Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Scandal in the Shadows
Kabut pagi di Windsor Palace terasa lebih dingin dari biasanya. Namun dinginnya bukan berasal dari cuaca, melainkan dari udara canggung yang menyelimuti seluruh istana sejak dua hari terakhir.
Sebuah foto telah beredar diam-diam di kalangan internal kerajaan — foto yang diambil dari kejauhan, menampilkan Putri Raras dan Pangeran William duduk berdua di taman kaca, dengan tangan saling bersentuhan di atas meja.
Foto itu kabur, tapi cukup jelas untuk membuat gosip mengalir deras.
> “Is the Crown Prince falling for the foreign princess?”
“Mystery Woman From The East — A New Royal Scandal?”
> "Apakah Putra Mahkota jatuh cinta pada putri asing?"
"Wanita Misterius dari Timur — Skandal Kerajaan Baru?"
Judul-judul sensasional itu mulai bermunculan di situs berita Inggris. Pihak istana belum memberikan pernyataan apa pun, namun orang-orang sudah mulai bertanya-tanya.
---
Raras berdiri di depan jendela kamarnya, menatap halaman istana yang diselimuti kabut. Jemarinya menggenggam ponsel yang terus bergetar — pesan dari wartawan, dari agensi, dari orang-orang yang ingin tahu kebenaran.
Ia menutup ponsel itu pelan, menatap pantulan dirinya di kaca.
Gaun putih sutranya tampak tenang, tapi matanya tidak. Ada badai kecil di sana — campuran takut, sedih, dan bingung.
Ketukan pelan terdengar dari arah pintu.
“Come in.”
Pintu terbuka. Lady Eleanor masuk, wajahnya tampak tegang. “Your Highness, the Queen requests your presence. Immediately.”
"Yang Mulia, Ratu meminta kehadiran Anda. Segera."
Nada suaranya datar, tapi mata Eleanor menunjukkan kekhawatiran.
---
The Queen’s Chamber
Ruangan itu megah dan dingin. Tirai tebal menjuntai dari langit-langit tinggi, dan aroma bunga lavender memenuhi udara.
Ratu Margaret duduk di kursinya, mengenakan mantel biru laut dan bros berlian di dada. Tatapannya tajam, meski tenang.
Raras menunduk hormat. “Your Majesty.”
“Sit down, Princess.”
*“Duduklah, Putri.”
Nada sang ratu terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang berat di baliknya. Raras duduk di kursi seberang, menjaga sikap dan pandangan.
Ratu menatapnya lama, lalu membuka map yang berada di meja. Di dalamnya ada lembaran foto yang sudah ia lihat sejak tadi pagi.
“You do understand what this means, don’t you?”
*“Kau mengerti maksudnya, bukan?”
Raras menatap foto itu sekilas, lalu mengangguk. “I do. But, Your Majesty, there was nothing improper. We were simply having tea.”
*"Ya. Tapi, Yang Mulia, tidak ada yang tidak pantas. Kami hanya minum teh."
“Tea,” sang ratu mengulang pelan. “In a private garden, with hands touching, under the eyes of the press. My dear, in this family, tea can destroy a crown.”
*"Di taman pribadi, dengan tangan saling bersentuhan, di bawah sorotan pers. Sayangku, di keluarga ini, teh bisa menghancurkan mahkota."
Nada tenangnya membuat bulu kuduk Raras meremang.
“Saya tidak bermaksud membuat masalah,” jawab Raras, kali ini dalam bahasa Indonesia yang ia harap tak sepenuhnya dipahami. “Saya hanya ingin jujur dengan hati saya.”
Namun rupanya, Ratu Margaret mengerti lebih dari yang Raras kira. Ia tersenyum tipis. “Honesty is a virtue, but in a kingdom, it’s also a weapon. Especially when feelings are involved.”
*"Kejujuran adalah sebuah kebajikan, tetapi di kerajaan, kejujuran juga merupakan senjata. Terutama ketika menyangkut perasaan."
Raras menunduk. Suasana hening.
Setelah beberapa detik, sang ratu melanjutkan.
“William is… dear to me. He’s a good man. But his future isn’t his alone. I hope you understand that.”
*"William... sangat berharga bagiku. Dia pria yang baik. Tapi masa depannya bukan hanya miliknya. Kuharap kau mengerti."
“Aku mengerti, Your Majesty.”
