NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perdebatan Besar

Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut menumpahkan segala yang tertahan di rumah ini. Angin meniup tirai ruang tengah hingga berayun pelan. Lampu kuning menggantung di langit-langit, memantulkan bayangan kami yang duduk membentuk setengah lingkaran. Tidak ada yang benar-benar siap, tapi pembicaraan itu tak bisa ditunda lagi.

Ibu duduk di kursi rotan tua, tangannya saling menggenggam di pangkuan. Matanya menyapu kami satu per satu: aku, Dimas, Laras, dan Raka. Wajahnya tegang, seperti seseorang yang akan berjalan ke medan perang tanpa perisai.

“Ibu mau bicara,” katanya pelan.

Raka langsung merapat ke sisi kiriku. Laras duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, seperti menahan beban di perut dan hatinya. Dimas menyandarkan punggung ke dinding, tangan terlipat di dada. Wajahnya dingin.

“Ibu sudah memikirkan semuanya dengan matang,” lanjut ibu. “Tentang rencana ibu.”

Dimas terkekeh kecil, sinis. “Tentang menikah lagi, maksud Ibu?”

Ibu mengangguk.

“Maaf,” Dimas menghela napas kasar. “Aku nggak tahu apa lagi yang perlu dipikirkan. Ayah baru pergi setahun, Bu. Laras baru kehilangan anaknya. Rumah ini masih berantakan secara batin. Dan Ibu bicara tentang pernikahan?”

“Justru karena ibu sudah terlalu lama sendirian,” jawab ibu lirih. “Ibu lelah kuat sendirian.”

“Kami ini apa?” suara Dimas meninggi. “Kami bukan siapa-siapa di mata Ibu?”

Aku refleks menggenggam tangan Dimas. “Mas, dengarkan dulu…”

Dimas menarik tangannya pelan. “Tidak, Alya. Selama ini kamu selalu jadi penengah. Sekarang biarkan aku bicara sebagai anak laki-laki di rumah ini.”

Ibu menunduk.

“Sejak kecil aku yang paling sering melihat ayah dan ibu bertengkar,” lanjut Dimas. “Aku yang sering menutup telinga Raka waktu suara kalian terlalu keras. Aku yang menemani Laras waktu ia gemetar di kamar. Dan sekarang, setelah semua itu… Ibu seolah ingin melompat ke hidup baru tanpa menunggu kami berdiri lagi.”

“Dimas…” suara ibu pecah.

“Aku tidak membenci Ibu,” lanjut Dimas dengan mata berkaca-kaca. “Aku hanya merasa ditinggalkan dua kali. Pertama oleh ayah. Sekarang oleh Ibu.”

Larangan itu seperti menghantam ibu tepat di dada. Tubuhnya sedikit terguncang.

Laras akhirnya angkat bicara. Suaranya lemah, tetapi jelas. “Ibu berhak bahagia. Aku tahu itu. Tapi aku juga berhak berduka tanpa merasa ditinggalkan.”

Ibu menatap putrinya dengan mata penuh penyesalan.

“Aku belum siap melihat Ibu tersenyum dengan pria lain…” lanjut Laras lirih. “Karena setiap senyum itu mengingatkanku pada anak yang tak sempat melihat dunia.”

Ruangan itu langsung sunyi.

Tangis ibu pecah pelan, tetapi tak ada yang segera memeluknya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena kami semua sama-sama terluka.

“Aku tidak pernah berniat melukai siapa pun,” kata ibu tertatih. “Ibu hanya ingin tetap hidup.”

“Kami juga ingin hidup, Bu,” jawabku akhirnya. “Tapi luka kami belum sempat mengering.”

Raka yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara kecil, “Kalau Ibu menikah… aku masih boleh pulang?”

Semua tatapan langsung tertuju padanya.

Ibu berdiri dan menghampiri Raka, berlutut di hadapannya. “Kamu selalu boleh pulang. Ke mana pun Ibu melangkah, kamu tetap anak Ibu.”

“Tapi rumahnya beda,” kata Raka polos. “Ayah beda. Bau rumah beda.”

Kalimat itu sederhana, tapi menghancurkan.

