NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 18

Satu tahun berlalu sejak Jenia tiba di Jerman.

Dingin musim gugur kini bukan lagi sesuatu yang asing baginya. Ia sudah terbiasa berjalan di jalanan Berlin dengan mantel panjang dan segelas kopi di tangan, menatap dedaunan kuning yang berjatuhan sambil mengingat betapa berat perjalanan yang sudah ia lalui.

Kini butik kecilnya, “JÉN Mode”, resmi dibuka di distrik seni yang ramai. Koleksi pertamanya “Bloom After Winter” mendapat perhatian besar dari media fashion lokal. Banyak yang kagum dengan konsepnya yang memadukan keanggunan tropis Indonesia dengan sentuhan modern Eropa.

Saat ia berdiri di depan butiknya yang baru diresmikan, Rani menatapnya sambil tersenyum haru.

“Aku bangga banget sama kamu, Jen.”

Jenia menatap papan nama di atas pintu butik itu, lalu tersenyum lembut.

“Semua ini… awalnya cuma mimpi, Ran. Aku dulu hampir menyerah, tapi ternyata Tuhan masih kasih jalan.”

Beberapa bulan kemudian, investor Jerman menawarkan Jenia kesempatan untuk memperluas usahanya ke kota lain.

Namun tawaran itu juga berarti ia harus menetap lebih lama di Jerman mungkin bertahun-tahun.

Malam itu, Jenia duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap langit malam Berlin yang bertabur bintang.

Di tangannya, ia memegang foto lama dirinya bersama Leony, Rehan, dan… Bastian.

Hatinya terasa tenang kali ini.

Bukan karena ia melupakan semuanya, tapi karena akhirnya ia berdamai dengan masa lalu.

“Bastian… dulu aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, aku ingin mencintai hidupku sendiri.”

Ia kemudian mengambil pena dan menulis surat di buku catatan pribadinya:

“Hari ini aku memutuskan untuk tinggal di Jerman.

Bukan karena aku lari dari masa lalu,

tapi karena aku akhirnya menemukan rumah di dalam diriku sendiri.”

Tiga tahun kemudian, nama Jenia Pradipta Prameswari mulai dikenal di dunia fashion Eropa. Majalah internasional menulis tentang kisahnya gadis Indonesia yang berani meninggalkan segalanya demi mengejar mimpi.

Di salah satu wawancara, seorang jurnalis bertanya padanya,

“Apakah Anda pernah menyesal meninggalkan seseorang di masa lalu demi karier ini?”

Jenia tersenyum lembut.

“Tidak. Karena kalau aku tidak melepas masa lalu, aku tidak akan bisa meraih masa depan.”

Sementara itu di Indonesia, Bastian duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop menampilkan wajah Jenia yang kini begitu anggun dan sukses.

Ia tersenyum pahit, namun juga bangga.

“Selamat, Jenia. Kamu akhirnya menemukan duniamu.”

Ia menutup laptop, memandangi langit senja di luar jendela kantornya.

Mungkin, cinta sejati memang tidak selalu harus dimiliki kadang cukup disyukuri pernah ada.

Lima tahun sudah berlalu sejak Jenia menetap di Jerman.

Dunia fashion kini mengenalnya sebagai desainer muda berbakat yang sukses membawa sentuhan Indonesia ke panggung Eropa. Namun di balik semua itu, kerinduan terhadap tanah kelahirannya tidak pernah benar-benar padam.

Suatu pagi di musim semi, Jenia berdiri di depan jendela apartemennya di Berlin. Angin berhembus lembut menerpa wajahnya saat ia menatap koper besar di sudut ruangan. Di meja, ada tiket pesawat bertuliskan “Berlin – Jakarta” dan undangan acara fashion week nasional yang akan digelar di Indonesia.

Ia tersenyum tipis.

“Sudah waktunya pulang,” gumamnya pelan.

Bandara Soekarno-Hatta sore itu dipenuhi keramaian.

Jenia melangkah keluar dari terminal dengan pakaian sederhana blus putih dan celana panjang krem namun pesonanya tetap memikat. Wajahnya tampak lebih dewasa, lebih tenang, dan pancaran matanya memantulkan kepercayaan diri yang matang.

Begitu tiba di mobil yang menjemputnya, Rani sahabat sekaligus rekan bisnisnya langsung memeluknya erat.

“Aku nggak nyangka, akhirnya kamu balik juga, Jen!”

Jenia tertawa kecil.

“Indonesia tetap rumahku, Ran. Aku ingin mulai lagi di sini… tapi kali ini dengan cara yang berbeda.”

