NovelToon NovelToon
The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Mata-mata/Agen
Popularitas:492
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.

Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.

Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Dasar Yang Tak Pernah Tidur

“Simbol itu... nggak mungkin salah,” desis Noval.

Layar sonar masih menampilkan bayangan samar yang berputar perlahan di kedalaman. Bentuknya seperti bagian kapal—tapi bukan kapal modern. Lambungnya melengkung, ukiran kayu tua yang membusuk terlihat dari rekaman visual drone bawah laut. Dan di sisi kiri puing, lambang itu terlihat jelas. Melingkar, dengan mata di tengah dan bentuk menyerupai kompas yang retak.

Zwarte Sol.

Intan berdiri mematung, menatap lambang itu seperti sedang melihat hantu dari masa lalu.

“Puing VOC?” gumam Rendi dengan suara nyaris tak terdengar.

Yuni mengangguk pelan. “Aku yakin... mereka pernah ke sini. Mungkin ratusan tahun lalu. Mungkin mereka mencoba mencari salah satu dari 12 benua. Atau menjaga rahasia supaya tidak pernah terbuka.”

Tak ada yang langsung menjawab. Hanya suara dengung mesin kapal dan samar gemuruh badai dari atas yang menambah tekanan di udara.

“Kalau itu kapal VOC... kenapa bisa sampai sini?” tanya Rivani, nada suaranya lebih takut daripada penasaran.

Bagas mengakses ulang data sonar. “Kedalaman 462 meter. Tekanan air tinggi, tapi masih bisa dijangkau kalau kita pakai suit generasi baru.”

Yuni menatap layar, lalu berbalik ke yang lain. “Kita harus ambil salah satu puing itu. Mungkin ada bagian lambung, atau logam yang bisa kita analisa. Petunjuk. Apa pun. Ini bisa jadi potongan penting tentang 12 benua yang kita cari.”

“Jangan gila,” sahut Intan cepat. “Kamu lihat tadi? Ada sesuatu yang menyerang kita.”

“Tapi objek itu sudah hilang,” jawab Yuni. “Kalau kita terus menunggu... kita bakal kehilangan momen. Ini kesempatan langka.”

Semua terdiam lagi.

Menyelam dalam badai metafisik di wilayah yang ditandai oleh simbol kuno dari organisasi penjajah sihir bukan ide bagus. Tapi di saat bersamaan, ini bukan perjalanan biasa. Sejak awal, semuanya tentang pertaruhan.

“Gue ikut,” kata Noval tiba-tiba, mengejutkan semua orang.

Semua menoleh padanya.

“Serius, Nov?” tanya Rendi, bingung.

“Gue yang pertama kali kenali simbol itu. Dan kalau itu beneran puing VOC yang ada jejak Zwarte Sol-nya, gue harus lihat langsung. Kalau nggak, gue nggak bakal bisa tidur.”

Dira mengangguk pelan. “Kita butuh dua orang. Untuk back-up satu sama lain.”

Sunyi.

Tak ada yang mau maju. Sampai akhirnya...

“Aku ikut,” kata Intan dingin. “Kalau Noval turun sendiri, dia mungkin panik. Atau malah keasyikan ngomongin teori. Aku pastikan dia tetap hidup.”

Yuni langsung mendekat. “Serius, Intan?”

Intan hanya menatap lurus ke depan. “Aku nggak suka laut. Tapi aku lebih nggak suka kehilangan peluang.”

Bagas tanpa basa-basi langsung memerintahkan Arka untuk membuka modul persiapan penyelaman. Pintu di sisi kapal terbuka ke lorong kecil menuju ruang gantung perlengkapan. Dua suit khusus berwarna hitam-abu dengan emblem The Vault tergantung rapi di dalam tabung stasis.

“Suit ini dilengkapi sonar pribadi, sistem komunikasi tertutup, dan sistem pemanas tubuh otomatis. Tapi tetap... kalian cuma punya waktu tiga puluh menit di bawah. Setelah itu, tekanan mulai berisiko,” kata Dira, suaranya datar tapi tegang.

Yuni membantu Noval memasang helm. “Jangan terlalu jauh dari sumber cahaya utama. Sensor kita nggak bisa jangkau kalau kalian masuk ke celah sempit.”

Intan hanya mengangguk, mengecek ulang tabung oksigen dan panel tekanan di lengan suit-nya. Matanya kosong. Tapi tubuhnya siap.

Rivani berdiri di dekat pintu pelepasan. “Kalau kalian melihat sesuatu... yang bukan puing kapal... jangan didekati. Apa pun itu.”

Rendi menambahkan, “Dan jangan terlalu lama. Bahkan kalau kalian lihat sesuatu yang penting banget, jangan sampai waktu habis.”

