Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 23
...-Latif pikir Shafi datang dengan daya ledak, ternyata dia datang dengan keberanian untuk hancur-...
...***...
Seperti memiliki kontak batin, dugaan Ayara benar. Arum memang berada di taman bermain tengah kota. Tempat itu memiliki kenangan tersendiri bagi Arum, sebab dirinya dan Yara pernah bermain beberapa kali di sana. Hari telah siang, dan hanya Arum yang bermain di taman itu. Berada di rumah perosotan pada tingkat ke tiga, Arum begitu senang melihat kedatangan Yara
"Bundaaaaaaa!" Berteriak meluapkan rindu karena lama tak bertemu, konsentrasi gadis kecil ini tak dapat dia kendalikan. Karena ingin lekas menghampiri Yara, dia langsung meloncat dari atas perosotan nan tinggi itu.
Melihat ancang-ancang Arum yang sudah dapat dibaca, Yara mempercepat langkah, begitu juga dengan Barra.
"Arum, jangan loncat!" teriak Barra.
Sayang sungguh sayang, aksi sang putri telah terjadi. Bagaikan burung dia bebas meloncat dan ...
Bruk!
"Akh!" Seseorang terpekik, dialah Yara. Demi menangkap Arum, dia berlari hingga gadis kecil itu jatuh dalam pelukannya. Suatu hal yang baik, sebelum suara rintihan itu terdengar.
"Ash!" Yara kesulitan berdiri.
"Arum! Sejak kapan kamu jadi burung?!" Barra mulai mengomeli putrinya.
"Maaf, Ayah," cicit Arum hampir tak terdengar.
"Kamu baik-baik aja?" Barra sedikit membungkukkan badan, menelisik keadaan Yara.
Pertanyaan Barra tak bisa ia angguki, sebab pada kenyataannya kakinya terasa sakit sekali.
Sorot mata nan tajam mengarah kepada Arum, kali ini Barra akan benar-benar memarahi sang putri. Begitu nakal tingkahnya, pulang dari sekolah dan ke taman ini sendiri tanpa mengabari siapapun. Ditambah dengan aksinya barusan, dijamin telinga Arum akan penuh dengan ceramah dari ayahnya.
Menyadari Yara yang terlihat kesakitan, Barra lekas meminta Arum untuk berdiri dari pangkuan Ayara.
Kaki terbalut kaus kaki itu hendak dibuka Barra, namun, Yara buru-buru menolaknya.
"Aku cuman mau liat kaki kamu, takut kenapa-kenapa."
"Ini sakit. Sudah jelas kaki saya kenapa-kenapa. Jadi nggak usah anda periksa!" tegas Yara.
Memelintir ujung kerudung besar Yara, Arum langsung meminta maaf "Bunda ... maafin Arum. Janji deh lain kali nggak akan loncat lagi."
Alih-alih memarahi gadis kecil ini, Yara mengusap wajahnya yang terlihat murung, dan menariknya hingga duduk kembali dalam pangkuannya. "Bunda maafin. Tapi sayang, kenapa kamu pergi dari sekolah nggak ngasih tau Bunda-bunda di sana? Semua orang jadi khawatir sama kamu."
Wajah Arum semakin menunduk, dia kemudian berkata. "Ayah --- mau nikah sama Tante Enzi. Padahal Arum nggak mau dikasih mama Tante Enzi. Karena sedih, Arum jadi kangen Bunda Yara. Makanya ke sini. Kita 'kan pernah main bareng di sini."
Barra yang masih berdiri mengusap wajahnya, memandangi putrinya kemudian mengacak rambutnya sendiri dengan kasar. Apa hebatnya wanita di hadapannya ini, hingga putrinya begitu menyukainya!
