Kau sewa aku, Kudapatkan cintamu
Semua berawal dari selembar kertas perjanjian.
Ia hanya butuh uang, dan pria itu hanya butuh istri… meski sementara.
Dengan tebusan mahar fantastis, mereka terikat dalam sebuah **pernikahan kontrak**, tanpa cinta, tanpa janji, hanya batas waktu yang jelas. Namun, semakin hari, batas itu mulai kabur. Senyum kecil, perhatian sederhana, hingga rasa yang tak pernah mereka rencanakan… pelan-pelan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa disangkal.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
jangan lupa kasih dukungannya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part. 18- KSA, KDC
Beberapa jam kemudian...
Pesawat mendarat mulus di bandara internasional Lombok. Keira menatap keluar jendela dengan mata yang berbinar. Ia sangat kagum dengan pemandangan laut biru yang sudah terlihat dari kejauhan.
"Waaaah… indah sekali. Bahkan dari pesawat saja sudah kelihatan. Aku nggak nyangka bisa ke sini."
"Kau akan lihat lebih indah nanti," balas Arga sambil mengambil tas kabin dengan tenang.
Keira menoleh dan sedikit penasaran. "Serius? Lebih indah dari ini? Jangan-jangan kamu cuma melebih-lebihkan."
"Aku tidak pernah suka melebih-lebihkan," balas Arga lagi, masih dengan nada bicaranya yang datar.
Keira menyipitkan matanya. Ia ingin membantah, tapi memilih diam. Ia lalu tersenyum karena rasa penasarannya yang semakin menggebu.
Setelah keluar dari bandara, sopir pribadi keluarga Arga sudah menunggu. Mobil hitam yang mereka kendarai mengantar mereka keluar dari kota, menembus jalanan yang semakin sepi, lalu masuk ke kawasan perbukitan yang hijau.
Di sisi lain, laut biru membentang sejajar dengan jalan. Keira pun semakin asyik menempelkan wajahnya ke kaca, dengan sorot mata yang tak henti berbinar.
"Aku benar-benar seperti mimpi. Laut di kiri, bukit di kanan. Seperti wallpaper hidup!" seru Keira.
Arga melirik sebentar, kemudian kembali menatap ponselnya. "Kau memang gampang kagum."
"Ya biarlah! Orang kalau bahagia lihat hal-hal indah itu normal. Kamu saja yang dingin seperti es batu," ujar Keira, cuek.
"Kalau begitu, bersyukurlah masih bisa merasakan bahagia dengan hal kecil. Itu bagus," balas Arga seraya menutup ponselnya dengan santai.
Keira tertegun dan menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil tanpa sadar. Namun ia buru-buru mengalihkan pandangannya keluar jendela lagi.
_____
_________
Sekitar satu jam perjalanan, mobil berhenti di sebuah gerbang besar dengan papan kayu bertuliskan Private Villa. Jalan setapak menuju vila dihiasi pohon kelapa di kanan kiri, suara ombak pun mulai terdengar semakin jelas.
Begitu sampai, Keira langsung melongo.
Di hadapannya berdiri sebuah vila mewah bergaya tropis modern, dengan dinding kaca besar yang menghadap langsung ke pantai pribadi.
Kolam renang biru terhampar di depan vila, dan hanya ada satu bangunan megah itu di seluruh area.
"Ya ampun… ini serius? Jangan-jangan kita nyasar ke resort mahal?" seru Keira, sambil melangkah turun dengan kagum.
"Itu memang resort, tapi khusus. Hanya ada satu vila, dan tempat ini sudah dipesan hanya untuk kita," jawab Arga, sambil menurunkan kopernya.
"Hah? Hanya ada satu vila? Jadi… hanya ada satu kamar?" tanya Keira panik.
Arga menatap vila itu, lalu berjalan masuk tanpa menjawab. "Sudah jelas, bukan?"
Keira menggaruk kepalanya dengan panik. "Astaga… Keira, sabar… sabar… ini cuma kontrak, ingat itu!"
Ia pun menyeret kopernya sambil mengomel pelan, sementara Arga melangkah lebih dulu ke dalam vila dengan ekspresi datar tanpa menoleh.
**
Keira masuk ke dalam vila sambil menyeret koper dan langsung berkeliling. Interiornya elegan dengan dinding kaca besar yang menampilkan panorama laut biru, ruang tamu luas, dapur modern, dan satu pintu besar di tengah,yang merupakan pintu kamar.
Seketika Keira berhenti dan menatap pintu itu dengan wajah panik. "Jangan bilang… itu satu-satunya kamar di sini?"
Arga yang sudah duduk santai di sofa, membuka tablet lalu menyahut, "Memangnya ada pintu lain?"
