Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 3
Gua gak ada niat rendahin lu kok, Im,” kata Saka, berlagak sok akrab dengan memakai panggilan singkat nama Ibrahim. “Maaf buat yang tadi pagi. Gua gak bermaksud ikut campur urusan lu. Cuma mereka emang udah kelewatan aja.”
Tanpa menunggu juga tak berharap Ibrahim akan merespon kata-katanya, Saka segera berdiri, bersiap akan pergi keluar untuk menikmati waktu istirahat yang hanya satu jam saja, itu pun sudah terpotong sepuluh menit.
Namun ....
“Bakal gua ganti!”
Seruan itu menahan gerakan Saka yang baru akan melangkahkan kaki keluar dari lingkup kursi mejanya. Dia menoleh kembali ke arah Baim. “Apaan, Im?”
Ibrahim mendongak padanya dengan raut serapuh daun kering.
Sedetik Saka langsung terenyuh melihat wajah si pendiam itu. Bebannya bertumpuk di sana.
“Uang ... yang tadi lu kasih sama mereka ... gua pasti ganti,” tukas Baim terpatah, menatap Saka sebentar, lalu kembali merunduk. “Tapi ... gua gak bisa janji kapan waktunya,” sambungnya lemah.
Saka terdiam untuk sesaat, berpikir sedikit saja lalu tersenyum. “Iya. Balikin kapan lu bisa. Cicil juga gak apa,” katanya, memberi keringanan. “Gua kantin dulu, ya!” Pundak Baim ditepuknya sekilas kemudian sungguh berlalu. Tidak ingin mengajak lagi karena Ibrahim pasti menolak.
Baim mengangguk. “Iya," jawabnya saat punggung Saka mulai menjauh. “Dan terima kasih.”
Penyesalan hadir dalam sekejap, menyesal karena terus menjadi tolol. Ucapan sesingkat itu saja sampai sulit keluar dari mulutnya.
Kekurangan yang selalu Baim rutuki.
Di sela langkah, perasaan Saka jadi tak enak.
Bukan perhitungan perkara uang lima puluh ribu, dia sedang menjaga perasaan seorang Ibrahim. Jika tadi dia mengatakan; 'Gak usah, Im, gak usah di ganti gak apa-apa', itu akan sangat melukai harga diri si kacamata.
Hidup sulit itu bukan untuk diolok. Orang susah juga mahal harga dirinya.
Ya, pada akhir tidak sulit menilai sosok Ibrahim. Dari seragam lusuh dan sepatunya yang mulai tipis di tapak kaki, Saka tahu ... kehidupan Baim tidak seberuntung anak-anak lain termasuk dirinya sendiri dalam urusan keuangan dan ekonomi.
Siang hari setelah jam pulang sekolah.
Di depan gerbang yang sudah tertutup, di keadaan yang sudah sangat sepi tanpa seorang pun murid, bahkan tukang cilok pun sudah tak ada, Saka duduk lesehan sembari memainkan ponselnya dengan raut seperti bocah hilang mamanya.
“Maaa ... lama banget sih! Aku udah lumutan ini!” rengeknya. Belasan pesan chat dikirim pada Aryani, juga belasan panggilan yang beberapa bagian akhir sama sekali tidak ada jawaban.
Aryani mungkin di jalan.
“Haaa, Mamaaaa. Sampe ashar masa?!” Dia berdiri, lalu maju ke dekat jalanan, menendang-nendang kerikil dengan wajah lesu seperti bocah minta mainan.
Ya, inilah kenyataan seorang patriot. Uang bekal dua hari diberikan untuk membantu, pulang gak punya ongkos.
.
.
Esok harinya.
“SAKA! KAMU NGELUARIN APA, SIH?! KOK LAMA BANGET DI WC?!”
“Gesper Haji Codot kayaknya, Ma!”
“JAWAB AJA TERUS, CEPET KELUAR!”
Pagi ini kembali ramai walau hanya sekedar mereka berdua. Lagi-lagi Saka membuat Aryani kesal, melengkapi perkara berlalu yang berisi ragam kelakuan konyol si anak bujang.
