Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
“Jadi numpang, nggak?!” suara Saka terdengar dari depan pintu, tegas dan sedikit meninggi. Nada suaranya memantul ke seluruh ruangan, menandakan kesabarannya hampir habis.
Senja yang masih di meja makan hanya tersenyum kecil. Ia melangkah pelan mendekati dinding sekat yang berbatasan langsung dengan ruang tamu, lalu bersuara cukup keras agar terdengar.
“Nggak jadi, Mas! Aku udah ada yang jemput!” serunya dengan nada ringan.
Suara hentakan sepatu Saka yang sedang ia pakai tiba-tiba berhenti. Lelaki itu menoleh cepat, matanya menyipit. “Siapa?” tanyanya spontan, nadanya meninggi tapi ada nada penasaran di dalamnya.
Senja menahan tawa, lalu menjawab dengan nada menggoda. “Ada deh! Mau tahu aja, atau mau tahu banget?”
Saka langsung terdiam sesaat, rahangnya menegang. Ia tahu Senja sedang bermain-main dengannya, dan entah kenapa justru itu membuat dadanya panas. Merasa dipermainkan, ia berdiri dari posisi duduk dan dengan langkah lebar menuju pintu.
Tanpa kata lagi, bruk! pintu terhempas keras menandakan ia keluar dengan amarah yang tak dapat di sembunyikan.
Senja yang masih berdiri di balik sekat terlonjak kecil, namun senyum di wajahnya perlahan merekah. Ada rona puas yang samar di matanya.
Ia tahu suaminya marah. Tapi untuk pertama kalinya, amarah itu bukan karena kebencian, melainkan karena cemburu. Dan bagi Senja, itu pertanda bahwa tembok dingin di hati Saka mulai retak, sedikit demi sedikit.
“Lumayan,” gumamnya pelan sambil tersenyum, “setidaknya sekarang dia mulai peduli.”
---
Saka membuka pintu ruangannya dengan gerakan tergesa. Wajahnya menegang, dan langkahnya berat seolah sedang menahan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Entah karena apa, tapi amarah yang belum jelas arah masih menggantung di dadanya.
Begitu pintu tertutup, ia menjatuhkan diri ke sofa dengan kasar. Udara di ruangan terasa panas, padahal pendingin ruangan masih bekerja seperti biasa. Ia menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri yang entah kenapa justru semakin gelisah.
Suara notifikasi ponselnya memecah hening. Dengan malas, ia meraih ponsel di meja. Namun begitu membaca isi pesan yang terpampang di layar, matanya langsung membulat.
[Saka, aku boleh izin bawa Senja ke rumahku, gak? Sebentar aja?]
Dada Saka tiba-tiba terasa panas. Urat di pelipisnya menegang. Ia menatap layar itu beberapa detik tanpa berkedip, napasnya memburu.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan tombol panggilan. Nada tunggu terdengar beberapa kali, dan setiap detik terasa begitu lama. Hingga akhirnya suara di seberang menyapa.
“Halo,” suara berat Zein terdengar santai, seolah tak menyadari badai yang akan datang.
“Zein!” suara Saka meninggi. “Kau sudah keterlaluan!”
Hening sejenak. “Keterlaluan apa?” tanya Zein datar.
Saka bangkit berdiri, langkahnya mondar-mandir di depan meja kerja. “Aku menyuruhmu mendekati Senja supaya aku punya bukti di depan keluargaku, bukti kalau dia bukan wanita baik-baik!”
Nada Saka penuh tekanan. Tapi dari seberang, suara Zein terdengar tenang, nyaris tanpa ekspresi.
“Aku tidak mau memfitnah orang, Saka. Kalau kau tidak menginginkannya, serahkan saja padaku. Aku yang akan menikahinya. Dan kau, silakan nikahi pacarmu itu.”
Rahang Saka mengeras. Darahnya berdesir cepat. Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
“Oh, ya?” suaranya bergetar menahan amarah. “Aku memang tidak menginginkannya, tapi aku tidak akan membiarkan dia lepas begitu saja!”
