Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Moira duduk di sofa, meletakkan gelas kosong di meja, lalu bersandar. Matanya menerawang sesaat sebelum menoleh ke Gentha.
“Tha… ada hal yang harus lo tahu. Gue… nggak mati karena bunuh diri, seperti yang orang-orang bilang.”
Gentha menegang. “Maksud lo?”
Moira mengepalkan tangannya, suaranya pelan tapi tegas. “Gue dibunuh. Sama orang yang paling gue percaya… Razka.”
Deg!
Nama itu membuat rahang Gentha mengeras. Napasnya berat, matanya menatap Moira tak percaya. “Razka? Wakil ketua Nitro itu?!”
Moira mengangguk pelan. “Gue nggak nyangka dia yang nusuk gue dari belakang. Sekarang dia pasti lagi acting manis di depan lo dan anak-anak Nitro, kan?”
Gentha menunduk, teringat wajah Razka yang masih bisa senyum seolah nggak ada dosa. “Brengsek…”
Moira menepuk bahu Gentha. “Makanya gue butuh waktu. Gue harus nyusun rencana dulu. Tapi janji, Tha… Razka bakal jatuh dengan tangannya sendiri.”
Gentha menatap Moira lekat-lekat, lalu tersenyum miris. “Pantes aja tadi pas lo berantem sama anak buah Jackson, gerakan lo… persis Hanabi. Gue nggak mungkin salah liat. Sekarang semuanya jelas.”
Moira menyeringai kecil, mencoba mencairkan suasana. “Yaiyalah, gue ini limited edition. Mana bisa ditiru. Lo beruntung masih bisa liat gue hidup, tau nggak? Harusnya lo sujud syukur tuh.”
“Apaan sih…” Gentha menahan tawa, lalu mengusap matanya yang basah. “Gue nggak peduli lo di tubuh siapa, Bi. Selama lo Hanabi, gue bakal selalu ada di pihak lo.”
Moira terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Thanks, Tha… lo doang yang bisa gue percaya sekarang.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Moira berdiri dari sofa, berjalan ke arah rak buku di apartemennya. Dia membuka bagian bawah rak, menggeser papan kayu, lalu menarik keluar sebuah kotak hitam kecil.
Gentha menyipitkan mata. “Apaan tuh?”
Moira membuka kotaknya. Isinya beberapa flashdisk, dokumen kontrak, foto-foto transaksi, dan sebuah pistol perak. Tangannya mengelus pistol itu, senyum dingin terukir di wajahnya.
“Semua bukti kotor Razka ada di sini. Gue simpan salinan sebelum dia ngehancurin server Nitro. Dari pencucian uang sampai transaksi gelap sama mafia luar negeri. Dan kematian Hanabi…Kalau ini bocor… tamat dia.”
Gentha mendekat, terkejut. “Lo udah siapin ini semua?”
“Gue kan bukan ketua mafia karbitan, Tha.” Moira menutup kotaknya lagi. “Rencana gue simpel. Gue bakal bikin Razka jatuh ke dalam perangkapnya sendiri. Dia pikir gue udah mati? Salah besar.”
“Terus… langkah pertamanya apa?”
Moira menyeringai. “Pertama, gue harus balik dapetin loyalitas anak-anak Nitro. Tanpa mereka, gue nggak punya pasukan. Gue tahu Razka pasti lagi pura-pura jadi pahlawan, acting paling peduli sama semua orang. Jadi, kita harus buka topengnya.”
“Gimana caranya?”
Moira mengambil selembar foto Razka sedang bersama Jackson, yang tadi dia lihat di restoran. “Dia udah kerja sama sama Jackson. Itu kelemahan dia. Gue bakal manfaatin ini. Cuma tinggal timing yang tepat.”
Gentha mengangguk pelan, lalu menatap Moira dengan penuh tekad. “Apapun yang lo butuh, Bi… gue ada.”
Moira menepuk bahunya. “Sip. Lo cuma perlu satu hal sekarang.”
“Apa?”
“Berhenti bengong tiap kali gue ngomong serius. Ntar gue kira lo lagi mikirin utang pinjol lagi, Tha.”
“Bangsat lo, Bi.” Gentha mendecak, tapi tawa kecil lolos dari bibirnya.
Moira sendiri menatap keluar jendela apartemen, lampu kota berkelip di matanya. Tunggu aja, Razka… permainan baru mulai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam semakin larut. Moira duduk di depan laptopnya, layar penuh dengan data anggota Nitro, jadwal patroli, dan beberapa catatan rahasia. Jari-jarinya mengetik cepat, sementara Gentha memperhatikan dari kursi sebelah.
