Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Suami jadi sekretaris
Keesokan paginya, suasana rumah terasa berbeda, karena ibu dan adik Andre sudah pulang ke kampung halamannya, sedangkan Ayah (Pak Hendra) dan Ibu Rita sudah sibuk menyiapkan barang-barang mereka karena siang nanti akan berangkat kembali ke Eropa.
Fanda turun dari kamar bersama Andre, mereka berdua sudah rapi dengan pakaian kerja.
“Pagi, Yah… pagi, Bu,” sapa Fanda sambil menghampiri meja makan.
“Pagi, Nak,” jawab Ibu Rita sambil tersenyum.
“Kalian mau langsung ke kantor?”
“Iya, Bu. Hari ini banyak kerjaan yang harus diberesin,” sahut Fanda.
Pak Hendra menatap mereka berdua dengan tatapan hangat.
“Ingat ya, meskipun sibuk kerja jangan lupa perhatikan rumah tangga. Itu yang paling penting.”
“Dan kamu, Andre, apakah masih betah jadi sopirnya Fanda? Apa nggak sebaiknya kamu sudah mulai belajar mengurusi kantor bersama Fanda? Hey, Fanda, gimana kalau Andre kamu berikan jabatan di bagian departemen pemasaran? Kalau dia sudah ahli di bagian itu, kamu angkat dia jadi kepala bagian pemasaran!”
Fanda tersenyum kecil.
“Aku sih rencananya mau angkat dia jadi sekretarisku aja, Ayah.”
“Lalu Indah…?”
“Indah akan ditaruh di kepala bagian pemasaran. Soalnya aku nggak mau jauh dari Mas Andre.”
Ayahnya hanya menggeleng kepala. “Pengantin baru… maunya nempel mulu kayak perangko.”
Andre dan Fanda hanya tersenyum melihat Ayahnya menggeleng kepala.
Setelah sarapan, mereka pamit berangkat kerja. Ayah dan Ibu Rita mengantar sampai halaman rumah.
“Hati-hati di jalan, Nak. Semoga hari kalian lancar,” kata Ibu Rita.
“Iya, Bu… nanti siang kita pulang sebelum Ayah sama Ibu berangkat,” jawab Fanda sambil melambaikan tangan.
Mobil melaju meninggalkan rumah. Fanda bersandar di kursi, menghela napas pelan.
“Mas… aku deg-degan masuk kantor hari ini. Apakah semua orang sudah tahu kalau aku udah nikah?”
“Memangnya kamu nyuruh Indah buat bilang ke mereka?” tanya Andre sambil melirik.
“Enggak sih…”
“Kamu malu punya suami sopir?”
“Bukan begitu, aku hanya khawatir kalau Mas merasa nggak nyaman.”
Andre tersenyum, menatap jalan di depan. “Kenapa harus nggak nyaman? Justru aku senang kalau semua orang tahu kalau kamu udah jadi istriku. Jadi pelet aku buat kerja.”
Fanda tertawa lepas mendengar jawabannya.
“Nggak apa-apa kalau kena pelet, Mas. Aku ikhlas kok.”
Mobil mereka terus melaju menuju gedung kantor, menyongsong hari pertama mereka kembali ke rutinitas setelah resmi menjadi pasangan suami istri.
Mobil berhenti di basement gedung kantor. Fanda merapikan rambutnya sebentar lewat kaca handphone, sementara Andre sudah lebih dulu turun.
“Udah cantik kok, Sayang” ucap Andre sambil tersenyum.
Fanda mencibir kecil.
“Mas ini ya… bisa aja.”
Mereka masuk ke lobi. Beberapa karyawan yang melihat langsung berbisik-bisik, ada yang tersenyum, ada pula yang saling menyikut pelan.
Wajar saja, karena kabar pernikahan mendadak Fanda sang CEO muda sudah menyebar ke seluruh perusahaan.
Begitu pintu lift terbuka, Indah, sekretaris sekaligus sahabat Fanda, sudah berdiri menunggu. Ia tersenyum lebar melihat keduanya berjalan berdampingan.
“Selamat pagi, Bu Fanda, Pak Andre…” sapanya dengan nada menggoda.
Fanda langsung salah tingkah.
“Indah… jangan gitu deh, malu aku diliatin orang.”
Indah menutup mulut, menahan tawa.
“Ya gimana nggak, Bu? Semua orang juga udah tahu. Baru beberapa hari nggak masuk kantor, pulang-pulang langsung jadi pengantin baru.”
Andre hanya tersenyum kalem, sementara Fanda memukul pelan lengan sahabatnya.
“Udah ah, jangan ngeledekin. Mana kerjaan yang kemarin kamu bilang numpuk?”
Indah buru-buru menyerahkan map berisi dokumen.
“Ini, Bu. Ada beberapa kontrak yang harus segera ditandatangani.”
Fanda menerima map itu, lalu menatap Indah.
“Oh iya, Indah. Kamu udah baca pesan yang aku kirim semalam, kan?”
Indah mengangguk pelan.
“Ohh… soal mengajari Pak Andre pekerjaan sekretaris itu, ya?”
“Iya. Sebelum kamu pindah ke ruangan barumu, kamu ajarin dulu Mas Andre.”
Indah mengerutkan dahi.
