Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PULANG YANG TAK BENAR-BENAR PULANG
Pesawat mendarat di Soekarno–Hatta ketika langit Jakarta masih separuh kelabu. Uap panas naik dari landasan, menampar wajah Sera begitu pintu kabin terbuka.
Paris masih melekat di kulitnya — wangi parfum, dingin malam, gemerlap lampu Palais Garnier — tapi begitu langkahnya keluar dari pesawat, semuanya runtuh jadi kenyataan: Jakarta selalu menunggu, tapi jarang benar-benar menyambut.
Bian masih ribut soal koper.
“Eh, kalau koper ini sampai penyok, aku tuntut maskapai ini ke pengadilan mode!”
Sira menatapnya datar. “Koper penyok, hidup tetap jalan, Bian.”
“Ya tapi ini limited edition, Ra! Paris beli pake diskon staf loh, itu harga self-esteem aku!”
Sera cuma diam. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya. Ia tidak menjawab satu pun percakapan, hanya sesekali mengangguk pada staf bandara yang mengenalinya. Beberapa penumpang sempat berbisik, sebagian mengangkat ponsel.
“Eh, itu Seraphina luna, kan?”
“Yang tampil di Maison de Luxe kemarin?”
“Cantik banget aslinya.”
Pujiannya tidak lagi membuatnya bangga, hanya menambah beban di pundak yang sudah lelah.
Sera tahu, sebagian dari orang-orang itu hanya ingin menangkap citra, bukan dirinya.
Di parkiran, mobil hitam Kalle sudah menunggu.
Tapi bukan Kalle yang muncul — hanya sopir kantor rumah sakit.
“Dokter Kalle masih di lapangan, Bu. Ada kasus emergensi,” ucapnya sopan.
Sera hanya mengangguk. “Saya udah bisa sendiri, Pak.”
Dan di situlah, untuk pertama kali setelah rasa kosong itu kembali terasa.
Sisa glamor dari Paris menguap di udara lembap Jakarta.
Dunia yang berjarak ribuan kilometer itu kini terasa seperti mimpi yang terlalu mahal untuk diulang.
***************************
Apartemen Kalle kecil dan rapi — terlalu rapi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain tumpukan jurnal medis di meja dan secangkir kopi dingin yang tertinggal di dapur.
Sera menaruh kopernya di lantai, lalu menarik napas panjang.
Hening.
Hanya bunyi jarum jam yang terdengar, menandakan waktu berjalan, meski hati tak ikut bergerak.
Ia menatap sofa tempat Kalle biasa tidur ketika lembur.
Ia bisa membayangkan lelaki itu masih mengenakan jas putih, wajahnya tegang karena kurang tidur, tapi tetap sempat menelpon pasien di tengah malam.
Sera membuka ponsel. Tidak ada pesan.
Hanya satu notifikasi dari media: “Maison de Luxe menobatkan Seraphina Luna sebagai highlight model of the night.”
Artikel itu seharusnya membuatnya bangga. Tapi yang ia rasakan hanya hampa.
Paris sudah memujinya, tapi rumah tidak menunggunya.
Pintu tiba-tiba berderit.
Kalle masuk, masih dengan tas kerja menggantung di bahu dan wajah lelah yang bahkan tak sempat tersenyum.
“Kamu baru sampai?”
“Ya. Dari bandara langsung ke sini.”
“Harusnya kasih kabar. Aku bisa—”
“Ngapain? Kamu juga nggak akan bisa datang. Lagi pula dengan kirim supir kamu aja aku sudah berterima kasih." ujarnya setengah menyindir." ngomong-ngomong, kamu di sediakan supir juga sama rumah sakit ?"
" Gak, itu kebetulan dia bisa searah mau ke bandara." Jawab Kalle pelan."Maaf, lagi aku gak bisa penuhi janji buat jemput kamu pulang."
"Gak usah minta maaf. gak usah juga menjanjikan apapun ke aku. Nanti yang ada jadi beban buatmu. Dari awal aku gak minta kamu untuk berperan sebagai suami yang baik kok,"
Nada itu meluncur sebelum sempat ditahan. Datar, tapi menggigit.
Kalle terdiam beberapa detik.
“Aku tahu. Aku minta maaf."
“Udah biasa,” jawab Sera pelan.
Keheningan menggantung. Ada jarak yang bahkan dinding apartemen kecil itu tak bisa jembatani.
