Desa Tirto Wening adalah sebuah desa yang ada di pelosok sebuah wilayah Kabupaten. Dipimpin oleh seorang pemimpin berdarah biru yang merupakan keturunan bangsawan keraton, desa itu terkenal dengan kemakmuran warganya.
Mahesa Narendra, pria tampan yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan sang Ayah di Desa Tirto Wening, di minta untuk menikahi seorang gadis, putri dari sahabat Ayahnya.
Pak Suteja, sahabat sang Ayah, meminta Raden Mas Mahesa untuk menikahi putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Semua itu Pak Suteja lakukan untuk melindungi putri semata wayangnya dari keluarga yang sedang memperebutkan harta waris.
Bagaimanakah romansa di antara keduanya?
akankah mereka berdua hidup bahagia?
apakah Anaya akan betah tinggal bersama suaminya di desa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GoodHand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Selamat!
"Bana! Berhenti, Bana!." Seru Raden Mas Mahesa yang masih berusaha mengejar.
"Ya Allah, tolong lindungi istriku." Lirih Raden Mas Mahesa.
"Bana! Jangan masuk hutan larangan." Raden Mas Mahesa kembali berteriak. Ia tak henti meneriaki kudanya, berharap Bana akan berhenti saat mendengar suaranya.
Sesuai harapannya, Bana mulai memperlambat larinya ketika mendengar suara Raden Mas Mahesa.
"Bana! Bana!."
Kuda hitam itu seperti mencari keberadaan tuannya yang suaranya tentu ia kenali. Begitu Bana mulai melambat, Raden Mas Mahesa segera membawa Gundala untuk menyampingi Bana.
"Bana! Berhenti!. Dek Ayu, tarik kendalinya dan hentikan Bana." Ujar Raden Mas Mahesa begitu berhasil menyampingi Bana.
Bana yang mendengar suara tuannya itu mulai bisa di kendalikan. Anaya segera duduk dengan tegap dan menarik kendali hingga membuat Bana berhenti dengan mengangkat kedua kaki depannya.
Raden Mas Mahesa tampak lega ketika Bana berhasil di kendalikan, tepat sebelum masuk ke dalam hutan larangan.
"Ya Allah, Dek Ayu." Ujar Raden Mas Mahesa yang nampak khawatir. Ia membantu istrinya turun dan langsung memeluk erat sang istri.
"Kamu gak apa - apa kan, Dek Ayu? Ada yang terluka?." Tanya Raden Mas Mahesa sambil memeriksa tangan, kaki dan wajah istrinya.
"Alhamdulillah aku baik - baik saja, Raden Mas. Bana benar - benar menjagaku, dia terus menghindari ranting - ranting dan membuatku tak tergores. Terima kasih ya, Bana, Good Job!." Jawab Anaya sambil mengusap - usap Bana yang tampak tenang sekarang.
"Aku takut kamu terpental, Dek Ayu. Bana kalau berlari memang kencang sekali." Ujar Raden Mas Mahesa yang kembali memeluk istrinya untuk meluruhkan rasa khawatir yang tadi mendera.
"Raden Mas, Raden Ayu!." Seru Raden Madana yang datang bersama tiga abdi dalem yang mengekor.
"Ya Allah. Raden Mas dan Raden Ayu gak apa - apa?." Tanya Raden Madana yang menghampiri kakak dan kakak iparnya.
"Alhamdulillah gak apa - apa, Raden." Jawab Anaya.
"Bana kenapa? Kemarin - kemarin baik dengan Raden Ayu kok." Tanya Raden Madana.
"Entahlah. Tapi dia klihatan baik - baik saja. Gak dalam kondisi stres." Jawab Raden Mas Mahesa sambil memeriksa kondisi kudanya.
"Yasudah, ayo kita kembali. Romo, ibu dan yang lainnya pasti khawatir." Ajak Raden Mas Mahesa.
"Kamu gak bawa orang lebih untuk nunggangi Gundala?." Tanya Raden Mas Mahesa pada adiknya saat melihat abdi dalem yang juga menunggang kuda masing - masing.
"Ngapunten Raden Mas. Sudah gak kepikiran, aku langsung membawa Ageng mengejar kalian, malah baru sadar kalau ada abdi yang mengikuti." Jawab Raden Madana.
"Gak apa - apa, biar aku yang menunggai Gundala." Anaya mengajukan diri.
"Kamu gak capek, Dek Ayu?" tanya Raden Mas Mahesa.
"Raden Ayu gak shock atau trauma gitu?." Timpal Raden Madana.
"Enggak. Gak apa - apa, aku baik - baik aja kok. Kenapa, kalian gak percaya? Jangan heran gitu, aku sudah biasa menunggangi kuda ngamuk." Jawab Anaya dengan wajah meyakinkan.
"Yasudah kalau memang gak apa - apa. Tapi pelan - pelan saja ya, Dek Ayu." Ujar Raden Mas Mahesa pada istrinya.
Jujur saja, ia tentu masih trauma melihat istrinya yang di culik oleh kuda. Ia kemudian membantu Anaya naik ke atas kuda bernama Gundala yang nampak begitu anteng. Mereka semua pun kemudian kembali ke arena pacuan kuda.
"Ya Allah, Alhamdulillah, Matur sembah nuwun, Gusti." Ujar Gusti Ayu saat melihat dua putranya dan juga menantunya yang kembali dengan menunggang kuda milik Raden Ajeng Meshwa.
Gusti Ayu segera menghampiri ketika mereka semua turun dari kuda. Kuda - kuda itu kemudian mereka serahkan pada keeper untuk di bawa kembali ke kandang.
