Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makin Gemuk?
Al, dengan senyum jahil dan tatapan yang penuh gairah, langsung berjalan cepat ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, dia mengangkat tubuh mungil istrinya seperti mengangkat karung beras—mudah dan mantap. Nayla terkejut sambil tertawa pelan, “Masya Allah, Ustadz, beneran dibawa begini?”
Al tidak menjawab, hanya menatap dalam dan membawa Nayla ke kamar mereka, membaringkannya perlahan di atas ranjang. “Yang tadi tertunda... harus dituntaskan,” ucapnya pelan dengan suara berat, penuh rasa.
Nayla memalingkan wajahnya dengan malu-malu, tapi tangan Al menggenggam jemarinya dengan hangat. “Karena ini juga ibadah, Sayang… dan lebih penting sekarang,” lanjut Al sambil mengecup kening istrinya dengan lembut.
Mereka pun kembali larut dalam suasana hangat yang penuh cinta dan keintiman sebagai sepasang suami istri, menyatu tanpa jeda, menuntaskan rindu yang tertahan karena pintu yang sempat digedor—kali ini, tanpa gangguan.
Sore itu, setelah salat Ashar, Al mengenakan baju koko putih bersih dan sarung motif tenun yang rapi. Wangi harum dari minyak kayu putih dan parfum khasnya membuat penampilannya makin memesona. Nayla mengantar sampai teras, menatap suaminya dengan bangga sekaligus waspada—karena tahu, Ustadz muda yang satu ini memang selalu jadi pusat perhatian, terutama di kalangan ibu-ibu dan gadis desa.
Sesampainya di rumah Pak RT, beberapa ibu-ibu dan remaja putri langsung tersipu melihat Al datang. Senyum-senyum kecil, bisik-bisik terdengar samar, “Itu Ustadz Al ya? Masya Allah... muda banget, ganteng pula…”
Pak RT menyambut dengan ramah, “Alhamdulillah, Ustadz sudah datang. Mohon pimpin doa nanti ya.”
Al membalas dengan senyum hangat dan santun, “Insya Allah, Pak. Semoga acaranya berkah.”
Saat acara dimulai, semua mata seolah hanya tertuju pada Al. Suaranya yang tenang, doa yang khusyuk, serta penampilannya yang bersahaja namun memikat, membuat semua yang hadir larut dalam kekaguman. Namun, di kejauhan, seorang wanita yang dari tadi memperhatikan Al dengan tatapan berbeda—diam-diam menyimpan rasa kagum yang tampak lebih dalam.
Selesai doa dipanjatkan, suasana mulai lebih santai. Para tamu mulai menikmati hidangan, dan Pak RT pun duduk berdampingan dengan Al. Dengan senyum lebar dan nada berseloroh, Pak RT berkata, “Ustadz Al, saya ini sebenarnya punya satu putri, gadisnya masih muda, cantik, dan insya Allah solehah. Kalau ustadz berkenan, saya ingin menjodohkan dia. Jadi istri kedua, mungkin?”
Beberapa orang yang mendengar langsung tertawa kecil, sebagian lagi saling menatap dengan kaget. Namun Al tetap tenang, menanggapi dengan senyum sopan dan tutur lembut, “Pak RT, saya sangat menghargai tawaran dan niat baik Bapak. Tapi, saat ini saya sedang berusaha menjaga dan membangun rumah tangga saya bersama istri saya, Nayla. Saya ingin fokus pada satu hati dulu, Pak.”
Pak RT mengangguk pelan, walau terlihat sedikit kecewa. “Saya mengerti, Ustadz. Jawaban yang bijak. Memang tak mudah menjadi pemimpin yang adil untuk dua hati.”
Sementara itu, dari kejauhan, Nayla yang sempat datang membawa makanan tambahan mendengar sepintas percakapan itu. Meski tak sepenuhnya menangkap isi lengkapnya, hatinya terasa hangat saat tahu suaminya menolak tawaran itu dengan mantap. Namun tetap saja, bayangan poligami kembali berkelebat dalam benaknya.
Begitu Al menyelesaikan doa dan para tamu mulai bersalaman, Pak RT memperkenalkan si empunya hajat—pasangan suami istri yang baru saja dikaruniai anak. Saat sang ibu bayi keluar dari dalam rumah dengan senyum ramah sambil menggendong anaknya, Nayla yang ikut hadir sontak terdiam kaku.
