Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 SINYAL YANG TAK PERNAH PUTUS.
Jarum jam menunjukkan pukul 2:17 dini hari ketika Andini terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena satu hal yang sangat nyata dan mengganggu. AC asrama mati.
Ia berguling gelisah di kasurnya yang mulai terasa gerah. Udara kamar yang biasanya dingin dan nyaman kini berubah pengap. Kipas angin satu-satunya pun sedang ‘cuti’ karena rusak seminggu lalu.
Andini duduk, rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya ngantuk dan kesal.
“Kenapa harus sekarang sih…” gumamnya sambil mengibas-ngibas kerah baju dengan tangan.
Ia membuka jendela sedikit, berharap angin malam masuk, tapi yang datang malah suara motor dan dengungan nyamuk. Frustrasi, ia akhirnya mengambil ponsel, membuka layar yang menyilaukan mata, dan… tanpa sadar, jempolnya membuka chat Raka.
Andini: “Bangun nggak?”
Tak sampai satu menit kemudian, notifikasi masuk.
Raka: “Baru aja kelar main game. Kenapa, Din?”
Andini senyum kecil. Dia nggak tahu kenapa, tapi rasanya senang banget tahu Raka belum tidur.
Andini: “AC mati. Aku kepanasan kayak tahu goreng.”
Raka: “Wah... tragis banget. Kamu butuh es batu? Kipas manual? Aku kirim via drone?”
Andini: “Hahaha... kamu mau banget ya liat aku leleh.”
Raka: “Nggak lah. Aku justru pengen kamu tetap adem... walau dunia kadang bikin gerah.”
Andini: “Aduh, mulai deh kamu…”
Raka: “Serius. Tapi beneran, coba basahin handuk kecil, taruh di leher atau kening. Lumayan bantu kok. Atau... mau aku teleponin sampai kamu ketiduran?”
Andini menatap layarnya lama, lalu mengetik pelan.
Andini: “Telepon, ya. Tapi jangan heran kalau aku tiba-tiba ngorok.”
Raka: “Ngorok kamu pun kedengerannya kayak musik jazz. Ayo, angkat.”
Tak lama, ponsel Andini bergetar. Ia menyender di dinding, memejamkan mata, dan mendengar suara Raka di seberang sana. tenang, sabar, dan seperti biasa… bikin segalanya terasa lebih baik.
Suara dering singkat bergema di kamar asrama yang masih panas dan senyap. Andini mengangkat telepon, menyandarkan kepalanya ke dinding sambil memejamkan mata.
“Halo…” suaranya pelan.
Di seberang, suara Raka muncul, hangat dan stabil. “Hei. Masih kebakar?”
Andini tertawa kecil, lesu. “Udah mendingan… cuma masih gerah banget.”
“Kalo kamu di sini, udah aku buatin es teh manis dingin, plus kipasin pakai kipas jadul yang bunyinya kayak motor tua,” canda Raka, membuat Andini tertawa pelan.
Mereka terdiam sejenak. Tidak canggung. justru nyaman. Raka tahu, kadang yang dibutuhkan bukan obrolan panjang… tapi kehadiran yang terasa.
Andini bergumam pelan, “Aku seneng banget kamu masih bangun…
“Aku juga seneng kamu ingat aku… bahkan pas kamu lagi kepanasan tengah malam.”
Andini menarik napas, suaranya makin pelan. “Rasanya nyaman… kayak ada yang jagain, walau cuma lewat suara…”
Raka tersenyum dari kamarnya yang juga gelap. Ia duduk di dekat jendela, menatap langit malam yang mulai redup. “Emang itu niatku. Jagain kamu. Walaupun kamu nggak sadar.”
Andini tidak menjawab.
“Din?” panggil Raka pelan.
Tidak ada respons.
Tapi ia masih mendengar napas pelan di seberang, teratur, tenang. Tanda bahwa Andini sudah terlelap.
Raka tak mematikan telepon. Ia hanya mendekatkan ponselnya ke telinga, diam-diam menikmati suara kecil yang membuktikan bahwa seseorang yang ia jaga... akhirnya bisa tidur dengan tenang.
Dan sebelum ia ikut terlelap, Raka berbisik, meski tahu Andini tak mendengarnya.
“Selamat tidur, Din… Aku di sini.”
PAGI HARI.
Sinar matahari menembus tirai tipis kamar asrama. Andini menggeliat pelan di atas kasur, rambutnya masih sedikit berantakan, dan udara kamar kini jauh lebih segar dibanding semalam. Ia membuka mata perlahan, mengucek mata… lalu matanya melirik ke ponsel yang masih tergeletak di samping bantal.
Layar ponsel menyala. Ada satu panggilan masih aktif.
Call Duration: 4 jam 27 menit.
Andini membeku sebentar. Lalu buru-buru membawa ponselnya ke telinga. “Halo?”
Dan di seberang sana, suara Raka langsung terdengar, serak-serak khas orang baru bangun tidur.
“Pagi, Din…”
Andini langsung duduk tegak, matanya melebar. “Raka! Kamu masih… kita masih nyambung?”
Raka tertawa kecil, suaranya pelan tapi hangat. “Iya. Kamu tidur sekitar lima menit setelah kamu bilang 'aku masih kuat kok'."
Andini langsung nutup muka pakai tangan. “Ya ampun, maaf banget. Kamu nungguin sampai subuh?”
“Emang niatnya,” jawab Raka santai. “Aku mau nemenin kamu sampai kamu tidur. Terus… aku jadi ikut ketiduran juga.”
Andini terdiam sejenak, hatinya penuh rasa yang hangat. Ada sesuatu tentang didengerin tanpa diminta, dijagain tanpa disuruh, yang bikin dia nyaris terharu.
“Kamu tuh… baik banget sih "
“Enggak,” jawab Raka pelan. “ Sebagai kekasih kamu apapun akan aku lakukan, walaupun duduk di ujung telepon semalaman sambil dengerin kamu ngorok halus... ya, aku mau.”
Andini ketawa, malu setengah mati. “Aku ngorok ya?!”
“Sedikit,” goda Raka. “Tapi lucu.”
Pagi itu, sebelum rutinitas dimulai, sebelum mandi dan buru-buru ke kantor magang, Andini duduk diam dengan senyum lebar, bukan karena cuaca cerah, tapi karena tahu. ada seseorang di luar sana, yang diam-diam jagain dia bahkan ketika dunia lagi gelap dan sunyi.
Dan panggilan itu... belum juga diputus.