Beberapa minggu kemudian, nama JÉN Mode Indonesia resmi diperkenalkan ke publik.

Butiknya yang berlokasi di pusat Jakarta menjadi perhatian media. Koleksi pertamanya di tanah air bertema “Homecoming”, terinspirasi dari budaya lokal dan perjalanan panjang hidupnya di luar negeri.

Di balik sorotan kamera dan tepuk tangan tamu undangan, Jenia menatap panggung dengan perasaan haru. Ia teringat bagaimana dulu ia hanya gadis biasa yang melamar kerja sambil naik motor tua, jatuh di depan kantor, dan bertemu dengan cinta pertamanya Bastian.

Waktu memang banyak mengubah segalanya, tapi kenangan itu tetap hidup di sudut hatinya.

Usai acara pembukaan, Jenia duduk sendirian di balkon butik lantai dua, menikmati udara malam Jakarta yang hangat.

Lampu-lampu kota berkelap-kelip, dan aroma hujan pertama setelah kemarau terasa menenangkan.

“Sudah lama ya, aku nggak lihat langit seindah ini,” bisiknya pelan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang.

Langkah itu tenang, tapi tegas seolah pernah ia dengar sebelumnya.

“Tidak kusangka… kamu kembali,” ucap suara berat itu.

Jenia menoleh perlahan.

Di hadapannya, berdiri Bastian dengan jas hitam, rambut sedikit beruban di sisi, namun sorot matanya masih sama: dalam, tajam, dan penuh cerita yang belum selesai.

Keduanya saling menatap dalam diam.

Waktu seolah berhenti di antara mereka.

“Aku dengar kamu sudah punya butik di sini,” kata Bastian akhirnya.

Jenia mengangguk pelan. “Iya. Aku hanya ingin membangun sesuatu untuk negeriku sendiri.”

“Dan kamu berhasil,” ujar Bastian lirih, menatapnya lembut.

Senyum Jenia samar, namun tulus.

“Terima kasih. Aku sudah lama berhenti mengejar apa pun selain kedamaian.”

Hening.

Hanya suara angin malam yang menemani mereka.

Bastian kemudian menatapnya lebih dalam.

“Bolehkan aku… jadi bagian kecil dari perjalanan barumu, Jen?”

Jenia menatapnya lama.

Tatapan itu bukan lagi tatapan gadis muda yang menyimpan cinta diam-diam, melainkan tatapan wanita yang sudah melalui badai hidup dan tumbuh lebih kuat.

“Aku tidak tahu, Bast. Tapi kalau memang takdir masih menulis nama kita di halaman yang sama, aku tidak akan menolaknya.”

Bastian tersenyum samar, dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, hati Jenia bergetar lagi bukan karena luka, tapi karena ketenangan.

Beberapa hari setelah pesta pembukaan butik JÉN Mode Indonesia, Jenia disibukkan dengan wawancara media dan pertemuan dengan investor.

Namun di tengah padatnya jadwal, sebuah pesan masuk ke ponselnya membuat langkahnya terhenti.

Bastian:

“Selamat atas butik barumu, Jenia. Aku ingin membahas kemungkinan kerja sama antara perusahaanku dan JÉN Mode.

Bisa kita bertemu besok sore?”

Jenia menatap layar ponselnya lama.

Bagian dari dirinya ingin menolak ia tahu, pertemuan dengan Bastian tidak akan sesederhana “urusan bisnis”. Namun rasa ingin tahu dan sebagian kecil perasaannya yang belum benar-benar padam, membuatnya mengetik balasan pendek.

Jenia: "Baik. Besok pukul 16.00 di butik saja.”

Sore itu, langit Jakarta mulai berwarna jingga ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan butik. Dari dalamnya, Bastian keluar dengan setelan abu-abu elegan.

Wajahnya sedikit letih, tapi ada ketenangan dalam sorot matanya dan senyum kecil yang selalu mampu mengusik hati Jenia sejak dulu.

“Terima kasih sudah mau meluangkan waktu,” ucap Bastian sambil menyalaminya.

“Tidak masalah. Kalau soal bisnis, aku pasti terbuka,” jawab Jenia datar, mencoba terdengar profesional.

Mereka duduk di ruang kerja Jenia, di balik kaca besar yang menampilkan pemandangan jalan kota.

Beberapa menit pertama, mereka benar-benar membicarakan soal bisnis kolaborasi antara perusahaan Bastian yang bergerak di bidang retail dengan lini fashion milik Jenia.

Namun perlahan, arah pembicaraan mulai berubah.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!