kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Lidah yang Terkunci
Malam menyelimuti desa Tirnawati seperti jaring halus yang perlahan mengikat satu per satu penghuninya. Ronda malam hari itu lebih ramai dari biasanya, bukan karena semangat, tapi karena rasa takut yang tak mau ditanggung sendiri.
Udin dan Pedot ikut ronda—lebih tepatnya dipaksa ikut karena kebanyakan nganggur sore tadi. Mereka duduk bersisian di pos ronda dekat pohon waru yang rimbun, menghadap jalan kecil menuju rumah Mbah Sanem.
Udin: “Dot, coba bayangno, nek Mbah Sanem itu muncul dari semak sana, terus... ndongak, tapi nggak iso ngomong.”
Pedot: (sambil mengkeret) “Kowe iki ya! Wis dibilangin jangan bahas itu pas malam!”
Udin: (nyengir nakal) “Lho, kita kan jaga. Masa jaga nggak waspada? Lha wong kita ini di depan jalan ke rumahnya.”
Pedot: “Was-was karo waspada kuwi beda, Din! Kowe was-was terus malah ngelantur.”
Dari arah lain, terdengar langkah kaki. Pak Kromo, membawa senter tua, datang sambil nyulut rokok kretek.
Pak Kromo: “Heh, kalian berdua! Masih hidup tho?”
Udin: “Lho, Pak Kromo! Lah ya masih... wong belum ketemu Mbah Sanem.”
Pak Kromo: “Ojo main-main. Aku tadi dari arah utara, ada bau anyir kecium. Dekat rumah kosong di sebelah kebun. Tak kira bangkai, tapi nggak ada apa-apa.”
Pedot: “Bau anyir? Kayak darah?”
Pak Kromo: “Yo mirip. Tapi hilang cepet. Kayak cuma numpang lewat.”
Udin langsung menelan ludah. Ia mulai merasa malam ini akan lebih panjang dari biasanya.
Sementara itu, di rumah Pak Ustaz Lutfi, suasana hening. Di ruang tengah, Pak Ustaz duduk bersila, di depannya ada kitab, di sebelahnya Mbah Tejo yang tengah memejamkan mata.
Pak Ustaz Lutfi: “Saya sudah shalat istikharah, Mbah. Mimpi saya tak jelas, tapi saya dengar tangis... seperti perempuan. Tangis yang dalam. Tapi tak bisa bersuara.”
Mbah Tejo: “Tadi siang saya buka satu lemari tua di dapur rumah Mbah Sanem. Ada boneka kain kecil, terselip di antara botol-botol kosong. Saya yakin... itu bukan milik Mbah Sanem. Itu benda untuk ngeraga sukma.”
Pak Ustaz: “Astaghfirullah... jadi benar ada yang memanfaatkan arwahnya?”
Mbah Tejo: “Entah. Tapi bisa jadi arwahnya belum benar-benar pergi. Dia masih terikat dendam.”
Pak Ustaz berdiri, berjalan ke jendela. Di luar, angin menggerakkan pohon mangga yang tinggi, rantingnya berderit perlahan.
Pak Ustaz: “Kalau memang dia ingin menyampaikan sesuatu... kita harus bantu. Kita harus buka mulut yang terkunci itu, meski lidahnya sudah hancur.”
Keesokan harinya, desa Tirnawati kembali ramai oleh kabar baru. Bu Karmi, penjual sayur, mengaku melihat bayangan putih duduk di bawah pohon beringin waktu subuh.
Bu Karmi: “Waktu itu saya lewat mau ke pasar, kan masih gelap. Saya lihat kayak nenek-nenek duduk, rambutnya panjang banget, nutupin muka. Saya kira orang gila. Tapi pas saya senter... ilang, Pak! Ilang!”
Warga kembali resah. Apalagi anak-anak mulai demam tanpa sebab. Bahkan sapi milik Pak Widodo mendadak mati dengan lidah menjulur aneh.
Desa jadi seperti terselimuti kabut yang tak terlihat mata, namun menekan batin setiap orang.
Di warung kopi Pak Minto, para lelaki duduk sembari membahas apa yang sedang terjadi.
Pak Minto: “Saya bilang dari dulu, jangan anggap enteng arwah yang tidak tenang. Apalagi meninggalnya nggak wajar.”
Pak Surip: “Tapi kita juga tak bisa asal nuduh. Belum tentu arwahnya mengganggu. Bisa jadi... dia malah minta tolong.”
Pak Leman: “Tapi kita harus tahu... minta tolong soal apa? Urusan apa yang belum selesai?”
Dari luar warung, suara Udin nyelonong.
Udin: “Pak, saya punya ide!”
Pak Minto: “Wah, ini pasti ide ngawur.”
Udin: “Ndak ngawur, Pak. Gini, gimana kalau malam ini... kita coba komunikasi sama arwahnya? Panggil Mbah Tejo. Kita kumpul di rumah Mbah Sanem, terus... tanya langsung!”
Semua yang di warung menatap Udin seperti anak kecil minta dibelikan layangan saat hujan.
Pak Surip: “Kowe iki Din... nyawamu satu lho, bukan tiga.”
Udin: “Tapi kita harus tahu kebenaran. Nunggu terus juga nggak selesai.”
Pak Minto: “Kalau memang mau, malam ini saya ikut. Tapi harus disepakati, siapa yang mimpin?”
Semua menoleh ke arah satu nama yang sudah jelas: Mbah Tejo.
Malam itu, sekitar pukul sembilan, sekelompok warga dengan hati-hati memasuki rumah kosong peninggalan Mbah Sanem. Mbah Tejo duduk bersila di ruang depan, menghadap ke arah barat, di depannya dupa kecil mengepul.
Pak Ustaz Lutfi duduk di belakangnya, membaca ayat-ayat suci pelan, menjaga.
Udin, Pedot, Pak Minto, Pak Kromo, dan beberapa warga lain duduk melingkar, menahan napas setiap kali angin berhembus lewat jendela pecah di sudut ruangan.
Mbah Tejo mulai bersuara. Suaranya berat, dalam, seakan bukan lagi miliknya.
“Wong wedok tuwo kuwi... nyimpen sejatine rahasia. Wektu durung netes, wis ana dosa ditutup jere... (Perempuan tua itu… menyimpan rahasia. Bahkan sebelum nyawa terakhir, sudah ada dosa yang disembunyikan).”
“Aku... ndelok... tangan getih. Anak lanang... dulman... dulman...”
Semua terpaku. Udin bahkan mencengkeram tangan Pedot.
“Lidah... lidah... dipotong, supaya bisu sak lawase...”
Tiba-tiba, tubuh Mbah Tejo bergetar hebat. Dupa padam seketika. Angin bertiup kencang dari arah belakang. Lampu gantung bergoyang keras. Udin spontan menjerit.
Udin: “Pak Minto! Aku ora kuat, Pak!”
Pedot: “Aku juga ndak kuat! Mataku ndelok bayangan item, Pak! Di pojokan!”
Pak Ustaz: “Istighfar! Semua istighfar!”
Mbah Tejo tersungkur. Napasnya berat. Lalu ia bangkit, perlahan, namun matanya kosong.
Mbah Tejo: “Dulman belum pergi. Dia hidup. Tapi jiwanya... separuh sudah hitam.”
Malam itu, keputusan diambil. Mereka akan mencari Dulman. Tapi yang jadi pertanyaan: di mana mencarinya?
Pak Lurah memanggil Pak Darto, mantan hansip yang kini tinggal di desa seberang, katanya pernah melihat seseorang mirip Dulman. Selain itu, sebuah dusun tua di balik hutan pinus, yang dulu ditinggali Dulman sebelum pindah, akan mereka datangi.
Satu hal yang pasti: jejak kematian Mbah Sanem tidak bisa dibiarkan membeku dalam ketakutan.