Setelah kemarin Saka mengomel karena kolor boxer kesayangannya hilang di tiang jemuran lalu ditemukan di dalam kulkas, semalam disuruh menaruh baju kotor ke keranjang cucian malah ditaruh di atas kompor, semua tak lain karena Saka berjalan sembari bermain ponsel.
Ditambah sekarang.
Sudah setengah jam putra semata wayang Aryani itu jongkok di dalam toilet yang ada di dapur, yang katanya ngeluarin gesper si Haji Codot.
Haji Codot adalah nama tetangga mereka saat di Depok. Gesper yang lebar talinya sejengkal anak lima tahun, bentuk kuncian kepala macan sealakajim gedenya di depan perut yang bergelambir. Sikap arogan tukang ngomelin anak-anak membuat Saka amat mendendam.
Tapi siapa peduli ukuran gespernya? ーSelain Saka.
Aryani berjalan ke arah kulkas untuk menggamit kunci motor yang tergolek di atasnya tanpa bandulan. Matanya yang bening melirik dinding.
“Udah setengah tujuh, Saka! Nanti kamu telat!”
“Iya, Ma. Udah kok.” Akhirnya anak itu muncul juga dengan baju seragam masih berantakan belum dikancing, gesper celananya belum terkunci, tapi rambutnya sudah tersisirーpasti pakai lima jari bagian kiri.
Aryani memelototi. “Makanya kalo jajan tuh jangan seblak terus! Panas perut kamu tuh!” omelnya. “Abisin tuh susunya!” Dia menunjuk gelas susu dengan dagunya.
“Atuh Saka minta burger Mama gak kasih!” Saka mengenang masa kemarin saat Aryani lupa membelikan burger yang dia pesan sepulang mamanya kerja. Dia sedang mengancingkan bajunya saat menjawab itu.
PLAK!
“Aww! ... Kriminal Mama ih!” Lengan kanannya dia usap setelah mendapat keplak dari sang mama.
“Kriminal anusmu! Lagian gak bagus banyakan makan junk food!”
“Ngeles. Bilang aja pelit.”
“Udah, diem mulutnya! Ambil tas kamu! Cepetan, udah keburu siang ini!”
“Iya, iya! Elah, Mama ...” Susu pun diteguk Saka sekali tandas.
Aryani sudah melenggang lebih dulu ke halaman rumah dengan helm di peluk pinggang.
Saka menyusul kemudian dengan tampilan yang sudah rapi.
“Jangan lupa kunci pintunya!”
Setelah itu keduanya pergi menaiki matic lawas milik Aryani. Saka menggunakan helm-nya saat motor melewati pagar rendah rumah mereka.
Jalanan kompleks sudah sibuk oleh aktifitas penghuni. Beragam gerak terlihat saat motor yang dikemudikan Aryani melaju sedang.
Saka dan ibunya itu baru seminggu pindah ke sana setelah Aryani resmi dimutasi tempat kerjanya. Satu alasan yg juga membuat Saka terpaksa pindah sekolah.
Tidak buruk untuk suasana baru, lingkungan ramah yang membuat keduanya tidak mengeluh. Rumah-rumah tapak berlantai satu tersusun seragam dengan ukuran masing-masing hanya 70 meter persegi.
Terpenting bukan itu, ibu dan anak ini bahagia karena rumah baru mereka sekarang tidak lagi mengontrak.
Usaha keras Aryani menabung selama sepuluh tahun membawa hasil. Kebetulan seorang teman menawarkan rumah dengan harga murah karena kepepet, dan rumah itu sekarang menjadi hak milik tanpa beban sewa atau angsuran.
Meski jarak sekolah Saka dan kantornya cukup jauh, tidak masalah.
Saat keluar pos penjaga, Saka disambut lambaian tangan mbak-mbak penjual seblak di simpang jalan, langganannya baru-baru ini.
Namanya Mpok Jumi, senyumnya lebar seperti ular dicekék, terlihat mulai sibuk mempersiapkan kedai untuk dibuka.
“Gak bagus ganjenin mbak-mbak!" tegur Aryani pada anaknya saat jarak sudah menjauh.
“Seblaknya enak, Ma." Saka cengar-cengir. “Aslinya deh!”
“Enak enak apanya?! Gara-gara itu kamu beraknya gesper, kan?!”
Saka tergelak keras. “Hahaha!”
“Mingkem!”
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..
🙏