Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
burung
Pagi itu tak ada yang istimewa. Udara masih bau knalpot. Berita masih dipenuhi janji-janji pemerintah yang terdengar lebih seperti kaset kusut daripada harapan. Dan Zean… masih malas bangun.
Ia terlentang di ranjang, satu kaki menggantung keluar kasur, satu tangan menutupi wajah dari cahaya pagi yang menyelinap lewat lubang tirai robek. Jam dinding di kamarnya sudah mati sejak minggu lalu, jarumnya berhenti tepat saat pelajaran matematika dimulai. Mungkin karena solidaritas.
Dia tidak tahu jam berapa sekarang. Dan sejujurnya, dia juga tidak peduli.
Dari balik pintu kamarnya terdengar suara yang terlalu tenang untuk pagi hari. “Kak, bangun.”
Itu suara Lira. Datar, tanpa emosi, seperti membacakan prosedur evakuasi. Ia membuka pintu kamar Zean, melempar satu kalimat perintah, lalu menutupnya kembali, seperti guru piket yang hanya ingin absen.
Zean hanya menggeram pelan dan menggulung diri dalam selimut yang sudah bau matahari dan keringat remaja. Lira tahu dia tidak akan langsung bangun. Zean tahu Lira tahu. Rutinitas ini seperti upacara kecil, tidak penting, tapi harus dilakukan agar rumah tetap terasa hidup.
Beberapa menit kemudian,Zean yang masih ingin merasakan kehangatan selimut,suara peralatan dapur terdengar dari bawah. Bunyi air, pintu kulkas, sendok yang dijatuhkan, dan kutukan kecil. Lira sedang membuat sarapan. Atau eksperimen ilmiah. Batas antara keduanya semakin kabur belakangan ini.
Zean akhirnya bangkit. Bukan karena sadar. Tapi karena lapar.
Tangga rumah yang berderit setiap diinjak, seperti mengeluh bahwa rumah tua ini sudah lelah menampung masa depan. Tapi setidaknya mereka masih punya rumah.
Di dapur,Zean dengan mata yang masih sayu,tatapan kosong,rambut berantakan, terduduk lemas di kursi, Lira menyodorkan sepiring roti,terlalu gosong untuk disebut sarapan, terlalu tipis untuk disebut roti. “Ini makanan atau penghapus papan tulis?” tanya Zean. Lira hanya mengangkat bahu. “Setidaknya belum membunuh siapa pun. Belum.”
Mereka makan dalam diam. Hanya ditemani suara televisi yang menyala tanpa penonton, memutar berita berulang tentang wabah yang menyebar, tentang kerusuhan di kota-kota, dan tentang pemerintah yang mengatakan “sudah mengendalikan situasi.”
“Katanya terkendali,” gumam Zean. “Tapi Ibu masih belum pulang dua hari.”
Lira tidak menjawab. Bukan karena tidak peduli. Tapi karena ia tahu,kadang,kata-kata justru mempercepat runtuhnya yang sudah retak.
Keheningan merayap masuk. Ada sesuatu di udara,terlalu sunyi, terlalu hening, seperti dunia sedang menahan napas.
Lira berdiri untuk mengambil gelas. Matanya melirik ke jendela. Ada perasaan ganjil yang tidak bisa dijelaskan. Seperti… kekosongan. Atau sesuatu yang diam-diam mengintip dari balik udara pagi.
Kemudian, BLAK! Seekor burung menabrak jendela dan jatuh.
Zean dan Lira tersentak. Lira berdiri, mendekat. Seekor merpati tergeletak di luar. Matanya terbuka, tapi kosong. Tidak ada darah. Tapi juga tidak hidup.
Zean hanya menatap jendela sebentar.
“bahkan burung pun ... juga ikut malas buat hidup,” ujar Zean pelan.
Lira tidak tertawa. Ia hanya menatap keluar. Dunia terlihat biasa-biasa saja,tapi kali ini sepi,hening,tidak seperti biasanya,yang seharusnya berisik,suara knalpot motor motor sampah pengganggu ketenangan.
Ia bisa merasakannya. Seperti napas dingin yang mengintai dari balik tirai kenyataan.
Sesuatu sedang berubah. Dan entah kenapa, dunia memilih tetap diam,sebelum semuanya benar-benar membusuk dari dalam.