Dimas mengusap wajahnya dengan frustasi. “Ini bukan cuma soal Ibu, Bu. Ini soal kami yang masih terseret reruntuhan masa lalu.”

Aku menghela napas panjang. “Ibu, bolehkah aku bicara sebagai anak sulung?”

Ibu menatapku, mengangguk.

“Ibu bukan wanita jahat karena ingin menikah lagi,” kataku pelan. “Dan Dimas, Laras, Raka juga tidak egois karena belum siap. Ini bukan perang antara benar dan salah. Ini perang antara waktu dan luka.”

Tak ada yang menyela.

“Kita semua lambat dengan cara yang berbeda,” lanjutku. “Ibu sudah siap melangkah, sementara kami masih terjatuh. Kalau Ibu melangkah sendirian sekarang, kami mungkin akan tertinggal terlalu jauh. Tapi kalau Ibu berhenti terlalu lama, bisa jadi Ibu kehilangan sisa hidup Ibu sendiri.”

Ibu menangis semakin keras.

“Apa yang harus ibu lakukan?” tanyanya putus harap.

Aku terdiam lama. Lalu menjawab, “Berjalanlah… tapi pelan. Jangan lari. Jangan sembunyi dari kami. Dan beri kami waktu untuk belajar menyusul.”

Dimas menatapku lama, lalu menghela napas berat. “Aku tidak akan menerima sekarang. Tapi aku juga tidak akan menghalangi. Aku hanya minta satu hal jangan memaksa kami tersenyum ketika kami masih berdarah.”

Ibu mengangguk dengan tubuh gemetar.

Laras menyeka air matanya. “Aku juga belum bisa menerima, Bu. Tapi aku tidak ingin membenci ibu seumur hidup hanya karena ini.”

Raka memeluk kaki ibu lebih erat.

“Aku cuma mau Mama tetap pulang,” katanya.

Ibu memeluk Raka kuat-kuat.

Untuk pertama kalinya sejak rencana itu terucap, ibu tidak lagi terlihat yakin. Wajahnya seperti seseorang yang baru menyadari bahwa setiap langkah ke depan berarti meninggalkan sebagian masa lalu yang belum tentu siap ditinggalkan.

Malam itu, perdebatan tidak benar-benar selesai. Tidak ada kesimpulan. Tidak ada keputusan. Hanya luka yang akhirnya diucapkan dengan jujur, dan tangis yang tak lagi disembunyikan.

Aku kembali ke kamar dengan dada sesak.

Di sana, Ardi sudah menungguku. Ia tidak bertanya banyak. Hanya membuka kedua lengannya. Aku masuk ke dalam pelukannya tanpa suara.

“Keluargaku sedang pecah lagi,” bisikku.

Ardi mengusap punggungku pelan. “Dan kamu sedang berdiri tepat di tengahnya.”

Aku terisak. “Aku lelah jadi kuat.”

Untuk pertama kalinya, aku mengakuinya.

Malam itu, aku sadar bahwa perdebatan bukan hanya tentang ibu yang ingin menikah lagi. Ini tentang anak-anak yang belum selesai kehilangan. Tentang rumah yang masih mencari bentuk baru. Dan tentang diriku… yang perlahan mulai retak bersama mereka.

Aku tidak langsung tidur malam itu.

Setelah Ardi terlelap dengan satu tangannya masih melingkar di pinggangku, aku justru terjaga. Mataku menatap langit-langit kamar kontrakan kami di Bandung Timur ruangan sederhana yang dulu terasa asing, kini perlahan menjadi tempat pulang. Tapi malam ini, bahkan tempat pulang pun terasa goyah.

Kata-kata Dimas terus berputar di kepalaku.

“Kami ini apa di mata Ibu?”

Pertanyaan itu bukan sekadar kemarahan. Itu jeritan dari seorang anak laki-laki yang merasa kehilangan pijakan untuk kedua kalinya.

Aku bangkit pelan, mengambil ponsel dari meja kecil di samping tempat tidur. Ada pesan dari Laras yang masuk beberapa menit lalu.

“Aku takut, Kak. Takut kalau kita benar-benar tercerai bukan hanya di atas kertas.”

Dadaku mengencang.