Itu Dania.
Wanita yang Nayla tahu adalah mantan kekasih suaminya—wanita dalam foto itu.
Dania menyapa dengan tenang, “Masya Allah, Ustadz Al... terima kasih sudah bersedia datang, ini anak saya, namanya Faiz.”
Al tersenyum, lalu menjawab sopan, “Barakallah, semoga Faiz menjadi anak yang shalih, penyejuk hati orang tuanya.”
Sikap Al begitu biasa, seolah tak ada masa lalu yang mengikat. Ia bahkan menunduk sopan dan tak berlama-lama dalam percakapan. Namun Nayla, yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana, merasa hatinya diremas. Campuran cemburu, gugup, dan sedikit takut menyelinap dalam diamnya.
Sore itu, saat mereka berjalan pulang, Nayla diam lebih dari biasanya. Al sesekali meliriknya, namun tak bertanya apa-apa dulu. Ia tahu, ada yang perlu disampaikan… pelan-pelan, saat Nayla siap.
Saat Al melangkah mendekati rumah dengan membawa bingkisan dari acara aqiqah, ia melihat Nayla berdiri di tepi jalan, tidak seperti biasanya. Angin sore meniup lembut jilbab Nayla, dan wajahnya tampak serius, bukan senyuman hangat yang biasa menyambutnya.
Al mengerutkan dahi, “Nay, kok di luar? Kenapa nggak nunggu di rumah?”
Nayla melipat tangannya di dada, lalu memiringkan kepala sambil menatap suaminya tajam. “Aku cuma mau nanya satu hal,” katanya pelan, tapi penuh tekanan.
Al mengangguk perlahan, mencoba tetap tenang. “Tanya apa, Sayang?”
“Kalau tadi kamu nggak tahu kalau yang aqiqah itu anak Dania... kamu bakal tetap nolak tawaran jadi suami kedua anak tetangga itu?” Mata Nayla tak berkedip.
Al terdiam. Bingkisan di tangannya nyaris terlepas. Pertanyaan itu tajam—jebakan yang mengungkap banyak hal dari sudut hati Nayla.
Ia melangkah lebih dekat, menghela napas, lalu menatap Nayla dalam. “Nayla... aku nolak bukan karena siapa yang ada di sana. Tapi karena aku sudah punya satu perempuan yang bikin aku ingin menua dalam satu cinta aja.”
Nayla masih diam, namun matanya mulai berkaca-kaca. “Bukan karena kasihan? Bukan karena kamu terpaksa?”
Al tersenyum tipis, menaruh bingkisan, lalu menggenggam tangan Nayla. “Bukan. Aku nggak kasihan. Aku bersyukur.”
Nayla masih menahan air matanya. “Bersyukur... kenapa?”
“Karena kamu... bukan siapa-siapa di masa laluku. Tapi kamu adalah siapa-siapa untuk masa depanku.”
Al tertawa kecil melihat pipi Nayla yang memerah dan senyum manja yang mulai terbit di wajah istrinya.
“MasyaAllah... sekarang minta digendong, ya?” goda Al sambil menaruh bingkisan di kursi teras.
Nayla mengangguk pelan sambil menggigit bibir bawahnya, wajahnya semakin merah. “Kan katanya aku satu-satunya buat masa depan... masa nggak mau nggendong istri masa depanmu?”
Al langsung berbalik dan menunduk, “Ayo naik, Bu Ustadzah manja.”
Nayla cekikikan kecil lalu naik ke punggung suaminya, memeluk erat dari belakang. Al mengangkat tubuh istrinya dengan mudah, berjalan menuju rumah mereka yang tak jauh, sambil melantunkan pujian kecil.
“Berat juga ya... ternyata cinta itu.”
“Hei!” Nayla mencubit pelan pundak Al. “Bilang aja aku makin gemuk.”
“Makin manis,” sahut Al cepat, membuat Nayla semakin tertawa malu.
Sesampainya di depan pintu, Al berkata, “Kalau minta digendong gini terus, jangan salahin aku kalau nanti tiap malam kamu nggak bisa tidur nyenyak.”
Nayla mendengus manja, “Emangnya kenapa?”
“Karena aku bakal terus curi-curi waktu buat manjain istri yang katanya cuma satu-satunya itu.”