Keira menghela napas seraya menepuk jidatnya. "Ya ampun… bisa-bisanya kakekmu nyuruh bulan madu di tempat beginian. Aku bakal gila."
Arga hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap tabletnya tanpa banyak komentar.
Sedangkan Keira masih gelisah, dan akhirnya memberanikan diri membuka pintu kamar itu. Begitu masuk, ia langsung melongo.
Sebuah ranjang king size super besar terhampar di tengah, dihiasi kelambu tipis berwarna putih yang menjuntai elegan.
Bunga mawar merah disusun membentuk hati di atas sprei putih bersih. Kamar itu terang dengan cahaya alami dari dinding kaca yang menghadap laut.
"Astaga… ini benar-benar kamar pengantin," desis Keira.
Lalu ia menoleh ke arah Arga yang masih tenang di sofa. "Hei, aku kan sudah bilang, kita ini cuma pernikahan kontrak. Tidur satu kamar itu… itu… gawat!"
"Siapa yang bilang harus satu ranjang?" balas Arga tenang, dan masih membaca tabletnya.
Keira terdiam sejenak, lalu menghela napas lega. "Oh… iya juga sih. Jadi aku tidur di sofa, kan?"
Arga kemudian menutup tabletnya, dan menatap Keira datar. "Di kamar hanya ada ranjang itu. Sofa di luar bukan untuk tidur."
"Terus… maksudmu kita tidur di ranjang yang sama?" Sahut Keira seraya memelototkan matanya.
"Ada apa dengan itu? Toh, hanya tidur," balas Arga, singkat dan tanpa ekspresi.
Spontan Keira pun langsung heboh dan menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Aduh Tuhan, ujian macam apa ini?!"
Keira lalu menjatuhkan dirinya ke kasur dengan dramatis, lalu berguling sambil menggerutu. "Keira, kuatlah… kuatlah… jangan sampai terpancing!"
Sementara Arga hanya menggeleng kecil, lalu meletakkan tabletnya di meja. Ekspresi datarnya tak berubah, tapi ujung bibirnya seolah terangkat tipis melihat tingkah Keira yang kocak.
**
Malam itu, suasana vila terasa hening. Dari luar sana suara deburan ombak pelan menambah ketenangan vila mewah itu. Namun, di dalam kamar, suasana justru memanas.
Keira berdiri dengan kedua tangan terlipat di dadanya, sambil menatap Arga yang sudah membuka jaket dan hendak berbaring di ranjang.
"Hei! Kamu mau ngapain?!"
"Apa kelihatannya? Tidur," jawab Arga santai, sambil meletakkan jaket di kursi.
"Ckk!" Keira berdecak lalu mendekat dan menunjuk ranjang. "Tidur? Di sini? No! Itu wilayahku. Kau harus tidur di sofa luar sana."
Arga menoleh datar, dan berkata dengan tenang. "Aku tidak akan tidur di sofa. Itu untuk duduk, bukan tidur."
"Ya ampun! Kenapa kamu keras kepala sekali sih?! Aku nggak bisa tidur bareng kamu. Nanti… nanti aku kebayang macam-macam."
Arga menaikkan alisnya. "Macam-macam?"
Keira langsung salah tingkah dan memelototkan matanya. "Ya pokoknya! Kamu ngerti kan maksudku!"
"Kalau hanya tidur, tidak ada yang perlu dibayangkan," balas Arga, hingga membuat Keira semakin emosi.
"Ya Tuhan… sabar, Keira, sabar…" Pekik Keira sambil menutup wajahnya dengan bantal kecil, seakan frustasi.
Adapun Arga, akhirnya merebahkan diri di sisi ranjang dan menarik selimut tanpa menambahkan kata apa pun. Sedangkan Keira masih berdiri mematung, seraya menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.
"Oke! Oke! Kalau gitu aku yang tidur di sofa. Daripada aku mati kepikiran semalaman," seru Keira sambil mengibaskan tangannya.
Ia lalu menyeret bantal dan selimut ke luar kamar dengan langkah yang lebar.
"Itu tidak nyaman," ujar Arga tanpa membuka matanya.
Namun Keira hanya mendesis sambil berjalan keluar kamar. "Lebih baik nggak nyaman daripada aku kehilangan kewarasanku tidur satu ranjang sama dia!" gerutunya.
Keira akhirnya berbaring di sofa panjang ruang tamu. Ia menggulung diri dengan selimut, dan memeluk bantal erat-erat.
"Ini hanya kontrak… hanya kontrak… nggak ada yang perlu dikhawatirin. Sofa juga lumayan kok… meski tidak seempuk kasur di kamar itu!," gumam Keira.
Sementara di kamar, Arga masih berbaring dengan tenang, namun sudut bibirnya sedikit terangkat mendengar omelan Keira yang terdengar sampai ke dalam.
BERSAMBUNG...