Aku membalas cepat: “Kamu tidak sendiri. Aku di sini. Kita tetap keluarga, apa pun yang terjadi.”

Tapi setelah mengirim itu, aku sendiri tak yakin seberapa kuat kalimat itu sanggup bertahan.

Keesokan paginya, suasana rumah orang tua seperti kuburan perasaan.

Ibu tidak keluar kamar. Dapur sepi. Tidak ada suara piring. Tidak ada aroma bawang goreng. Tidak ada sapaan. Rumah yang biasanya hidup oleh gerak seorang ibu, kini seperti kehilangan denyut jantungnya.

Dimas berangkat kerja tanpa sarapan.

Raka berangkat sekolah dengan wajah murung, tas digendong asal.

Laras hanya duduk di tepi kasur, menatap jendela tanpa bicara sepatah kata pun.

Aku mendatangi kamar Ibu.

Pintu tidak terkunci.

Bu Murni duduk di lantai, menyender ke ranjang. Matanya bengkak. Di sampingnya tergeletak foto pernikahannya dengan Pak Rahman foto yang semalam masih tergantung rapi di ruang tamu.

“Kamu mencopotnya?” tanyaku pelan.

Ibu mengangguk. “Ibu tidak tahu lagi harus menyimpannya di mana, Alya. Kalau dipajang, sakit. Kalau disimpan, juga sakit.”

Aku duduk di sampingnya.

“Ibu menyesal?” tanyaku pelan.

Ibu terdiam lama. “Ibu tidak tahu apakah ini penyesalan… atau ketakutan.”

“Takut apa?”

“Takut sendirian. Tapi juga takut kehilangan kalian.”

Kalimat itu menusuk tepat di dadaku.

“Ibu tidak pernah berniat menggantikan ayah kalian,” lanjutnya. “Ibu hanya ingin punya seseorang yang mau duduk di samping ibu saat malam terasa terlalu panjang.”

Aku menunduk. “Kami tidak iri dengan kebahagiaan Ibu… Kami hanya belum sanggup melihatnya.”

Ibu menangis lagi.... Aku memeluknya....

Untuk pertama kalinya sejak perceraian itu resmi, aku benar-benar memeluk ibuku tanpa sisa jarak.

Siangnya, aku menemui Dimas di bengkel. Tangannya penuh oli. Wajahnya keras seperti biasa.

“Kamu tidak pulang tadi pagi,” kataku.

“Aku tidak sanggup melihat wajah Ibu sekarang,” jawabnya singkat.

“Kamu marah?”

“Aku kecewa,” katanya jujur. “Lebih menyakitkan dari marah.”

Aku duduk di bangku kayu di sudut bengkel. “Dimas… Ibu bukan manusia baja. Ia juga bisa rapuh.”

Dimas terdiam.

“Aku tahu, Kak,” katanya lirih. “Justru karena aku tahu, aku takut suatu hari nanti aku sendiri menjadi seperti ayah.”

Aku menatapnya kaget.

“Pergi tanpa benar-benar pergi. Ada secara fisik, tapi tidak sebagai tempat pulang,” lanjutnya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena ketakutan itu… juga hidup di dalam diriku.

Malam berikutnya, Raka demam. Bukan demam biasa. Ia menggigil, matanya kosong. Berkali-kali menyebut nama ayah dalam tidurnya. Ibu duduk di sampingnya semalaman. Tangannya mengusap kening Raka dengan wajah penuh rasa bersalah.

Aku berdiri di ambang pintu kamar itu, menyaksikan semuanya dalam diam.

Saat itu aku sadar, betapa besar harga yang harus dibayar oleh seorang ibu hanya karena ingin bahagia kembali.

Kebahagiaan yang baginya sederhana teman hidup.

Tapi bagi kami ancaman kehilangan yang ketiga.

Hari itu, perdebatan bukan lagi soal setuju atau tidak.

Ini soal apakah luka-luka itu akan sembuh… atau justru diwariskan.

Dan aku, sebagai anak sulung, kembali berdiri di tengahnya.

Bukan sebagai pemenang... Bukan sebagai penentu.

Melainkan sebagai penopang yang pelan-pelan juga mulai retak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!