"Maaf, kalau saya lancang, Pak Barra. Nggak bisa, ya, anda mikirin perasaan Arum daripada nuruti nafsu dan cinta buat nikahin Nona Enzi? Kalian belum nikah aja dia sudah berani kabur dari sekolah. Gimana kalau sudah nikah?" Yara merasakan bibirnya berkhianat pada otak dan pikiran. Dengan lancar si bibir ini bicara seperti itu, padahal dia sadar tak punya hak untuk mengoreksi jalan hidup yang akan diambil pria di hadapannya ini.
Cinta? Rasa itu tak pernah ada dalam hati Barra terhadap Enzi. Dan sejujurnya, di awal pertemuan mereka, Barra justru sempat tak menyukai Enzi.
"Bunda ... Arum cuman mau Bunda yang menikah sama Ayah."
Baik Barra ataupun Yara, mereka sama-sama terkejut mendengar ucapan Arun. Bagi Barra bukan sekali ini Arum meminta hal tak masuk akal ini, tapi mengatakannya depan Yara secara langsung, sungguh membuat tenggorokannya tercekat.
Sementara Yara dia terkekeh kemudian. "Arum ... Bunda nggak cocok sama ayah kamu. Dan ingat ya sayang, jangan kabur lagi dari sekolah. Anak baik nggak bakalan ngelakuin hal itu, soalnya bikin orang lain panik," ujarnya menegaskan.
Arum memberengut, dia langsung membenamkan wajah ke dada Yara. "Arun mau Bunda Yara! Arum cuman mau Bunda Yara!"
Sang ayah mengambil duduk di tepi trotoar taman, dia memandangi putrinya yang merengek sementara Yara terus berusaha meredakan rengekan itu.
"Pak Barra, jangan diam aja. Bantuin dong ," pinta Yara penuh harap. Kakinya terasa sangat ngilu karena Arum yang gemoy merengek sambil meronta.
"Nona Yara --- gimana kalau kita mengabulkan keinginan Arum."
What!
Kedua bola mata Yara membulat. Barra menatapnya lekat, tak seperti tatapan biasanya yang menyiratkan amarah.
"Pak Barra, anda kesambet setan, ya? Di siang bolong begini?"
"Enggak, aku nggak kesambet apa-apa. Aku sadar sepenuhnya. Jadi Nona Yara, kamu mau nikah sama aku?"
...***...
Latif pikir, setelah menghabiskan waktu makan siang bersama lagi hari ini, Shafi akan berhenti mengekorinya. Ternyata dia salah, bocah dewasa ini kembali muncul saat jam kerjanya telah usai.
Kali ini dia mengenakan pakaian olahraga, lengkap dengan earphone yang melingkar di leher. "Bang ... joging, yuk!"
"Joging kepalamu! Aku capek!" Seperti biasa, Latif bersikap jutek pada Shafi.
Shafi acuh, dia membantu Latif yang menarik kendaraan roda duanya di parkiran perusahaan Salvador. Dia juga langsung duduk di motor itu bahkan sebelum Latif menaikinya.
Dengan alis berkerut, Latif melirik sang adik. "Kamu mau apa?"
"Ikut Abang." Sialan, Shafi memasang wajah yang menggemaskan. Para wanita yang juga berada di sana sontak tertarik padanya.
"Ogah! Capek begini disuruh bonceng sapi. No! Cepat turun!"
Shafi tetap duduk manis di atas motor Latif. Para wanita yang melihat mereka mulai menggoda Shafi.
Menyadari yang memandang dan menggoda Shafi adalah para ibu-ibu muda bersuami, Latif menarik jumper sang adik dan memasangnya. Dia juga memelototi para wanita itu satu persatu.
"Boleh ikut 'kan, Bang?"
"Ikut kemana? Aku cuman mau pulang!"
"Iya, aku juga ikut pulang," ujar Shafi lagi.
"Pulang ke mana? Aku pulang ke rumahku. Perumahan yang kamu bilang kumuh waktu itu," sindir Latif.
"Maaf. Waktu itu aku cuman asal ngomong, kok. Jadi boleh ikut, ya?"