“Tapi Bu, kenapa Pak Andre nggak ditaruh di jabatan lain yang lebih tinggi aja?”
Fanda tersenyum tenang.
“Itu pertanyaan bagus. Karena nanti kalau aku sudah hamil, Mas Andre yang akan gantikan aku. Aku memang udah ada rencana mau pensiun jadi CEO. Aku cuma mau fokus jadi ibu rumah tangga aja.”
Indah sampai terbelalak, mulutnya sedikit terbuka.
“Wow… jawaban yang sangat bagus. Oke deh, kalau begitu saya ngerti sekarang.”
Fanda ikut tersenyum.
“Bagus. Oh iya, Indah… tolong panggil OB untuk pindahin meja kamu ke ruangan saya di sini.”
Indah tersenyum nakal.
“Baik, Bu Bos!”
Beberapa menit kemudian, meja Indah sudah dipindahkan ke dalam ruang kerja Fanda. OB pamit keluar meninggalkan ketiganya.
Indah mulai merapikan map dan laptopnya, lalu duduk di kursinya. Ia melirik Fanda yang sedang menandatangani beberapa dokumen, lalu berdehem pelan.
“Fan… boleh aku ngomong?”
“Ngomong apa, Ndah? Kok kayaknya serius banget.”
Indah menunduk sebentar, lalu bicara dengan hati-hati.
“Sejak kabar pernikahan kalian nyebar, kantor jadi rame banget. Banyak yang kaget, ada juga yang… ya, ngomongin di belakang.”
Fanda menarik napas pelan.
“Ngomongin apa?”
Indah menatap bos sekaligus sahabatnya itu.
“Ada yang bilang kalau kalian nikah buru-buru karena hamil duluan. Ada juga yang nggak percaya kalau Andre bisa jadi suami lo. Bahkan ada yang nebak-nebak, jangan-jangan cuma pernikahan formalitas.”
Fanda terdiam. Senyumnya kecut, tapi matanya tegas.
“Biarin aja mereka ngomong. Aku nggak peduli. Yang penting aku tahu, aku nikah sama Andre karena cinta, bukan karena hal lain.”
Indah mengangguk.
“Aku tahu itu. Tapi sebagai sahabat, aku cuma pengin ngingetin. Dunia bisnis itu keras. Ada banyak yang bisa manfaatin gosip buat jatuhin posisi lo.”
Fanda menutup map, lalu bersandar di kursinya. Pandangannya tajam.
“Kalau ada yang coba macam-macam, biar aku pecat. Aku nggak akan mundur hanya karena omongan orang. Lagian, sekarang aku nggak sendirian lagi. Ada Andre di sampingku.”
Indah tersenyum tipis, lega melihat ketegasan itu.
Suasana hening sebentar. Lalu Fanda mendadak terkekeh kecil.
“Eh, ngomong-ngomong… gosip yang positif ada nggak?”
Indah tertawa.
“Ada dong. Banyak yang bilang lo makin cantik setelah menikah. Katanya auranya beda, kayak… lebih bahagia gitu.”
Fanda langsung menunduk, pipinya memerah.
“Kamu bisa aja.”
Indah menyengir lebar.
“Lho, bener kok. Bahkan aku sendiri bisa lihat. Dan jujur aja, aku ikut seneng. Akhirnya kamu nemuin orang yang tepat.”
Fanda hanya tersenyum, hatinya hangat mendengar dukungan sahabatnya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 siang. Fanda baru saja selesai menandatangani berkas terakhir.
“Sayang, ayo kita makan siang,” kata Andre.
Andre yang sedang diajari oleh Indah tentang berkas apa saja yang harus disiapkan berhenti sejenak dan mengangguk.
“Ya udah, ayo.”
“Fan, lo mau ikut nggak?” tanya Fanda ke Indah.
“Duluan aja. Aku mau selesain berkas untuk rapat besok.”
“Aku dan Mas Andre duluan, ya.”
Sesampainya di kantin VIP, ruangan itu sudah lumayan ramai. Beberapa karyawan senior dan manajer tengah asyik makan di meja masing-masing.
Begitu melihat Fanda masuk, hampir semua mata langsung tertuju padanya. Apalagi ketika mereka sadar Andre ada di sampingnya.
Di meja makan mereka duduk berhadapan. “Aku pesan makanan dulu, ya.”
“Iya, Mas.”
Tak lama, pelayan datang membawa dua piring steak dan segelas jus jeruk. Fanda menatap heran.
“Mas hafal banget makanan favorit aku.”
Andre tersenyum sambil mengangkat bahu.
“Ya harus hafal dong. Aku kan suamimu.”
Fanda menunduk malu, sementara beberapa karyawan yang duduk tak jauh mulai berbisik-bisik.
Bisikan itu terdengar samar di telinga Fanda. Ia sempat risih, tapi Andre meraih tangannya di atas meja, memberi isyarat agar tak perlu peduli.
“Makan yang banyak, Sayang. Biar kuat kerja lagi,” ucapnya lembut.
Fanda menatap Andre sejenak, lalu tersenyum. Ia merasa tenang. Kehadiran suaminya membuat semua gosip tadi tak lagi berarti.
Makan siang itu berlangsung penuh tawa kecil. Sesekali Andre melontarkan candaan, membuat Fanda tergelak meski berusaha menahan suara karena sadar sedang diperhatikan banyak orang.