Sera berjalan ke dapur, membuka kulkas, lalu menatap kosong ke arah makanan beku yang tidak disentuh.
“Kenapa nggak makan teratur?” tanyanya datar
“Aku makan kalau sempat.” jawaban Kalle singkat.
Kalle menatapnya lama, seolah mencari celah untuk bicara. Tapi Sera sudah menyalakan televisi, menenggelamkan semua kemungkinan dialog.
Suara berita malam bercampur dengan detak jam, jadi irama canggung yang familiar.
Malamnya, Sera duduk di depan meja rias, masih memakai kimono sutra yang ia beli di Paris. Cermin menampilkan wajah sempurna yang ia poles sendiri, tapi matanya tidak bersinar.
Ia membuka ponsel. Di daftar pesan, masih ada satu chat dari Kalle yang belum sempat ia balas — pesan dari malam gala itu.
Jaga diri. Aku gak suka lihat kamu kurus.
Sera menatap layar itu lama, jari-jarinya hampir menyentuh keyboard, tapi tak jadi menulis apa pun.
Apa yang bisa ia balas? Bahwa ia lelah? Bahwa dunia panggung itu hanya menyisakan cahaya palsu dan tepuk tangan kosong?
Atau bahwa satu-satunya pelukan yang ia inginkan selalu sibuk menolong orang lain?
Ia menekan tombol lock. Layar ponsel mati, dan hanya bayangan dirinya yang tersisa di cermin.
Dalam pantulan itu, Sera akhirnya sadar — kadang rumah bukan tempat seseorang menunggu, tapi tempat di mana kau belajar berdamai dengan sepi.
Suara ketukan pintu terdengar di ikuti tubuh tinggi pria dengan membawa segelas susu hangat.
"Minum ini dulu. Vitamin kamu aku taruh di bawah rak. Habis itu istirahat." ucap Kalle pelan." Aku mau selesaikan pekerjaan dulu di ruang sebelah."
Sera menatap lurus ke depan, lalu membuka suara, datar namun jujur, “Kal…”
“Hmm?”
“Kalau suatu hari aku nggak bisa terus di sini, kamu bakal nyari aku nggak?”
Kalle menatapnya sekilas, keningnya berkerut.
“Apa maksud kamu?”
Sera mengangkat bahu, pura-pura santai. “Nggak tahu. Cuma nanya aja.”
Kalle menatap jalan lagi, tapi rahangnya mengeras.
“Kalau kamu pergi, aku nggak bakal nyari.”
Sera tersenyum miring. “Cepat banget jawabnya.”
“Tapi bukan karena aku nggak mau. Karena aku tahu, kamu nggak mau ditemukan.”
Hening.
***************************
Sosok pria muda masuk ke dalam ruang kantor mewah. pria itu segera menyerahkan selembar kertas.
"Delani Sifa, betul ada saat ini ada dalam perawatan dan pengawasan Central Health juga kepolisian. Agak sulit untuk tahu banyak informasi. Tapi memang berita kehamilannya. Menurut Pras, ibu Ayu sudah memerintahkan untuk Dela di pindah ke Saphira medical center."
"Soal itu aku sudah tahu." sahut Adipati." Apa tak ada informasi terbaru ?"
Restu menggelengkan kepalanya." Belum ada ada lagi, pak. Tapi sudah saya siapkan orang untuk mengawasi disana."
"Baiklah, terpenting aku tidak mau sampai Ayu yang lebih dulu membawa dia ke Saphira medical center."
*************************
Angin pegunungan Sukabumi sore itu dinginnya menggigit kulit, tapi tetap terasa akrab. Dari ujung jalan rumah dinas, papan kayu bertuliskan “Dr. Kalleandra Aryasatya— Puskesmas Sukabumi Utara” miring sedikit, separuh catnya terkelupas.
Di halaman, pot cabai dan daun pandan milik Bu Rini—tetangga sebelah—menyambut Sera yang baru turun dari mobil.
Mobil itu, tentu saja, masih mobil kota: hitam, sleek, dengan pelat Jakarta. Kontras dengan barisan motor bebek dan mobil tua di sepanjang jalan.
“Wah! Mbak Sera pulang! Saya kira masih di luar negeri!” seru Bu Rini, sambil menyeka tangan dari adonan tempe mendoan. “Paris katanya, ya? Ya ampun, kayak di tipi-tipi!”