Meminta Shafi turun dari jok belakang, Latif mengambil duduk menyamping menghadap sang adik. Ada rasa tak rela di wajah Shafi saat diminta turun dari motor Latif.
"Rumahmu lho, besar, mewah, halamannya luas, bisa bikin lapangan sepak bola. Sekarang kamu mau ikut aku ke rumah bobrok di pinggir kota, yang bener aja. Kamu jadi orang jangan nggak bersyukur, Sapi!"
"Enggak gitu, Abang. Aku cuman mau ngerasain tinggal sama Abang sama Yara." Segala cara akan Shafi lakukan demi bisa hidup bersama dua keluarganya ini, meski hanya sehari dua hari.
Latif diam sejenak, dia memutar otak agar Shafi enggan ikut dengannya.
"Gini lho, Pi. Sebenarnya aku belum mau pulang. Hari ini temenku ngajakin main kartu, taruhannya gede. Jadi ... kamu nggak usah ikut, ya. Kita mainnya di club gitu. Sambil minum ditemenin cewek seksi juga."
Judi! Latif tau bahwa Shafi sangat tidak menyukai perjudian, minuman keras, dan perempuan, juga musik yang menghentak.
Sejenak Shafi juga terdiam, otaknya mulai berpikir keras.
"Taruhannya segede apa?" tiba-tiba Shafi bertanya.
"50 juta."
"Aku punya duit segitu. Abang nggak usah ikut taruhan, deh. Aku kasih percuma ke Abang. Kita pulang aja ke rumah."
Latif terkekeh. "Liat deh, Pi. Dunia kita tu berbeda. Demi uang 50 juta aku harus main judi, sementara kamu Enggak. Daripada kamu maksain diri ngikutin aku ke dunia yang nggak kamu suka, mending kamu pulang aja. Atau, olahraga aja di komplek perumahan kalian yang mewah itu."
Latif langsung menyalakan motornya, dan meninggalkan Shafi sendirian di tempat itu.
Taruhan lagi, taruhan lagi. Ternyata Latif bukan sekadar menghindari Shafi, dia benar-benar pergi ke sebuah tempat dan berpesta di sana bersama teman-temannya. Mereka juga melakukan perjudian dengan para wanita cantik sebagai pendamping.
Karena apes, Latif kalah besar kali ini. Dia kehabisan banyak uang yang diberikan Jefrey untuk memenuhi kebutuhan Yara. Nominalnya cukup besae, sebab Jefrey juga mewanti-wanti hal buruk seputar keuangan yang mungkin saja kembali membelit Ayara.
Sesal memang selalu datang belakangan, setelah uang itu habis, barulah Latif sadar akan tindakannya kali ini.
"Tif, kamu masih mau lanjut? Duit kamu udah habis 'kan."
Tak menghiraukan ocehan rekan bermainnya, Latif menyodorkan ponselnya di atas meja berwarna hijau dengan bahan kulit itu.
Ponsel yang diberikan Jefrey kini menjadi taruhannya. Sayang, dia menjadi bahan ledekan teman-temannya. Mereka menolak barang taruhan itu. Sungguh, harga diri Latif sedang dipertaruhkan saat ini.
Di saat genting, sang adik datang. "Aku bakal gantiin dia buat main."
Bocah tengik! Ternyata dia membuntuti sang abang ke tempat ini.
"Oho ... mirip nih kalian. Kamu adik atau abang si Latif?"
"Jangan banyak cing-cong! Ayo bagi kartunya!" Shafi seperti bukanlah dirinya yang selalu merayu pada Latif. Dia bersikap tegas kali ini.
"Kamu serius mau main? Emang bisa?" tanya Latif dalam bisik.
Terlihat samar Shafi menggigit bibir ... "Enggak, Bang. Ini pertama kali aku main judi."
Alamak! Latif rasanya ingin kabur dari tempat itu. "Sapiiiiii, kamu cari mati!"
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen, dan kasih saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum