Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Hujan baru saja reda ketika sebuah mobil berhenti di depan Panti Asuhan Kasih Bunda.
Bima turun dengan langkah gontai, kemejanya kusut, wajahnya pucat kelelahan.
Tangannya membawa sebuah payung dan sekotak makanan yang dibungkus sederhana.
Ia berdiri cukup lama di depan gerbang, menatap papan nama panti itu dengan mata berkaca-kaca. Bima benar-benar tidak menyangka jika tempat tinggal Anisa yang baru ternyata jauh lebih nyaman dan lebih besar daripada Villa milik orang tuanya. Dan Bima pun tak habis pikir dari mana Anisa memiliki uang untuk membeli tempat tersebut atau hanya untuk sekedar menyewanya saja Bima yakin jika harganya pasti sangatlah mahal mengingat rumah itu cukup luas dan halamannya yang juga terlihat sangat luas.
Pintu panti terbuka perlahan. Asih, pengurus panti, muncul dengan tatapan heran.
“Bima?” suaranya pelan tapi penuh kewaspadaan.
“Iya, Bu… Saya Bima,” jawabnya, menunduk. “Saya… ingin bertemu Anisa, Bu. Hanya sebentar saja. Boleh kan bu?” ucap Bima memohon.
Asih menatapnya lama. Ia sempat ragu, tapi kemudian mempersilakan masuk.
"Silahkan masuk."
Bima berjalan perlahan melewati halaman panti.
Anak-anak kecil yang sedang bermain berhenti sejenak, memandangnya dengan rasa ingin tahu.
Dan di sana di bawah pohon ketapang, dengan pakaian sederhana dan wajah tenang Anisa sedang membantu anak-anak melipat pakaian yang baru dijemur. Begitu melihat Bima, gerak tangannya terhenti. Waktu seperti membeku sejenak.
“Nisa…” suara Bima nyaris tak terdengar, namun penuh getar.
“Ada apa kamu ke sini,Mas Bima?” jawab Anisa tenang tanpa menatap langsung.
Bima mendekat perlahan, menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya.
“Aku cuma mau ngomong sama kamu… cuma itu.”
“Aku rasa semua sudah jelas,” sahut Anisa cepat. “Kita nggak punya urusan lagi, kan?”
Bima menelan ludah, menunduk dalam.
“Nisa… aku tahu aku salah. Aku udah kehilangan semuanya, harta, jabatan, bahkan harga diriku sendiri. Tapi kehilangan kamu itu yang paling berat buat aku.”
"Kamu nggak lagi mabuk kan Mas, kenapa kamu berbicara seolah-olah sebelumnya kita memiliki hubungan yang spesial. Apa kamu lupa mas, jika kita hanyalah sebatas nikah kontrak dan itu pun pernikahan kita dilaksanakan secara palsu. Sedari awal statusku bukanlah seorang istri tapi hanya sebatas wanita kontrak."
"Aku tau Nis, tapi aku ingin memulai semua nya dari awal."
Anisa memejamkan mata, menarik napas panjang.
“Kamu datang ke sini untuk apa, sebenarnya Mas? Minta aku kasihani kamu dengan kondisi kamu yang sekarang?”
“Nggak Nis… aku datang untuk minta maaf. Untuk semua luka yang aku buat. Aku janji, aku bakal perbaiki semuanya. Aku bakal menikahi kamu secara resmi, sah, di hadapan Tuhan dan hukum. Aku cuma mau menebus kesalahanku.”
Suara Bima bergetar. Ia hampir berlutut, tapi Anisa cepat-cepat menahan.
“Jangan seperti ini, Mas. Gak enak di liat sama anak-anak .”
“Kenapa? Aku tulus, Nisa.”
“Tulus?” Anisa menatapnya akhirnya, mata itu penuh luka, tapi juga keteguhan. “Aku nggak tahu lagi mana yang tulus dari kamu, Mas. Dulu kamu semena-mena sama aku. Aku pikir kamu bisa memperlakukan aku dengan layak. Tapi kenyataannya, semua hanya permainan uang dan kebanggaan.”
Bima terdiam. Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik membasahi halaman panti.
“Aku nggak minta kamu percaya sekarang. Tapi tolong kasih aku kesempatan buat buktiin semua nya Nis. Aki janii aku akan berubah. aku sadar ternyata pilihan orang tua aku sudah tepat, hanya saja waktu itu aku dibutakan oleh cinta. dan ternyata wanita yang aku cintai mati-matian hanya menginginkan hartaku saja. Dia sangat berbeda dengan kamu, aku bisa melihat ketulusan dari mata kamu.”
“Kesempatan itu udah habis, Mas,” jawab Anisa pelan tapi tegas. “Kita masing-masing udah punya jalan hidup sendiri. Aku bahagia di sini. Aku tenang.”
Bima menatapnya tak percaya.
“Kamu nggak punya rasa sama aku sama sekali?”
“Punya atau tidak itu bukan alasan untuk kembali pada sesuatu yang pernah menghancurkan, Mas”
“Aku akan berubah, Nisa.”
“Mungkin iya. Tapi mental dan hati ku gak bisa melanjutkan semua nya. Lagian kita gak ada ikatan apa-apa. Jadi kita bisa berpisah seperti ini tanpa harus urus ini dan itu. Aku bebas mengejar kebahagiaan aku, begitupun dengan mas.”
Air mata mulai jatuh di pipi Bima. Ia menunduk, memejamkan mata keras-keras.
“Jadi ini… akhir kita?"
“Bukan akhir,Mas” Anisa tersenyum samar. “Ini awal. Awal dari hidup yang lebih baik, buat kita berdua. Aku harap kamu bisa nemukan gadis yang benar-benar tulus mencintai kamu, bukan karena status atau harta.”
Bima mengangguk pelan, suaranya parau.
“Dan kamu?”
“Aku cuma ingin hidup tenang dan damai sembari mengejar cita-cita aku,” jawab Anisa lembut. “Biar Tuhan yang atur sisanya.”
Mereka terdiam cukup lama. Hanya suara hujan yang menemani. Bima akhirnya melangkah mundur.Ia menatap sekali lagi wajah Anisa—wajah yang dulu ia sakiti, kini justru terlihat begitu kuat dan berwibawa.
“Terima kasih, Nisa,” bisiknya lirih. “Terima kasih karena kamu masih mau dengerin aku hari ini.”
“Hati-hati di jalan,Mas Bima,” jawab Anisa singkat, lalu berbalik membantu anak-anak lagi.
Bima berjalan keluar dari panti dengan langkah berat. Setiap tetes hujan di wajahnya terasa seperti penebusan kecil atas dosa yang terlalu besar. Dan di balik jendela, Anisa memandangi punggung Bima yang menjauh… lalu menutup matanya sambil berdoa lirih,
“Semoga kamu benar-benar menemukan kebahagiaanmu, Mas… bukan karena harta, tapi karena cinta yang sesungguhnya.”
Bima pergi dengan perasaan hancur, Iya sangat berharap Anisa bisa kembali bersamanya memulai hidup yang baru sebagai suami istri yang sah di mata agama dan juga hukum. tapi sepertinya Anisa sudah terlanjur trauma hidup dengannya. kilasan-kilasan kejadian ketika Bima memperlakukan Anisa tidak adil pun terlintas begitu saja memenuhi pikirannya, dan akhirnya Bima sadar jika tu semua adalah ulah dari Luna, wanita yang dulu sangat ia cintai bahkan ia rela melawan kehendak orang tuanya demi mempertahankan Luna.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama