Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda Lahir Itu
Zara menenggak air mineral yang disodorkan Mila. Air dingin itu terasa sejuk di tenggorokannya yang kering. Selama Zara meneguk air, Mila berpesan dengan nada serius, agar Zara jangan terlalu capek dan banyak pikiran, serta jangan suka menahan haus dan menahan pipis.
Selesai meneguk lima kali, Zara meletakkan botol mineral di atas nakas, beralih menatap Mila seraya bertanya dengan senyum lebar.
"Kenapa sekarang petuahnya jadi jangan nahan pipis sama nahan haus dah?"
Mila terdiam sejenak, matanya menatap Zara dengan tatapan yang sedikit sendu, praktis membuat Zara makin bertanya-tanya.
"Nah sekarang masang muka begini. Kenapa, kawan? Kaya sedih gitu. Cerita sini cerita," desak Zara.
"Kamu yang harusnya cerita. Kamu kenapa, Ra? Coba sini cerita sama aku," balas Mila, suaranya pelan dan tertahan.
"Maksudnya cerita apa, La?"
"Kamu cuma punya satu ginjal ya? Jujur aja cerita sama aku, Ra," tanya Mila langsung ke inti, tatapannya meminta kejujuran yang tidak bisa ditolak.
Zara menghela napas panjang, rupanya Mila sang sahabat, sudah tahu kondisi tersebut. Tidak ada gunanya menutupi lagi. Mila sudah melihat gelagatnya, atau mungkin juga mendengar dari oranglain. Mila memohon sekali lagi, agar Zara bercerita sedetail-detailnya, jangan hanya bermodalkan menebak atau membuat Mila salah kira dan mencak-mencak seperti kemarin-kemarin karena tidak tahu kondisi sebenarnya.
Zara mengangguk. Mila sedikit banyak sudah tahu tentang hubungan segitiga Erick, Emily, dan Zara, serta merasakan betapa absurdnya Emily. Sudah waktunya kejujuran terungkap.
"Baiklah," kata Zara memulai. "Kamu masih ingat cerita aku kemarin-kemarin yang pertemuanku dengan Mas Erick?"
"Iya, baru sampai tanda lahir biru. Itu kenapa, Ra? Jangan sampai kepotong lagi ceritanya, ya. Pokoknya gak mau kepotong, titik! Gak ada adegan pinti diketuk, HP berdering, atau apapun lah itu."
Zara tersenyum kecil melihat antusiasme sahabatnya. "Iya La, ya...mudah-mudahan tidak ada hambatan lagi. Jadi begini terusannya...
Flashback.
Ketika Zara membantu Erick saat dirawat di rumah sakit, pada waktu itu ada kesempatan dimana ia tidak sengaja melihat tanda lahir biru di lengan atas Erick. Tanda itu berbentuk tidak beraturan.
Deg.
Jantung Zara berdegup kencang. Ia terkejut, seketika mengingat pesan sang ayah sewaktu masih hidup.
Ayahnya Zara pernah berkata, "Nak, suatu saat nanti kalau kamu bertemu dengan pria bernama Erick yang punya tanda lahir biru di lengan atas, bantulah ia jika ada dalam kesulitan. Jangan ragu, Nak."
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Zara waktu itu.
"Karena dia pernah menyelamatkan Bapak dari kebakaran di pasar sewaktu dulu. Ia mempertaruhkan nyawa, beruntung bapak maupun dia berhasil selamat."
Kebakaran itu hampir saja membuat Zara tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Apalagi saat itu Zara masih duduk di sekolah dasar.
"Bapak hampir terjebak, dan Erick lah yang nekat menerobos untuk menarik Bapak keluar. Dia terluka parah saat itu, karena dia menyelamatkan Bapak." Lanjutnya.
Mendengar itu, hati Zara bertekad. Ada rasa terima kasih yang mendalam terhadap sang penyelamat ayah, sehingga ia bisa bersama Bapak setidaknya sampai ia beranjak besar. Meskipun saat baru masuk kuliah, sang ayah tetap meninggalkan dirinya untuk selamanya karena penyakit komplikasi yang parah.
