar-mandir di ruang tamu, setiap langkah terasa berat.
Dia tak tahu apakah harus berharap Amanda datang dengan marah, atau justru dengan diam. Karena bagi Azka, diam Amanda selalu lebih menakutkan daripada amarahnya.
Pukul sembilan lewat lima puluh.
Suara mesin mobil berhenti di depan pagar. Azka langsung menyingkap tirai. Mobil putih itu, mobil Amanda akhirnya tiba.
Ia buru-buru membuka pintu, menunggu di depan. Begitu Amanda keluar dari mobil, ia menatapnya cepat. Wajah Amanda tampak letih, tapi matanya dingin, datar, seperti menyimpan sesuatu yang berat.
“Sayang .…” Azka mencoba bersuara selembut mungkin. “Kamu baru pulang? Udah jam sepuluh malam, loh. Dari mana aja?”
Amanda menoleh sekilas, suaranya tenang. “Tadi mampir ke rumah Mama.”
Jantung Azka serasa berhenti berdetak. “Ke rumah Mama?”
“Iya. Kasih kue dari kantor.”
“Kenapa nggak bilang dulu?”
Amanda melepas sepatu tanpa menatapnya. “Tadi spontan aja. Lagian cuma sebentar.”
Nada suaranya datar, tapi cukup membuat Azka gelisah. Ia mengikuti istrinya masuk, memperhatikan setiap gerak tubuhnya yang tampak santai tapi terasa dingin.
Biasanya Amanda akan langsung cerita, tapi malam ini dia hanya diam.
“Papa sehat?” tanya Azka pelan, mencoba terdengar biasa. Dia sengaja bertanya untuk
“Sehat,” jawab Amanda tanpa menoleh.
“Syukurlah,” ucap Azka lirih.
Amanda menaruh tasnya, lalu menuju kamar. Azka menyusul pelan, langkahnya ragu.
Dari arah kamar mandi terdengar suara air mengalir. Amanda sedang mandi.
Azka duduk di tepi ranjang, menatap ke depan. Hatinya bergetar tak karuan.
"Apa Amanda sudah tahu tentang Nathan? Tentang Yuni? Tapi kenapa dia tidak menyinggungnya sama sekali?"
“Kalau Amanda tahu …,” gumam Azka pelan. “Tapi kenapa diam?”
Air dari shower berhenti. Amanda keluar dari kamar mandi mengenakan piyama abu-abu muda, rambutnya masih basah. Ia menatap Azka sekilas.
“Belum tidur, Mas?” tanya Amanda singkat.
“Belum. Nunggu kamu,” jawab Azka pelan.
Amanda hanya mengangguk. Ia naik ke ranjang, mematikan lampu utama, dan berbaring membelakangi suaminya.
“Sayang .…” Azka mencoba membuka percakapan.
“Hmm?”
“Kamu capek, ya?”
“Lumayan.”
“Di kantor banyak kerjaan?”
“Seperti biasa.”
“Hmm .…”
Hening. Azka menatap punggung istrinya lama. Biasanya kalau Amanda pulang, mereka bercanda dulu. Tapi malam ini udara kamar terasa dingin dan berat.
Ia menarik napas, memberanikan diri, “Tadi di rumah Mama kamu lihat siapa aja?”
Amanda membuka mata perlahan. Pandangannya menatap gelap langit-langit. “Cuma Mama. Papa sempat kelihatan bentar. Ada anak kecil, Mama bilang anak saudara Mas."
Nada suaranya datar, tanpa emosi. Azka menelan ludah. “Oh, gitu ya."
Amanda menoleh perlahan, menatapnya sebentar. “Kenapa, Mas? Kamu kelihatan tegang banget dari tadi.”
Azka cepat-cepat menggeleng. “Enggak, cuma capek.”
Amanda tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke mata. “Kalau capek tidur aja, Mas. Aku juga mau tidur.”
Ia lalu memejamkan mata, pura-pura tertidur.
Sementara Azka hanya bisa duduk di sisi ranjang, memandangi wajah istrinya dalam remang. Perempuan itu terlihat tenang, tapi Azka tahu ketenangan seperti itu bukan pertanda baik.
Di luar, hujan semakin deras. Azka akhirnya bangkit, berjalan pelan ke balkon. Udara malam dingin menusuk. Ia menatap ke langit gelap.
"Aku tak bisa membayangkan kalau akhirnya Manda tau semuanya, aku takut kehilangannya. Jika Yuni, aku yakin masih bisa memaklumi semuanya."
Beberapa saat kemudian, Azka kembali ke kamar, Amanda masih dalam posisi yang sama. Ia tampak tertidur, tapi saat Azka mendekat, matanya terbuka sedikit. Air mata menetes diam-diam di sudut matanya.
Amanda menangis bukan hanya karena kebohongan suaminya. Dia sedih setelah melihat begitu sayangnya sang mertua dengan Nathan. Dia merasa kalah. Dan lebih mantap mundur. Dia akan pergi tanpa Yuni tahu kalau dia pernah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga sahabatnya itu.
Amanda merasa, Yuni lebih berhak atas suaminya Azka. Bukan hanya karena dia istri pertama, tapi di antara mereka ada Nathan. Bocah itu masih sangat membutuhkan sosok sang ayah.
“Baiklah, Mas …,” gumam Amanda tanpa suara. “Aku nggak akan bertanya. Aku ingin lihat sampai kapan kamu kuat berbohong.”
Ia menutup mata lagi, berusaha menahan tangis. Sementara di sisi lain, Azka akhirnya berbaring, matanya menatap langit-langit.
Ia tahu badai akan datang. Ia hanya tidak tahu kapan.
Di luar, hujan turun semakin deras, membasahi jendela. Dan di dalam kamar itu, dua hati yang masih saling mencintai kini terpisah oleh dinding tebal kebohongan.
Satu karena takut kehilangan, satu karena menunggu kebenaran terbuka dengan sendirinya.
Dan malam itu, Azka berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Besok. Mungkin besok aku akan jujur .…”
Tapi bahkan ia sendiri tahu, kata “besok” sudah terlalu sering ia pakai untuk menunda segalanya.
Azka sulit untuk pisah sama Manda dan sulit juga menerima Yuni
terlambat Azka kenapa gak dari dulu menceraikan Yuni 😭