Tanpa menunggu balasan, Saka menutup sambungan telepon. Napasnya memburu, dadanya naik turun cepat. Ia duduk kembali, menunduk, namun emosi yang bergejolak tak juga reda.
Tepat ketika ia mengembuskan napas panjang mencoba menenangkan diri, suara pintu berderit lagi.
***,
Pintu ruang kerja Saka terbuka perlahan. Aroma parfum mewah langsung menyeruak, tapi cukup kuat untuk menarik perhatian. Seorang wanita bergaun putih selutut melangkah masuk dengan senyum yang menawan. Dialah Citra, wanita yang dulu ia sebut sebagai kekasih impian.
Namun entah mengapa, hari itu kehadirannya justru terasa mengganggu. Ada sesuatu dalam dirinya yang berat, seolah hari itu bukan waktu yang tepat untuk bertemu.
Tanpa menunggu izin, Citra melangkah mendekat. Suara tumit sepatunya berirama lembut di lantai marmer.
“Saka,” panggilnya, suaranya lembut.“Aku dengar, sepupumu itu akan menikah, ya?”
Saka menatapnya sekilas, lalu menghela napas panjang. “Iya, minggu depan,” jawabnya datar.
Citra menyandarkan tubuh di tepi meja, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaannya dengan pelan. “Dan kau akan datang ke sana?” tanyanya lagi, matanya memerhatikan wajah pria itu dengan seksama.
“Tentu.” Jawaban Saka terdengar singkat, tanpa ekspresi.
Citra tersenyum, senyum yang dibuat-buat agar tetap terlihat manis. Ia beranjak pelan, lalu mengitari meja kerja, hingga berdiri tepat di belakang Saka. Kedua lengannya melingkar di bahunya, pelukannya lembut tapi sarat maksud.
“Kalau begitu…” bisiknya di dekat telinganya, “kau akan membawaku, kan?”
Saka terdiam sejenak, lalu menghembuskan napas pelan. Ia menyingkirkan tangan Citra dari bahunya dengan lembut tapi tegas. “Citra,” ucapnya tenang, “seluruh keluargaku tahu siapa istriku.”
Ia lalu membuka laptopnya, berpura-pura sibuk mengetik sesuatu.
Senyum di bibir Citra perlahan memudar. Tatapannya kosong, tapi dadanya terasa sesak. Ia menahan napas agar suaranya tak bergetar.
“Oh… jadi maksudmu, kau akan datang ke pesta itu bersama istrimu?” tanyanya lirih, tapi nadanya tajam.
Saka tak mengangkat kepala. “Ya. Aku tak punya pilihan.”
Citra menahan tawa kecil, getir dan menyakitkan. “Kau benar-benar pecundang, Saka,” ujarnya dingin. “Kau tidak bisa memperjuangkan cinta kita.”
Saka menoleh cepat, wajahnya menegang. “Bukan karena aku tidak mau memperjuangkan!” Nada suaranya meninggi. “Kau tahu sendiri keadaanku. Aku harus menuruti keinginan orang tuaku dulu, agar mereka mempercayakanku semua aset dan tanggung jawab keluarga. Setelah itu...”
“Setelah itu apa?” potong Citra, matanya berkilat tajam. “Kau selalu punya alasan, Saka. Selalu bersembunyi di balik kata ‘nanti’. Tapi nyatanya, kau tidak pernah benar-benar memilih aku.”
Saka terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan.
Citra menghela napas panjang, lalu memperbaiki tas kecil di lengannya. “Terserah kamu saja,” ucapnya datar. Ia berbalik, melangkah menuju pintu dengan langkah mantap, meski senyum yang ia tunjukkan jelas penuh kepalsuan.
Sebelum keluar, ia menatap Saka sekali lagi dengan tatapan kecewa, yang lebih tajam dari amarah. “Aku tidak akan mengharapkan mu lagi... "
Pintu menutup perlahan di belakangnya, meninggalkan Saka dalam ruang yang kembali sunyi.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, Saka menatap layar laptop yang masih menyala… tapi pikirannya sama sekali tak di sana.
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you