"Kamu gak apa - apa, Raden Ayu? Ada yang terluka, Nduk?." Tanya Gusti Ayu yang nampak khawatir sembari menelisik tubuh menantunya.
"Alhamdulillah, aku baik - baik saja, Ibu." Jawab Anaya.
"Alhamdulillah kalau baik - baik saja." Kata Gusti Ayu yang kemudian memeluk erat menantunya.
"Kamu di bawa kemana sama Bana, Raden Ayu?." Tanya Kanjeng Gusti sambil mengusap kepala menantunya. Kelegaan pun ia rasakan kini.
"Ke hutan, Romo." Jawab Anaya.
"Hampir masuk ke dalam hutan larangan." Imbuh Raden Mas Mahesa yang membuat mereka sama - sama beristighfar.
"Yasudah, yang penting kalian semua kembali dengan selamat." Ujar Kanjeng Gusti.
"Raden Ayu! Gak kenapa - kenapa, kan? Aku khawatir banget." Ujar Raden Ajeng Meshwa yang langsung memeluk kakak iparnya.
"Alhamdulillah, aku baik - baik saja, Raden Ajeng." Jawab Anaya yang membalas pelukan adik iparnya.
"Sebaiknya kita selesaikan acara ini, Romo. Hari sudah semakin sore, sudah mendekati surup." Kata Raden Mas Mahesa.
Acara terakhir adalah pengumuman juara lomba dan pemberian hadiah. Posisi juara tahun ini dimiliki oleh salah satu warga desa yang sebenarnya menempati urutan ke tiga. Anaya yang sebenarnya ada di posisi pertama dan Raden Madana yang sebenarnya ada di posisi kedua, terpaksa di diskualifikasi karna kuda mereka yang berlari keluar arena lomba.
Walaupun begitu, Anaya tampak riang karna ia bisa ikut memeriahkan perayaan pesta panen di desa Tirto Wening tahun ini.
...****************...
"Kang Mas, ayo kita lihat pagelaran reog dan jaran kepang di lapangan." Ajak Anaya.
Masih dalam rangkaian pesta panen, di hari ketiga yang menjadi puncak acara, mereka menyuguhkan pentas seni Reog dan juga jaran kepang/Jatilan di siang sampai sore hari lalu di lanjutkan dengan wayang kulit di malam hari. Kesenian yang begitu di gemari oleh semua kalangan di desa mereka.
"Sabar, Dek Ayu. Aku selesaikan laporan ini sesikit lagi." Jawab Raden Mas Mahesa yang memang sedang sibuk mengerjakan laporan sedari tadi.
Anaya kemudian menghampiri suaminya yang sibuk di meja kerjanya. Ia kemudian duduk di pangkuan Raden Mas Mahesa sambil memeluk suaminya tanpa mengganggu pergerakan sang suami.
"Kenapa, Sayang? Tumben manja gini?." Tanya Raden Mas Mahesa yang kemudian mengecupi bahu istrinya.
"Gak apa - apa. Cuma pingin gangguin Raden Mas aja." Jawab Anaya.
"Sabar ya, sebentar lagi selesai." Ujar Raden Mas Mahesa.
Bukannya menuruti perintah suaminya, Anaya justru mulai menjahili sang Suami. Ia terus memainkan tengkuk dan telinga suaminya hingga memicu gairah suaminya.
"Sayang... Jangan usil, nanti kamu menyesal. Bisa - bisa kita melewatkan pagelaran yang sedang di tanggap."
Raden Mas Mahesa mencoba menghentikan keusilan istrinya. Namun istrinya itu terus saja melanjutkan keusilannya, seolah sedang menantang sang suami.
"Jadi kamu malah menantangku, Dek Ayu?." Tanya Raden Mas Mahesa dengan senyuman nakal setelah berjuang menyelesaikan pekerjaannya sambil menahan gairah.
"Sudah selesai, Raden Mas?. Ayo kita pergi ke lapangan, Romo dan Ibu psti sudah menunggu di sana." Ajak Anaya dengan tanpa dosa setelah menyulut gairah suaminya.
"Hah? Hahahaha. Gak semudah itu, Raden Ayu Anaya Tunggadewi. Kamu harus selesaikan dulu apa yang sudah kamu mulai." Jawab Raden Mas Mahesa sambil menahan tubuh sang istri yang ada di pangkuannya.
Dengan cepat, tangannya menyusup ke dalam pakaian Anaya dan mulai meremas bagian sensitif istrinya hingga membuat sang istri menggelinjang.
"Ssshhh... Raden Mas.." Lirih Anaya.
"Nikmati saja, Sayangku, jangan terburu - buru. Gak ada yang marah kalau kita datang terlambat." Bisik Raden Mas Mahesa.
Ia kemudian melumat puncak gunung yang sudah terpampang jelas di hadapannya. Gairahnya kian menggebu saat mendengar desahan lirih yang berkali - kali lolos dari mulut sang istri.
Di ruang kerja Raden Mas Mahesa, mereka berdua menuntaskan permainan yang di mulai oleh Anaya.
"Sayang, ayo kita mandi. Setelah itu kita lihat pagelaran di lapangan." Ajak Raden Mas Mahesa sambil membelai rambut panjang istrinya.
"Aku mandi duluan saja. Kalau mandi berdua, yang ada kita gak jadi lihat pagelaran." Ujar Anaya sambil membenahi dasternya.
"Aku kan sudah memperingatkanmu, Dek Ayu. Salahmu sendiri, kamu masih saja usil." Kekeh Raden Mas Mahesa yang di jawab cebikan oleh istrinya.