Kebenaran harus digali, meskipun harus menatap langsung ke wajah hitam masa lalu.
Hari itu, matahari belum sampai setinggi batang bambu saat suara teriakan mengoyak ketenangan pagi. Dari arah rumah Bu Sarti, warga mulai berlari-lari kecil ke sana, menyisakan kebingungan di warung kopi dan pasar pagi.
Pak Surip yang baru saja duduk menikmati kopi panasnya, meletakkan cangkir dan buru-buru menyusul kerumunan.
Di halaman rumah Bu Sarti, suasana sudah riuh. Beberapa perempuan menutup mulutnya dengan kain, sementara para lelaki berdiri dalam lingkaran, bingung harus berbuat apa.
Di tengah ruang tamu, Diah, anak perempuan Bu Sarti yang masih duduk di bangku SMP, menggeliat-geliat di lantai. Tubuhnya menegang, matanya mendelik ke atas, dan dari mulutnya keluar suara berat yang tidak semestinya dimiliki anak seusianya.
“Ampun... aku ora melu... ojo... ojoo...”
Bu Sarti terduduk di sudut, menangis histeris sambil memeluk lutut.
Pak Surip: “Cepet panggil Pak Ustaz Lutfi! Atau Mbah Tejo! Ini bukan sakit biasa!”
Udin dan Pedot, yang sejak tadi di belakang sambil celingak-celinguk, saling pandang.
Pedot: “Din, kowe berani ora? Nggendong Diah ke langgar dulu, sopo ngerti bisa dibacain doa.”
Udin: (nengok tajam) “Aku berani, nek kowe di depan.”
Pedot: “Aku di belakang ae wis cukup.”
Tak lama, Pak Ustaz Lutfi datang terburu-buru dengan sorban setengah melorot. Di belakangnya menyusul Mbah Tejo dengan tatapan yang lebih tajam dari biasanya.
Pak Ustaz duduk di dekat tubuh Diah, membuka kitab kecil dari sakunya, dan mulai membaca ayat-ayat suci.
Pak Ustaz: “A’udzubillahiminasy-syaitonirrajim... Bismillahirrahmanirrahim...”
Tubuh Diah mendadak kejang, lalu berhenti. Tapi matanya tetap tidak berkedip. Dari mulutnya keluar suara asing.
“Mereka tak mendengarkanku... aku dikurung... aku... aku dipotong... tanganku... lidahku...”
Pak Ustaz: “Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke tubuh anak ini?”
“Bukan aku yang ingin masuk... dia memanggilku... mimpi... mimpi tentang kebun... tentang darah...”
Mbah Tejo mendekat dan meletakkan jari telunjuk di kening Diah. Ia menarik napas panjang.
Mbah Tejo: “Ini bukan jin biasa. Ini ingatan yang tersangkut di jiwa... luka lama yang mengendap di antara dua alam.”
Bu Sarti: “Tolong, Pak Ustaz, Mbah... anak saya nggak pernah main ke tempat angker, nggak pernah macem-macem...”
Pak Ustaz: “Bukan salah siapa-siapa, Bu. Tapi rumah ini dekat dengan jalur arwah yang belum tenang. Apalagi... kebun tua di belakang rumah Ibu itu dulu bagian dari lahan milik Mbah Sanem.”
Semua yang mendengar langsung diam. Beberapa warga mundur pelan, seolah takut tanah di bawah kakinya akan menghisap mereka.
Setelah sekitar lima belas menit dibacakan doa dan diperciki air ruqyah, tubuh Diah melemas. Ia tertidur, peluh mengucur di wajahnya.
Mbah Tejo: “Anak ini bisa jadi petunjuk. Tapi hanya kalau dia sudah benar-benar sadar.”
Kabar tentang Diah menyebar lebih cepat daripada angin. Bahkan Pak RT sampai turun tangan mengumpulkan warga di balai dusun malam itu.
