Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rekening, Rey dan Rahasia
Saat Zee mulai memejamkan mata untuk beristirahat, suara notifikasi dari ponsel membuatnya membuka mata kembali. Dengan malas, ia meraih ponsel dari atas nakas.
Satu pesan masuk dari nomor baru.
(+62........)
(Rey)
Pikiran tentang percakapan Raden dan kata "Bungkam" yang masih terngiang membuat Zee hampir saja lupa soal utangnya pada Rey.
Zee membalas singkat.
(Kirim nomor rekening lo)
Tatapannya tetap kosong, tapi nadanya serius.
Tak butuh waktu lama, pesan balasan masuk dari Rey:
(Belanjaan lo receh. Duit gue gak bakal habis cuman gara-gara itu.)
Zee membalas cepat:
(Tapi gue gak mau ada utang sama lo! Kirim sekarang juga nomor rekening lo)
Pesan ketiga dari Rey masuk, kali ini dengan nada berbeda:
(Sabtu ada pertandingan basket. Lo nonton gue dan beliin air mineral setelah pertandingan berakhir)
Zee kembali meletakan ponsel ke atas nakas. Wajahnya tetap tenang tanpa ekspresi, tapi pikirannya mengembang-tak bisa diam.
•••
Di sisi lain, Rey menatap layar ponselnya cukup lama. Balasan Zee berhasil memunculkan senyum tipis di wajah Rey-senyum yang cepat hilang, seolah takut ketahuan perasaannya sendiri.
“Dingin, datar…” gumamnya pelan, mengingat wajah Zee saat di kelas.
Tapi hari itu, ada yang berbeda.
“Dia seperti menyimpan luka…” lanjutnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Tatapan matanya mengarah ke luar jendela kamar, tapi pikirannya tertinggal pada gadis yang—walau tak banyak bicara—seakan membawa teka-teki yang belum ingin terpecahkan.
••••
Pelajaran hari ini berakhir. Guru terakhir keluar dari kelas, diikuti murid-murid yang mulai merapikan barang mereka.
Meski kini menyimpan nomor satu sama lain, Zee dan rey tetap tak saling bicara. Jarak mereka terasa tipis... tapi tetap tak terjamah. Hubungan mereka tetap terasa... aneh. Jarak yang dekat, tapi seperti tak pernah bersentuhan.
“Zee! Sabtu ada pertandingan basket. Lo nonton gue ya!” seru Leo sambil menoleh ke belakang.
Zee diam sejenak, lalu mengangguk singkat. “Oke.”
Jawaban singkat itu sudah cukup membuat Leo berbinar.
“Aduh tambah semangat gue! Jangan lupa ya, pulang sekolah. Sekolah kita lawan asrama lainnya!” seru Leo penuh antusias.
“Oke. Semoga gue gak lupa,” ujar Zee, bangkit dari kursinya dan meraih tas. Hari ini, dia harus menghadiri pertemuan ekskul Bahasa.
“Zee!” panggil Leo lagi.
Zee berhenti, menarik napas, lalu menoleh dengan ekspresi datar.
“Saranghae~” ucap Leo sambil membentuk simbol hati dengan kedua tangannya ala Korea.
Zee menatap Leo datar, lalu mengangkat jari tengah-tanpa senyum, tanpa reaksi-sebelum berbalik pergi.
Raka yang melihatnya tertawa terbahak.
“Diam lo, Bangsul!” teriak Leo, kesal.
Raka masih tertawa sambil memegangi perutnya. “Makanya jangan kepedean! Udah kayak mau terbang ke langit... eh malah jatuh!” ejeknya lagi.
Sementara itu, Rey hanya memperhatikan dari kejauhan, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia mengangkat tasnya lalu melangkah keluar sambil bergumam, “Cabut.”
•••
Dengan langkah tenang, Zee berjalan ke ruang ekskul Bahasa. Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa. Langkahnya terhenti saat seseorang memanggilnya.
“Zee!”
Ia tidak langsung menoleh. Suara itu sudah sangat ia kenal.
“Kita bareng ke ruangan,” ucap Raden yang kini berdiri di sampingnya.
Zee akhirnya menoleh singkat, lalu mengangguk. “Oke.”
Raden tersenyum kecil, lalu menyesuaikan langkah dengan Zee. Sepanjang jalan, Raden ingin sekali membuka percakapan, tapi melihat ekspresi Zee yang jelas-jelas tidak ingin diganggu, ia memilih diam.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di ruang ekskul Bahasa. Di dalam, beberapa siswa sudah duduk dan bersiap.
Tak lama, seorang gadis masuk dengan napas memburu.
“Itu ketua ekskul ini. Namanya Susi,” bisik Raden kepada Zee.
Zee mengangguk kecil.
“Baiklah, sepertinya semua sudah datang,” ucap Susi, lalu matanya menyapu seluruh ruangan hingga berhenti pada sosok Zee.
Dengan senyum ramah, Susi menghampiri. “Hai, lo Zee, kan? Murid baru itu?”
Zee mengangguk kecil. Tatapannya tenang, tapi tak mengundang percakapan.
“Kenalin, gue Susi. Ketua ekskul ini,” lanjutnya. “Hari ini kita mulai bikin karya. Bisa pilih: novel, cerpen, atau puisi.”
Ia lalu menoleh ke arah Raden. “Raden, lo tahu kan harus ngapain kalau ada anggota baru?”
Raden mengangguk. “Tenang, kebetulan gue udah cukup akrab sama Zee. Biar gue yang bimbing.”
“Thanks ya, Raden. Zee, kamu dibimbing Raden. Dia jago banget soal beginian. Kamu aman sama dia,” ujar Susi.
“Oke,” balas Zee singkat.
"Dia emang gak banyak ngomong," ucap Randen santai sambil melirik Zee.
Susi tertawa kecil dan kembali ke tengah ruangan.
Raden mengajak Zee berkeliling, memperlihatkan karya-karya siswa yang dipajang di rak dan dinding. Zee hanya menatap semua itu sekilas. Bukan dunianya.
Sampai akhirnya matanya tertuju pada sebuah binder berwarna pink. Tangannya menyentuh perlahan.
“Itu novel seseorang yang pernah gue ceritain,” jelas Raden. “Dia nulisnya di situ.”
Zee membuka halaman pertama.
Tertulis:
Zia Venya Alexandra
Deg.