Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Pagi itu rumah keluarga Bagaskara kembali riuh, lebih dari biasanya. Celin kini sudah duduk di bangku kelas satu SMP. Seragam putih birunya terlihat rapi, rambut panjangnya kembali dikepang dua oleh Arini. Sementara Arka dan Aksa sudah resmi masuk kelas satu SD.
“Celin, ayo cepat sarapan, nanti telat hari pertama masuk SMP!” panggil Arini dari meja makan.
“Iya, Ma!” sahut Celin sambil menuruni tangga. Ia tampak sedikit gugup, langkahnya lebih pelan dari biasanya.
Bagas sudah duduk dengan koran di tangan. Begitu melihat putrinya, ia menaruh koran itu dan tersenyum. “Wah, calon remaja kita makin cantik. SMP, lho. Rasanya Papa masih ingat waktu kamu pertama kali masuk TK.”
Celin hanya cemberut kecil. “Pa, jangan diledekin. Aku deg-degan.”
Arka dan Aksa yang sudah duduk di kursi masing-masing langsung berkomentar.
“Kak Celin takut sekolah baru? Hahaha!” Arka tertawa, mulutnya masih belepotan susu.
Aksa menambahkan, “Tenang Kak, kalau ada yang ganggu, bilang aja. Kita berdua bela Kakak.”
Celin terkekeh, hatinya sedikit lega. Ia meraih kepala dua adiknya dan mengacak rambut mereka. “Terima kasih, pahlawan kecil. Kakak jadi berani.”
---
Mobil keluarga melaju ke arah sekolah barunya. Gedung SMP terlihat besar, dengan gerbang tinggi yang dijaga satpam. Banyak siswa baru berkumpul di halaman, sebagian saling berkenalan, sebagian hanya berdiri diam.
Celin menggenggam tangan Arini erat. “Ma, aku takut nggak punya teman.”
Arini menatap putrinya lembut. “Kamu itu selalu bisa bikin orang betah. Ingat senyum manismu, sayang. Itu senjata paling hebat.”
Bagas menepuk pundaknya. “Dan jangan lupa, kamu bukan datang sendirian. Kamu datang membawa doa dari Papa, Mama, Arka, dan Aksa.”
Celin menarik napas dalam. Ia masuk ke lapangan, mengikuti upacara penyambutan siswa baru.
Di kelas, guru memperkenalkannya. “Anak-anak, ini teman baru kalian. Celin Aurora Bagaskara.”
Beberapa murid menoleh. Ada yang tersenyum ramah, ada juga yang menatap datar. Celin sempat gugup, tapi ia mengingat pesan ibunya. Ia pun tersenyum, menunduk sopan.
Saat jam istirahat, seorang siswi dengan rambut pendek menghampirinya. “Hai, aku Rani. Kamu duduk sendiri? Gabung sama aku, yuk.”
Mata Celin berbinar. “Mau, terima kasih.”
Hari itu ia resmi mendapat teman baru.
---
Begitu tiba di rumah, dua bocah kembar sudah menunggu di teras.
“Kak Celin! Gimana sekolah barunya?” teriak Arka.
“Banyak teman? Banyak jajan?” tanya Aksa penasaran.
Celin tertawa. Ia langsung memeluk keduanya. “Seru! Ada teman baru namanya Rani. Baik banget. Nanti Kakak ceritain semua.”
Arini hanya tersenyum sambil melihat ketiganya dari jendela. Bagas menepuk bahu istrinya. “Lihat, Rin. Anak-anak kita ini memang nggak bisa dipisahkan.”
---
Hari-hari berlalu. Celin makin terbiasa dengan sekolah barunya. Ia dikenal pintar, rajin, dan selalu membantu. Tapi di balik itu, ada satu murid bernama Mira, yang selalu ingin jadi nomor satu.
Setiap nilai ulangan, Mira selalu ingin tahu siapa yang lebih tinggi. Suatu kali, guru mengumumkan hasil ulangan matematika.
“Nilai tertinggi, 95, diraih oleh Celin.”
Anak-anak bertepuk tangan. Tapi Mira hanya melirik sinis. “Huh, kebetulan aja.”
Celin menunduk, tak enak hati. Ia bukan tipe yang suka pamer.
Namun, persaingan itu makin terasa ketika guru menunjuk mereka berdua jadi ketua kelompok lomba cerdas cermat antar-kelas.
“Kita lihat siapa yang paling pintar sebenarnya,” bisik Mira saat keluar kelas.
Celin hanya menghela napas. Di rumah, ia menceritakan hal itu pada adik-adiknya.
“Jadi ada anak namanya Mira. Dia kayak nggak suka kalau aku dapat nilai bagus.”
Arka langsung bersemangat. “Kak, kalau musuh, lawan aja! Menangin lomba itu, kasih tau dia!”
Aksa menggeleng. “Jangan gitu, Ka. Kak Celin kan baik. Mungkin Mira cuma kesepian.”
Celin mengusap kepala keduanya. “Kalian berdua beda banget ya. Tapi Kakak setuju sama Aksa. Kakak harus tetap baik, meski Mira begitu.”
---
Hari lomba tiba. Aula sekolah penuh dengan siswa dan guru. Celin berdiri di depan, berhadapan dengan kelompok Mira. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan.
Ketegangan semakin tinggi saat skor mereka imbang. Pertanyaan terakhir menentukan pemenang.
“Pertanyaan terakhir: Apa ibu kota dari negara Laos?”
Mira tampak bingung. Celin mengangkat tangan. “Vientiane.”
“Benar! Skor terakhir dimenangkan kelompok Celin.”
Tepuk tangan meriah terdengar. Rani dan teman-teman kelompok Celin bersorak. Namun Celin hanya tersenyum kecil, menoleh ke arah Mira.
Usai lomba, ia menghampiri Mira. “Mira, kamu hebat. Tanpa kamu, lombanya nggak akan seru.”
Mira terdiam, lalu mendengus. Tapi di matanya ada kilatan kagum. “Ya… kamu juga hebat.”
Di rumah, Arka dan Aksa sudah menunggu dengan banner kertas bertuliskan “SELAMAT KAK CELIN JUARA!”
Celin tertawa terharu. “Kalian memang tim dukungan terbaik!”
---
Waktu berlalu. Celin semakin akrab dengan Rani, bahkan juga dengan Mira. Mereka bertiga sering belajar bersama. Namun, kesibukan SMP membuat Celin semakin jarang menemani Arka dan Aksa.
Suatu sore, saat Celin pulang terlambat, ia mendapati dua adiknya duduk murung di teras.
“Kak Celin janji ngajarin PR, tapi nggak pulang-pulang,” kata Aksa dengan wajah kecewa.
Celin merasa bersalah. Ia berjongkok di depan mereka. “Maaf, sayang. Kakak tadi rapat OSIS. Mulai sekarang, Kakak atur waktu lebih baik. Nanti malam, kita belajar bareng, oke?”
Arka dan Aksa akhirnya tersenyum lagi. “Janji ya, Kak?”
“Janji.”
---
Malam itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Celin membantu Arka mengerjakan soal matematika, sementara Aksa membaca cerita. Setelah selesai, mereka bertiga berbaring di karpet, menatap langit-langit.
“Kak Celin, kalau nanti Kakak udah SMA, Kakak masih sayang kita nggak?” tanya Aksa tiba-tiba.
Celin tertegun. Ia menoleh, memeluk keduanya erat. “Kakak akan selalu sayang kalian. Sampai kapan pun. Kita ini tiga bintang Bagaskara, ingat?”
Arka mengangguk mantap. “Iya! Kak Celin bintang besar, aku sama Aksa bintang kecil. Kalau bareng, kita paling terang!”
Arini yang mendengar dari balik pintu tak kuasa menahan air mata. Bagas merangkul pundaknya. “Rin, kita berhasil membesarkan mereka dengan cinta.”
---
Di kelas dua SMP, Celin menghadapi ujian besar. Ia belajar keras, sering tidur larut. Suatu malam, ia tertidur di meja belajar.
Arka dan Aksa masuk pelan, membawa selimut kecil. Mereka menutupkan selimut ke tubuh kakaknya.
“Kak Celin jangan sakit. Kita selalu ada buat Kakak,” bisik Arka.
“Semoga Kak Celin pintar terus, tapi jangan lupa istirahat,” tambah Aksa.
Celin setengah terbangun, mendengar suara mereka. Ia membuka mata, melihat dua adiknya di samping. Air matanya menetes. “Kalian… hadiah terbaik yang Kakak punya.”
---
Di akhir tahun, sekolah Celin mengadakan pentas seni. Celin terpilih membawakan puisi tentang keluarga.
Di atas panggung, ia membaca dengan suara bergetar:
“Keluarga adalah cahaya,
yang membuat gelap jadi terang.
Aku adalah kakak,
yang berjanji menjaga dua bintang kecil.
Selamanya…”
Sorak penonton menggema. Arka dan Aksa berdiri paling depan, bertepuk tangan paling keras.
Bagas dan Arini tersenyum penuh bangga. Oma Ratna yang hadir pun menitikkan air mata.
---
Malam itu, setelah semua tidur, Celin menulis di buku hariannya:
“Aku sudah SMP. Hidup semakin sibuk. Tapi satu hal tidak berubah: aku adalah cahaya Bagaskara. Aku akan terus menjaga Arka dan Aksa, apa pun yang terjadi.”
Di luar jendela, bintang-bintang berkelip. Tiga bintang bersinar lebih terang seolah menjawab doa itu.
---
Bersambung...
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