“Lo serius mau balik ke Nitro? Itu sarang macan, Bi. Razka pasti udah pasang mata-mata di mana-mana.”
Moira tidak menoleh, matanya fokus ke layar. “Justru karena itu gue harus masuk. Gue ketua aslinya, Tha. Nitro itu keluarga gue. Gue nggak bakal biarin orang kayak Razka ngotorin nama gue.”
Klik.
Dia membuka rekaman CCTV lama dari markas Nitro—salah satu akses yang ternyata masih dia pegang. Ada video Razka sedang berbicara dengan seseorang yang wajahnya sengaja ditutupi hoodie. Moira menyeringai tipis.
“Ini langkah pertama gue harus bikin Razka ngerasa gue punya mata di mana-mana. Biar dia paranoid sendiri. Orang kayak dia gampang kebongkar kalau ditekan.”
Gentha menyandarkan tubuhnya, menatap Moira lekat-lekat. “Lo punya rencana detail, Bi?”
Moira mengambil selembar kertas, mulai menggambar skema.
1. Masuk Nitro lagi — tapi dengan identitas Moira Evander, bukan Hanabi Watson.
2. Bocorin info kecil\-kecil biar anak\-anak Nitro mulai ragu sama Razka.
3. Jebak Razka dengan bukti kerja sama dia sama Jackson.
“Gue bakal balik ke Nitro sebagai Moira, gadis biasa yang keliatannya nggak tahu apa-apa. Tapi pelan-pelan, gue tunjukin kalau gue bisa jadi aset penting buat mereka. Dari situ, gue bisa tarik kepercayaan anak-anak lagi.”
Gentha melipat tangan di dada. “Lo yakin mereka bakal percaya sama identitas baru lo?”
Moira menoleh, menatap Gentha dengan tatapan tajam bercampur senyum miring. “Gue ini Hanabi, Queen of Mafia. Yakin aja, bikin orang percaya itu makanan gue sehari-hari.”
Dia berdiri, meraih pistol peraknya, lalu memutarnya di tangan dengan cekatan.
“Dan kalau semua berjalan lancar, Razka bakal nyadar… musuh yang dia kira udah mati ternyata lagi duduk manis di mejanya sendiri.”
Gentha mengangguk perlahan, hatinya campur aduk antara kagum dan cemas. “Lo emang gila, Bi. Tapi gila lo selalu berhasil.”
Moira menyeringai. “Nah, gitu dong. Welcome back to the game.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suasana ruang tamu malam itu mencekam. Baru saja Moira melangkah masuk, Tuan Evander sudah menunggu dengan wajah penuh amarah. Tangannya terangkat, hendak menampar putrinya.
Tapi plak!—
Moira lebih cepat. Dia menangkap pergelangan tangan ayahnya dengan kuat.
“Ck,” Moira mendecak, tatapannya tajam menusuk. “Wajah gue terlalu mahal buat disentuh… apalagi ditampar sama orang munafik kayak anda, Tuan Evander.”
“Ka–kamu!!” Tuan Evander terkejut sekaligus tersinggung dengan sikap Moira yang berbeda dari biasanya.
Dengan nada penuh tuduhan, dia menuding putrinya. “Dua hari kamu tidak pulang! Jangan bilang kamu keluyuran dengan laki-laki lain di luar sana. Anak perempuan macam apa kamu ini? Wanita liar!”
Moira menyeringai tipis, bukan gentar justru semakin dingin. “Wanita liar? Hm… tuduhan yang gampang banget keluar dari mulut orang yang nggak pernah peduli sama anaknya sendiri. Dua hari gue nggak pulang, dan itu masalah buat anda? Lucu. Padahal dulu waktu gue kesepian di rumah ini, anda bahkan nggak pernah nanya gue makan apa atau tidur di mana.”
Tuan Evander membelalak, terdiam sejenak oleh balasan Moira yang begitu menusuk.
Moira melepas tangannya, lalu melangkah maju, berdiri lebih dekat dengan ayahnya. “Simpan tenaga anda, Tuan Evander. Karena mulai sekarang, gue bukan lagi Moira yang bisa diinjak-injak. Dan kalau anda masih berani nuduh gue tanpa bukti…” Moira menatapnya dingin dari atas ke bawah, “mungkin orang-orang di luar sana akan lebih tertarik dengar gosip tentang bisnis gelap anda ketimbang ‘kenakalan’ anak perempuan anda.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/