Dia hidup sendirian kala itu, sanak saudara jauh semua, dan Zara pun enggan untuk merepotkan mereka. Tentu ia merasakan sedih, kehilangan, dan bingung harus memulai dari mana untuk melanjutkan hidup. Tetapi Zara tidak pernah sedikit pun untuk menyerah. Dia manfaatkan kemampuan apa saja yang bisa menghasilkan uang, tapi tetap bisa menjaga diri. Apapun dia lakoni asal itu tidak haram. Dia bekerja serabutan, menjadi asisten dosen, hingga menjadi caregiver ia lakoni.
Pesan ayahnya kembali terngiang, menjadi pengingat di tengah kebingungannya.
Zara menelan ludah, menatap Erick yang sedang sibuk mengetik di laptopnya. Ia harus memastikan ini.
"Pak Erick," panggil Zara pelan. "Apa Bapak tahu peristiwa beberapa tahun lalu di daerah X, kebakaran pasar pusat?"
Erick mengernyit, nampak berpikir sebentar mengingat-ingat. "Tahu. Kenapa Mbak Zara tiba-tiba nanya itu?"
"Soalnya kejadian itu di daerah yang sama dengan kampung asal Bapak. Peristiwa itu lumayan besar, penasaran saja apa Bapak tahu."
"Saya tahu, bahkan saat kejadian saya ada di sana. Termasuk yang korban selamat, sama satu orang bapak-bapak waktu itu. Kami berhasil keluar dari sana. Saya masih ingat, bapak-bapak itu pingsan karena terlalu banyak menghirup asap. Setelah saya tarik, saya langsung dilarikan ke rumah sakit karena banyak luka bakar ringan. Saya bahkan tidak sempat tahu kabar bapak itu selanjutnya."
Deg! Darah Zara serasa mendesir, ia merasakan rasa hangat yang menyebar di dadanya. Pria di hadapannya adalah orang yang ia cari, orang yang dijanjikan sang ayah.
Mulai saat itu, atensi Zara tercurah kepada Erick. Kata sang ayah, jika suatu saat nanti menemukan, maka bantulah Erick di saat masa kesulitan.
Berporos pada pemikiran itu, Zara yang awalnya tidak tahu Erick punya kesulitan apa, lantas sigap memberikan perhatian total saat Erick sakit. Bantal Erick miring sedikit langsung dibenarkan. Erick meringis dikit, Zara langsung panik menanya, "Mana yang sakit, Pak? Panggil dokter ya?" Padahal Erick tidak sakit, cuma membetulkan posisi kaki yang kesemutan karena kelamaan bersila.
Erick yang dirawat, bandel sekali. Ia tetap main laptop, mencicil sedikit-sedikit pekerjaannya agar tidak membebani Emily. Jadi dia duduk bersila memangku laptop. Meskipun sudah ditegur dokter untuk istirahat total, Erick tetap bandel, ngumpet-ngumpet saat perawat tidak ada.
Sampai akhirnya, Zara tahu bahwa Erick divonis gagal ginjal. Erick harus menjalani cuci darah secara rutin, namun laki-laki itu enggan untuk melakukannya. Entah apa alasannya, waktu itu Zara tidak tahu.
Zara sempat membujuk pelan-pelan kepada Erick agar mau melakukan HD, tapi hasilnya nihil. Hingga pada akhirnya Erick keluar dari rumah sakit dan kembali ke aktivitas seperti biasanya, seakan tidak pernah ada vonis apa-apa.
Bagi Erick, kepada Zara hanya sebuah transaksi jasa caregiver. Sehingga setelah selesai perawatan, maka sudahlah tak ada interaksi apa-apa lagi. Namun bagi Zara, lain ceritanya. Wanita itu menyempatkan waktu untuk diam-diam memperhatikan Erick. Ia ingin menjaganya dimasa kesulitan, dan kalau bisa, ia membujuk kembali Erick untuk mau menjalani HD.
.
.
.
Bersambung.
jadi lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri bukan untuku TPI untk masa depanmu sendiri
bay
yg penting mas areick makin Cintaa dan sayang ke zahra