“Good.” Sang ratu menutup mapnya perlahan. “I have spoken to the press. We will announce that you are only guests under royal friendship — nothing more. I expect your discretion from now on.”
*"Bagus. Saya sudah bicara dengan pers. Kami akan umumkan bahwa kalian hanyalah tamu dalam persahabatan kerajaan — tidak lebih. Saya mengharapkan kebijaksanaan kalian mulai sekarang."
Nada kalimat terakhir terdengar seperti keputusan.
Raras berdiri dan menunduk hormat. “As you wish.”
*"Sesuai harapan Anda."
Namun sebelum ia sempat keluar, sang ratu berkata lagi tanpa menatapnya.
“Princess Raras.”
Raras berhenti di depan pintu.
“Love is beautiful. But remember — even roses bleed when held too tightly.”
*"Cinta itu indah. Tapi ingat — bahkan mawar pun bisa berdarah jika dipegang terlalu erat."
Raras tak menjawab. Ia hanya tersenyum samar dan melangkah keluar, menyembunyikan hatinya yang bergetar.
---
Meanwhile…
William sedang berada di ruang latihan berkuda ketika salah satu ajudan datang membawakan surat dari pihak kerajaan.
Ia sudah tahu isinya sebelum membukanya — teguran halus dari Dewan Kerajaan. Ia membaca cepat, lalu meremas surat itu di tangannya.
Matanya memanas.
Ia melempar surat itu ke tanah, lalu berjalan keluar kandang dengan langkah cepat.
Saat ia melewati taman, seseorang memanggilnya.
“Your Highness!”
*"Yang Mulia!"
Raras berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel panjang warna gading. Ia menatapnya cemas.
“William, kita harus bicara.”
Mereka berdiri saling berhadapan di tengah taman yang sepi. Embun menggantung di udara, dan napas mereka berhembus dalam kabut.
“Aku baru saja dari Ratu,” ujar Raras pelan. “Beliau meminta kita berhati-hati. Foto kita sudah menyebar.”
William menghela napas kasar. “Aku tahu. Dan aku juga tahu mereka ingin menghapusmu dari hidupku.”
“William—”
“Raras,” potong William cepat, menatapnya lekat. “Aku tidak peduli apa kata mereka. Aku tidak peduli pada gelar atau mahkota. Aku hanya peduli padamu.”
Raras memejamkan mata, air matanya jatuh sebelum ia bisa menahannya. “Dan aku peduli padamu. Tapi, cinta kita… bisa menghancurkan terlalu banyak hal, Will.”
William mendekat, menangkup wajahnya. “Biarlah dunia hancur. Asal kamu tetap ada di sisiku.”
Raras menggeleng dengan air mata menetes di pipinya. “Tidak, Will. Dunia harus tetap utuh — karena di dalamnya ada kamu, dan aku ingin kamu bahagia, meski bukan denganku.”
William menatapnya, terluka. “Jangan bicara seperti itu.”
Namun sebelum ia bisa menjawab lagi, suara langkah sepatu terdengar dari kejauhan. Dua pengawal mendekat, memanggil nama William dengan hormat.
“Your Highness, the council requests your presence. Urgent.”
*“Yang Mulia, dewan meminta kehadiran Anda. Mendesak.”
Raras menghapus air matanya cepat. “Pergilah.”
William menatapnya sejenak, lalu berbisik pelan, “I’ll find a way.”
*"Aku akan menemukan caranya."
Ia berbalik, meninggalkan taman dengan langkah berat.
Raras berdiri di sana cukup lama, memandangi punggung pria itu yang perlahan menghilang di balik kabut.
---
Malamnya, di kamar kecilnya, Raras menulis satu kalimat di jurnalnya:
> “Di balik cahaya mahkota, bayangan cinta mulai menjadi skandal. Dan aku — sang putri dari timur — harus belajar mencintai dalam senyap.”
Sementara di sisi lain istana, William menatap layar berita yang menayangkan potret dirinya dan Raras.
Tulisan besar di bawahnya membuat hatinya mencengkeras:
> “Royal Scandal: Prince William and The Javanese Princess — Forbidden Love or Political Alliance?”
> “Skandal Kerajaan: Pangeran William dan Putri Jawa — Cinta Terlarang atau Aliansi Politik?”
Ia mengepalkan tangan, berbisik pada dirinya sendiri dengan suara serak,
“I won’t let them turn our hearts into headlines.”
*“Aku tidak akan membiarkan mereka mengubah hati kita menjadi berita utama.”
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