Pak RT: “Kita tidak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan. Kalau memang ini akibat sesuatu dari masa lalu, maka kita harus bongkar semuanya. Jangan hanya sembunyi di balik jendela malam!”
Pak Kromo: “Saya setuju, Pak RT. Tapi juga kita harus hati-hati. Jangan sampai malah ganggu yang tidak perlu.”
Pak Minto: “Kita kumpulkan semua orang yang pernah dekat dengan Mbah Sanem. Yang tahu sejarahnya. Termasuk... keluarga Dulman, kalau ada.”
Pak RT: “Saya dengar Dulman punya saudara jauh di Dusun Karangsari. Besok kita kirim orang ke sana.”
Sementara rapat berlangsung, di rumah Bu Sarti, Diah mulai membuka mata. Ia nampak linglung, namun ketika ditanya, ia menjawab dengan satu kalimat yang membuat ibunya tercekat:
“Bu... aku mimpi... aku lihat nenek tua... dia digeret, terus dipukuli... sama dua orang... satu dari mereka pake topi kebun... kayak milik Pak Sarto.”
Pak Sarto, yang saat itu tengah menjaga ladangnya malam hari, tentu tak tahu namanya disebut.
Keesokan paginya, Udin dan Pedot dengan setengah malas mengayuh sepeda ke arah dusun Karangsari. Mereka ditugasi mencari rumah Pak Wiryo, yang kabarnya adalah saudara jauh Dulman.
Udin: “Dot, nek di dusun Karangsari ketemu pocong, kowe ngumpet endi?”
Pedot: “Ngumpet di belakang punggungmu. Enak tenan, kowe gedhene iso jadi tameng alami.”
Udin: “Cilik-cilik nyolot. Nanti pocongnya milih yang pendek, biar gampang digendong.”
Sesampainya di dusun, mereka menemukan rumah Pak Wiryo cukup jauh dari jalan utama. Rumah panggung sederhana dengan halaman ditumbuhi pohon kelor.
Pak Wiryo, pria berusia 60-an dengan tatapan tajam, menerima mereka dengan sedikit curiga.
Pak Wiryo: “Dulman? Sudah puluhan tahun saya tak dengar kabarnya. Tapi... saya tahu, dia pergi membawa dendam.”
Udin: “Dendam soal apa, Pak?”
Pak Wiryo: “Dia pernah dituduh mencuri hasil panen, padahal bukan dia. Waktu itu, yang nuduh adalah... suaminya Mbah Sanem.”
Pedot: “Lha kok bisa begitu, Pak?”
Pak Wiryo: “Karena Sanem tahu siapa yang mencuri, tapi dia diam. Dulman dipukuli massa, dipermalukan. Sejak saat itu, dia menghilang.”
Udin: “Jadi... mungkin Dulman menyimpan dendam pada Mbah Sanem?”
Pak Wiryo: “Mungkin. Atau mungkin... ada yang lebih besar dari itu.”
Malamnya, di pos ronda, warga berkumpul kembali. Udin dan Pedot melaporkan hasil temuannya.
Pak RT: “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan semua ini ada hubungannya dengan peristiwa puluhan tahun lalu.”
Pak Ustaz Lutfi: “Kita tak bisa hanya berasumsi. Kita harus berdoa, mencari petunjuk lewat mimpi, dan terus menjaga kampung kita.”
Udin: “Pak RT... saya usul, setiap malam ada tim ronda keliling. Jangan cuma duduk di pos. Kita harus nyisir kebun, gudang, rumah kosong.”
Pedot: “Tapi jangan suruh saya depan terus, Pak. Saya ini logistik.”
Semua tertawa kecil, menipiskan ketegangan yang menggantung.
Namun malam itu, ketika ronda dimulai, dari arah kebun tua terdengar suara tangis... bukan dari manusia... bukan pula hewan.
Tangis lirih, seperti suara yang dipaksa keluar dari tenggorokan tanpa lidah.