Mereka berdua berdiri di ruang dekompresi.

Lampu berubah ke warna biru redup.

Pintu mulai terbuka ke bawah laut.

Suara tekanan udara mendesis, disusul oleh gemuruh laut yang seakan mengisap mereka masuk.

Dan dalam sekejap... Noval dan Intan hilang ke dalam kegelapan.

 

Sinar dari lampu dada suit mereka menyapu dasar laut. Butiran pasir halus melayang pelan di air, menciptakan efek seperti kabut. Di sekitar mereka, bentuk-bentuk besar tergolek diam: pecahan kayu besar, roda kemudi, dan bagian tiang layar yang patah.

“Ini beneran kapal zaman VOC,” bisik Noval melalui interkom.

“Fokus,” balas Intan pendek.

Mereka terus bergerak perlahan. Makin dalam mereka menyusuri reruntuhan, makin jelas kondisi kapal itu hancur—tapi tak sepenuhnya rusak oleh alam. Ada bekas terbakar. Logam meleleh. Kayu gosong.

“Ini... nggak wajar. Laut nggak bisa bakar gini,” gumam Noval.

“Bisa jadi... waktu mereka nemu sesuatu yang seharusnya nggak mereka sentuh,” balas Intan, nada suaranya mulai goyah.

Tiba-tiba, suara statik terdengar di interkom mereka.

“Eh… lu denger itu?” tanya Noval.

“Denger,” jawab Intan, langsung menyalakan ulang jalur komunikasi. “Dira, kalian masih dengar suara kami?”

Tak ada jawaban.

“Dira? Yuni? Arka?”

Sunyi.

Hanya suara napas mereka berdua dan gelembung udara.

“Mungkin sinyal kehalang,” kata Noval, mencoba tetap tenang.

“Cepat ambil puingnya. Kita harus balik,” ucap Intan sambil menyinari lambung kapal yang setengah terkubur.

Mereka mendekat ke bagian samping kapal. Lambang Zwarte Sol terpahat jelas di logam bulat seperti plat lambung. Noval membuka toolkit magnetik, lalu mulai memotong bagian logam itu.

Saat percikan api kecil muncul dari alat pemotongnya, Intan merasa... hawa dingin menguar dari dalam kapal.

“Cepat, Nov.”

“Sebentar lagi.”

Intan menoleh ke sisi kanan—dan matanya melebar.

Bayangan.

Di balik celah puing.

Seperti seseorang... berdiri. Atau menggantung.

Tapi tak bergerak.

“Nov... kita harus pergi sekarang.”

“Sebentar lagi... hampir—”

Dan saat potongan logam lepas, suara jeritan terdengar dari kejauhan.

Jeritan manusia.

Tapi... terlalu dalam. Terlalu panjang. Seperti suara yang direndam air selama ratusan tahun.

“KITA HARUS NAIK!” teriak Intan.

Mereka berbalik. Cahaya dari suit menyorot ke celah itu—

Dan sosok itu bergerak.

Bukan berenang. Tapi seperti ditarik. Seolah tali tak kasat mata menyeretnya pelan-pelan dari bayang-bayang.

Dengan kepala yang menunduk.

Dan tubuh yang tidak sepenuhnya utuh.

“Apa itu...” suara Noval gemetar.

Cahaya lampu mereka mulai berkedip.

Oksigen mulai menipis.

“KITA HARUS NAIK!” ulang Intan, kali ini lebih keras.

Mereka berenang secepat mungkin ke arah titik kembali.

Di belakang mereka, suara gesekan logam terdengar... diikuti oleh bisikan. Bisikan yang tidak berasal dari interkom.

“Ayo, ayo, ayo!” Noval hampir panik.

Akhirnya mereka mencapai titik pengambilan.

Sistem kapal otomatis menarik mereka ke dalam lorong dekompresi.

Begitu pintu tertutup, suara di luar menghilang.

Sunyi.

Hanya napas berat mereka di dalam helm.

 

Beberapa menit kemudian, pintu utama terbuka. Dira dan Bagas langsung menarik mereka keluar. Rivani dan Yuni menyambut, membantu melepaskan helm mereka.

“APA YANG KALIAN LIHAT?” tanya Dira langsung.

Noval hanya diam. Tangannya gemetar, masih memegang potongan logam yang kini berdenyut pelan seolah menyimpan panas di dalamnya.

Intan menatap ke langit-langit ruangan. Nafasnya tersengal.

“Ada... sesuatu di bawah sana,” bisiknya. “Dan... itu belum selesai.”

Dan di saat semua berpaling ke potongan logam, mereka menyadari satu hal:

Simbol Zwarte Sol itu kini bersinar merah.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!