Sera tersenyum kecil. Masih dengan kaca mata hitam besar dan jaket beige yang kelihatan mahal bahkan tanpa logo.
“Hanya kerja, Bu. Sekalian bawa oleh-oleh,” ucapnya, menyerahkan bungkusan kecil. “Ini sabun handmade dari sana. Aromanya lavender.”
Bu Rini menerima bungkusnya dengan mata berbinar. “Duh, Mbak, sabunnya dari Paris! Kalau saya pakai, nanti suami saya mau peluk terus, nih.”
Bian yang berdiri di belakang langsung nyeletuk, “Bu, itu sabunnya mahal, loh. Jangan buat nyuci piring ya.”
Tawa pecah di halaman kecil itu. Beberapa tetangga lain keluar juga, ikut heboh. Mamang tukang sayur bahkan datang bawa tomat, katanya “oleh-oleh balik” buat Sera karena sering dititipi belanjaan.
Kalle muncul dari dalam rumah, masih dengan baju dinas putih dan wajah sedikit lelah. Tapi begitu lihat Sera, ekspresi datarnya mencair — bukan karena romantis, tapi lebih karena lega.
“Udah pulang,” katanya singkat.
“Udah,” jawab Sera, menatapnya sekilas sebelum menunduk. “Aku sempat beli sesuatu buat kamu.”
Ia mengeluarkan dasi biru tua dengan motif halus. “Cocok sama jas abu-abu kamu.”
Kalle menerimanya dengan senyum samar. “Terima kasih.”
Lalu keheningan itu datang — bukan yang dingin, tapi yang penuh perasaan tak terucap.
Sera menatap rumah dinas itu: dinding putih yang mulai kusam, lantai semen dingin, dan aroma kayu lembap dari dapur. Di kepalanya, Paris masih berputar: chandelier, blitz kamera, dan wangi parfum mahal. Sekarang, semua berganti aroma minyak kayu putih dan suara ayam tetangga.
“Capek?” tanya Kalle pelan.
“Capek dikit,” jawab Sera, melepas sepatu hak tinggi dan duduk di kursi rotan dekat pintu. “Tapi aneh... aku malah kangen suasana sini.”
Kalle tertawa kecil. “Serius? Kamu kangen rumah yang bocor kalau hujan?”
Sera ikut tertawa — tipis, tapi tulus. “Mungkin aku kangen bagian yang nggak ribet.”
Bian muncul dari dapur, berteriak, “Ra! Aku nggak nemu gelas kaca. Kamu nyimpen di mana sih? Ini rumah kayak escape room.”
Sera geleng-geleng, sementara Kalle memandang datar.
"Maafkan Bian,Dia belum terbiasa hidup di sini,” katanya. "Dia juga belum terbiasa hidup tanpa lemari kaca yang isi skincare semua,”
Mereka saling pandang, kali ini dengan senyum yang jujur — tapi sebentar saja.
Malam datang cepat di Sukabumi. Sera menyalakan lilin aromaterapi kecil di ruang tamu, kebiasaan lamanya yang bahkan Kalle sudah hafal.
“Lavender lagi?” tanya Kalle.
“Biar tenang.”
“Tenang dari apa?”
Sera menatap api lilin itu lama. “Dari semuanya. Teemasuk dari mulut kamu yang kadang gak ada filter dan muka tanpa ekpresi.”
Dari luar, suara jangkrik bersahutan dengan suara motor warga yang baru pulang ronda.
Di dalam rumah, hanya dua orang yang duduk berhadapan tapi rasanya berjauhan — seperti dua dunia yang bersebelahan tapi tak pernah bertemu.
Sera menatap Kalle yang sibuk membuka laptop. Ia tahu, Kalle sedang mengecek laporan pasien bahkan di jam makan malam. Dunia laki-laki itu sederhana tapi padat. Tak ada ruang untuk glamour, atau Paris, atau dirinya yang terbiasa jadi pusat perhatian.
“Kalle,” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Kalau nanti aku dipanggil lagi ke Paris, kamu keberatan?”
Kalle berhenti mengetik. Tatapannya dalam, tapi tenang. “Itu pekerjaan kamu, Ser. Aku siapa buat ngelarang?”
Jawaban yang sebetulnya sudah Sera bisa tebak. pria itu mungkin memang di takdirkan untuk tidak peka.