Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Gagal satu kali tidak akan membuat Naren berkecil hati. Hanya cemberut sebentar, lalu sudah kembali ceria sebab telah menemukan senjata baru dengan damage lebih mematikan. Kalau sampai yang kali ini pun gagal, berarti fix si nenek sihir ini harus dikerjai dengan cara yang jauhhhhh lebih ekstra.
"Oke, let's try again." Dia berjalan keluar kamar dengan cara mengendap-endap lagi.
Beberapa meter di depannya, Kayanara sedang menerima telepon di depan pintu balkon, membelakangi dirinya. Sayup-sayup terdengar suara perempuan itu menyebut bocil kematian yang Naren yakin betul ditujukan untuk dirinya.
"Sembarangan ngatain gue bocil kematian, lo tuh nenek sihir kejam!" geramnya dengan suara teramat pelan. Bukan karena takut si nenek sihir itu akan mendengar dan terjadi keributan, dia hanya tidak mau rencananya yang kali ini berantakan.
Habis mengomel sedikit, dia kembali fokus pada senjata andalannya. Dipandanginya benda kesayangannya itu lekat-lekat. Matanya berbinar, layaknya sedang memandang anak-anak yang dia lahirkan dan rawat sendiri dengan sepenuh hati.
"Kerja yang bener, ya, Sayang." Seraya mengusap tubuh mainan ular hijau sepanjang 30 sentimeter di tangannya dengan penuh cinta.
Ular mainan itu lalu dia letakkan di lantai. Remote control kecil berada di genggamannya yang lain, siap ditekan agar si ular bisa merayap bebas berlenggak-lenggok menuju sasaran.
Mengucap bismillah sekali (ini memang absurd, tapi mari kita biarkan dia melakukannya), Naren mulai melancarkan aksinya. Tombol ditekan dan walla! Ular cantik itu bergerak lincah menyasar sepasang kaki jenjang berbalut slippers cokelat tua.
Detik demi detik yang berlalu Naren hitung tanpa adanya jeda. Sedikit harap-harap cemas waktu ular kesayangannya bergerak semakin dekat dengan kaki Kayanara.
"Jangan gerak...." bisiknya. Geregetan melihat Kayanara yang malah sibuk bergeser ke kanan dan ke kiri sehingga dia sulit menentukan fokus target.
Naren sampai harus berkonsentrasi penuh agar sasarannya tidak meleset. Satu detik terasa seperti sewindu sekarang. Dahinya sampai basah dipenuhi peluh. Jantungnya deg-degan, napasnya sedikit tertahan.
"Oh, shit!" serunya kesal kala ular jagoannya malah berakhir menabrak pintu balkon, alih-alih mengigit kaki Kayanara. Perempuan itu terlalu banyak bergerak sehingga dirinya sulit mengunci target.
Si ular malang itu kelojotan di lantai selagi Naren belum sempat menekan tombol off. Sementara si nenek sihir mulai menyadari ada keributan di belakang, perlahan berbalik dan melambungkan pandangan pada Naren sebelum akhirnya fokus pada makhluk kecil yang sedang tersiksa itu.
Tanpa ba-bi-bu, tanpa juga Naren duga, Kayanara tiba-tiba berjongkok, memungut ular hijau neon itu lalu membawanya menuju pembatas balkon.
Di belakang, Naren dibuat melongo sesaat menyaksikan ular kesayangannya dilempar oleh Kayanara tanpa sedikit pun rasa berdosa. Masih dengan tubuh yang menggeliat, ular tak bersalah itu dibiarkan terjun bebas dari lantai dua.
"What the fuck are you doing?!" teriaknya histeris. Detik kemudian, dia berlari menuju balkon, hanya untuk melihat ular kesayangannya merayap menyusuri halaman depan, menyatu dengan rerumputan, lalu menghilang di semak-semak.
"Itu mainan kesayangan gue!" Naren berseru emosi, setengah frustrasi. Bola matanya membulat sempurna, diselimuti semburat merah dari otot-otot sekitar yang menegang. "Siapa yang izinin lo buat pegang sembarang, bahkan berani buang?!"
"Dia bosen, pengen jalan-jalan di luar. Gue cuma bantuin." Kayanara menjawab santai. Sambungan telepon belum terputus. Dia sengaja membiarkan seseorang di seberang sana mendengarkan keributan ini.
Naren mengacak rambutnya frustrasi, kembali melongok ke bawah ketika ular kesayangannya sudah tidak nampak lagi. Sialan! Padahal ular itu dia beli saat liburan musim dingin dua tahun lalu di Tokyo!
