“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlanjur Nyaman
Zaka terdiam. Kata-kata Linda seperti tembok yang tak bisa dia lewati.
Dia menatap wanita itu, mencoba mencari celah di balik sorot matanya—mencari harapan, atau mungkin sisa-sisa cinta yang dulu pernah tumbuh di sana. Tapi yang dia temukan hanyalah ketenangan yang asing. Bukan ketenangan yang menenangkan, melainkan ketenangan yang menandakan akhir.
Linda menghela napas pelan. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri, mencoba menahan gemuruh yang tak lagi berasal dari cinta, melainkan dari luka yang sudah dia pendam.
“Aku memang pernah berharap kamu datang dan menjelaskan semuanya,” ucap Linda, suaranya nyaris seperti bisikan. “Tapi seiring berjalannya waktu, aku tahu itu percuma. Mungkin awalnya aku pikir ini sangat tidak adil. Aku sempat merasa... kamu, Rere, keluarga, pernikahan yang dipaksakan, semuanya... benar-benar jahat padaku. Tapi, sekarang aku sudah lebih bisa menerimanya.”
“Tidak mungkin secepat itu, Lin. Aku yakin kamu belum memiliki perasaan apa pun pada laki-laki itu.”
“Tentang perasaanku, itu bukan urusanmu, Zaka. Yang pasti saat ini aku sudah merasa nyaman dengan kehidupanku sekarang,” tukas Linda, menatap Zaka dengan raut serius.
Zaka menghela napas pelan. “Andai aku datang menemuimu lebih cepat,” ucapnya, penuh penyesalan.
Linda menggelengkan kepalanya. “Andai kamu mencegah pernikahan itu. Andai kamu memiliki keberanian untuk bicara saat aku akan dijadikan istri pengganti, mungkin semuanya akan berbeda, mungkin... kita bisa bersama,” ujar Linda, mengoreksi.
“Saat itu aku takut, Lin. Aku nggak tahu harus gimana.”
Linda tersenyum miris. “Kamu bukan hanya berengsek, Zaka. Tapi juga pengecut. Kamu menghamili wanita lain, tapi hari itu kamu malah kasih aku harapan. Kamu menawarkan masa depan dan pernikahan padaku, kamu bilang akan membahasnya setelah pernikahan Rere selesai. Tapi apa yang terjadi? Aku justru menjadi istri pengganti karena ulahmu dan Rere.”
Ingatan itu kembali terukir di benak Linda, hari di mana dia datang ke pernikahan Rere, dia sempat bertemu dengan Zaka. Saat itulah Zaka memberikan harapan padanya, mengatakan bahwa dia ingin bicara serius tentang masa depan bersamanya setelah acara Rere selesai. Zaka memang belum mengungkapkan perasaannya, tapi perkataannya saat itu sudah jelas menunjukkan bahwa dia ingin meminang Linda.
Bagi Linda perkataan Zaka hari itu seperti sebuah cahaya yang akhirnya berhasil dia gapai. Sudah lama dia memendam perasaan padanya, dan baru hari itu Zaka memberikan harapan yang membuat jantung Linda berdebar.
Tapi....
Sekarang semua itu hanya sebuah ingatan pahit bagi Linda.
Linda menatap Zaka tajam. “Kamu tahu? Yang aku butuhkan saat itu adalah keberanianmu untuk berdiri di sampingku, mencegahku menjadi istri pengganti. Tapi apa. Kamu ternyata seorang pengecut. Kamu bahkan tidak berani mengungkapkan kejujuran di depan semua orang.”
“Sekarang aku sudah melakukannya, Linda. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak mencintai Rere, bahwa aku dijebak sama dia. Dan bahkan aku pergi ke Jakarta untuk mengejarmu.”
“Terlambat,” tegas Linda. “Sudah terlambat.”
Zaka menunduk lagi. Kali ini, ia tak sanggup membalas. Kata-kata Linda seperti pisau yang mengiris pelan, tapi dalam.
Di luar, hujan kembali turun, tapi kali ini lebih deras dari sebelumnya. Suara rintiknya menambah sendu suasana. Linda menatap jendela, melihat tetesan air yang memburamkan pandangan ke luar. Seperti perasaannya pada Zaka—semakin lama, semakin kabur.
“Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu sepenuhnya,” lanjut Linda. “Tapi aku yakin satu hal... aku sudah tidak mencintaimu lagi, Ka.”
Zaka mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap penuh emosional, bukan karena ingin menangis ataupun marah. Dia hanya menatap Linda, seolah mencari kebohongan dari diri wanita itu.
“Enggak mungkin secepat itu, Lin.”
Linda tidak menghiraukan perkataan Zaka. Dia menatap laki-laki itu dengan tegas dan berkata, “Aku minta satu hal sama kamu, Ka. Jangan pernah memintaku untuk bertemu lagi. Lebih baik kamu pulang kembali ke Yogyakarta. Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab, nikahi wanita yang sudah kamu hamili walaupun kamu merasa dijebak.”
“Tapi, Lin....”
“Itu yang terbaik, Ka.”
Mereka terdiam. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Minuman Linda sudah dingin, tapi ia tak peduli. Ia berdiri, merapikan tasnya, lalu menatap Zaka untuk terakhir kalinya.
“Selamat tinggal.”
Zaka tak menjawab. Ia hanya diam menatap Linda yang berjalan menjauh, keluar dari kafe, dan menghilang di balik hujan.
Di saat itulah Zaka tahu bahwa dia telah kehilangan Linda, bukan karena takdir, tapi karena kesalahan dan kebodohan yang tak bisa dia tarik kembali.
Langkah Linda terasa ringan tapi rapuh. Saat dia meninggalkan kafe hujan masih turun, membasahi trotoar dan menyapu sisa-sisa kenangan yang baru saja dia hadapi. Dia tidak membawa payung, tapi dia tidak peduli. Air hujan yang menetes di wajahnya terasa seperti penghapus—bukan hanya menghapus riasan, tapi juga menghapus luka yang selama beberapa pekan ini dia sembunyikan di balik senyuman.
Dia berjalan pelan, menyusuri jalanan Jakarta yang ramai tapi terasa sepi. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergeser. Bukan ledakan emosi, bukan tangisan histeris, tapi semacam kehampaan yang tenang. Seperti ruang kosong yang dulu dipenuhi harapan, kini telah dia bersihkan.
Linda berhenti di bawah kanopi toko yang tutup. Dia menyandarkan tubuhnya, menatap jalanan yang basah.
Kemudian membuka ponselnya, melihat foto pernikahannya dengan Adam. Senyum Adam di foto itu tulus, hangat, dan... tampan. Mungkin pria itu belum bisa membuat hatinya tersentuh cinta, tapi dia telah membuatnya merasa aman. Dan mungkin, itulah yang paling Linda butuhkan sekarang. Bukan api yang membara, tapi pelukan yang menenangkan.
Linda menatap layar ponselnya lama, lalu mengetik pesan singkat.
‘Mas, apa kamu sibuk? Aku mau ajak kamu makan siang. Aku ada di daerah XY. Aku kehujanan.’
Selama menjadi istri Adam, Linda merasa semua hal perlu diceritakan. Bukan karena paksaan dari pria itu. Tapi akhir-akhir ini Linda selalu ingin mengutarakan hal-hal apa pun, bahkan yang paling sepele seperti digigit semut, dia ingin mengatakannya pada pria itu.
Karena... entah kenapa bersamanya membuat Linda merasa seperti gadis kecil yang dimanja. Dia merasa menemukan rumah... yang sejak dulu dia impikan.