"What happened?" Seseorang di seberang telepon menginterupsi.
Kayanara menempelkan kembali ponselnya ke telinga, lalu berjalan menjauhi Naren yang masih meratapi nasib ularnya
"Biasalah, bokem kamu bikin ulah," jawabnya santai.
Sedangkan yang di seberang telepon melenguh panjang dan kedengaran sudah begitu lelah. "Apa lagi kali ini?"
"Dia suruh ular kesayangannya buat nyerang aku, tapi gagal." Kayanara terkekeh pelan sambil memutar kembali ingatan tentang ekspresi heboh Naren. "Mungkin dia pikir aku bakal mempan ditakut-takuti sama mainan kayak gitu."
"Kay,"
"Hmmm?"
"Kamu emang nggak takut sama apa pun ya di dunia ini!"
Kayanara berhenti mengayunkan langkah, padahal sedikit lagi dia mencapai lantai satu. Di tengah-tengah tangga, dia terdiam sebentar, berpikir keras.
Tidak takut apa pun? Ayolah, tidak ada manusia yang seperti itu di dunia ini.
"Jelas ada hal-hal yang aku takuti," jawabnya dengan bibir yang mulai menipis. "Aku ini manusia biasa, Janu. Tentu ada hal-hal yang bisa bikin aku ketakutan bahkan rasanya kayak mau mati."
"Kalau gitu, kasih tahu saya apa yang bikin kamu takut, biar saya bisa jagain kamu dari hal-hal itu."
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Karena ayahnya selalu bilang bahwa semua hari itu baik, Naren jadi tidak percaya kalau ada yang namanya hari sial. Setiap kali ditimpa kemalangan, dia hanya akan menganggap semua itu bagian dari kehidupan, entah sebagai ujian atau justru teguran dari Tuhan. Untuk membantunya tumbuh jadi pribadi yang lebih baik, dan tidak mengulang kesalahan yang sama di kemudian hari
Akan tetapi, apa yang menimpanya hari ini serta-merta membuatnya goyah. Membuatnya tergoda untuk mengakui bahwa, iya, hari sial itu memang ada. Dan untuk dirinya, hari itu adalah hari ini.
Bagaimana tidak? Bukan hanya soal gagal mengerjai si nenek sihir dua kali berturut-turut, Naren juga harus menerima hukuman karena ketahuan berbicara kasar di saat jatahnya sudah habis. Seseorang yang bertelepon dengan Kayanara ternyata adalah ayahnya, dan lelaki itu mendengar semuanya. Tentu tak butuh waktu lama untuk ayahnya melaporkan hal tersebut kepada Mahen, si pemegang takhta tertinggi peraturan di rumah ini.
"Minggu kemarin udah ada kemajuan, kok minggu ini melanggarnya malah habis-habisan?" Naren membuang muka, enggan menatap Mahen yang sedang menyidang dirinya. Hasilnya akan digunakan untuk menentukan hukuman apa yang pantas dia terima.
Kalau biasanya hanya dipotong uang jajan dan tidak boleh main game, Naren yakin yang kali ini akan lebih berat. Dia sudah melanggar cukup banyak, dan ini semua gara-gara andil si nenek sihir menyebalkan!
Ugh, rasanya Naren ingin menenggelamkan nenek sihir itu ke dalam kuali besar berisi rempah-rempah, memasaknya hidup-hidup untuk dijadikan pakan raksasa.
"Kamu habis dapat tambahan uang jajan dari Abang tiga kali lipat, jadi sekalipun uang jajan kamu Abang potong, itu nggak akan berpengaruh banyak. Minggu depan juga kamu udah full kuliah, jadi nggak main game juga nggak akan bikin kamu gelisah."
Naren manggut-manggut saja. Banyak protes pun akan sia-sia. Lagi pula, mana berani dia melawan Mahen si raja terakhir?
Ada hening yang tercipta selama beberapa waktu setelahnya. Mahen tampak serius memikirkan hukuman, sementara Naren harap-harap cemas menunggu hasil sidang.
Ketika akhirnya keputusan bulat dibuat, Naren menemukan rahangnya jatuh dan dunianya seakan kiamat.
Dengan entengnya, Mahen memberikan dua pilihan: Merelakan seluruh koleksi action figure miliknya disumbangkan ke panti asuhan, atau pergi ke kampus diantar-jemput oleh Kayanara.
Mampus. Naren benar-benar mampus!
Bersambung....