Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Alex meraih ponsel milik Wilona lalu meletakan di telinga. "Halo," sapanya, dengan santai.
"Halo, Wilo! Kamu di mana? Ibu pulang kalian gak ada! Apa kamu tau betapa khawatirnya Ibu, hah? Cepat katakan di mana kalian sekarang!?"
Alex terdiam, suara lantang yang ia dengar di dalam sambungan telepon mengingatkannya kepada seseorang. Terdengar berisik dan penuh kemarahan, tapi sukses membuat otaknya kembali melayang ke masa lalu, wajah wanita bernama Irene Larasati seketika melintas di otak kecilnya, wanita itu tersenyum kecil terlihat nyata.
"Irene? Nggak, gak mungkin ini dia. Saya jauh-jauh dateng ke sini buat urusan bisnis. Mana mungkin dia ada di kota ini juga," batin Alex, sejenak larut dalam lamunan, hingga suara Irene kembali terdengar dan mengejutkan.
"Kenapa kamu diem aja, Wilona? Cepat katakan di mana kalian sekarang, kalau nggak--"
"Wilona sama William ada bersama saya," sela Alex bahkan sebelum Irene menyelesaikan apa yang hendak ia ucapkan.
Keheningan seketika tercipta, suara lantang Irene yang semula terdengar seakan menghilang. Wanita itu seolah merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Alex saat ini. Suara yang baru saja ia dengar di dalam sambungan telepon sangat familiar.
"Halo," sapa Alex dengan ragu-ragu dan gugup entah mengapa. "Anda Ibunya si kembar, 'kan? Tadi ada sedikit insiden, Willi hampir aja ketabrak mobil saya, tapi--"
"Apa? Wi-Willi ketabrak?" sela Irene, dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya. "Katakan, di Rumah Sakit mana Willi sekarang? Dia gak apa-apa, 'kan? Anakku baik-baik aja, 'kan? Ya Tuhan!"
"Hah? Eu ... si kembar lagi di restoran sama saya. Rencananya, saya mau anterin pulang setelah makan dulu di sini."
Irene terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Eu ... maksud Anda apa, ya? Tadi katanya Willi ketabrak mobil Anda, 'kan? Kenapa gak dibawa ke Rumah Sakit? Kenapa malah dibawa ke restoran?"
"Jadi begini, Mbak. Saya--" Alex terpaksa menahan ucapannya karena Wilona tiba-tiba merebut ponsel tersebut dari tangannya.
"Ini aku, Ibu," ucap Wilona meletakan ponsel di telinga.
"Astaga, Wilo? Adik kamu gak kenapa-napa, 'kan? Tadi katanya dia ketabrak!"
"Nggak, Bu. Willi baik-baik aja ko, cuma lecet dikit dan Om Alex udah bawa dia ke Rumah Sakit."
"Tunggu, Om siapa? Kamu bilang Om A-lex?" Irene terbata-bata, merasa tidak percaya.
"Iya, Bu. Ibu tenang, ya. Kami baik-baik aja ko. Ini bentar lagi juga kami pulang. Udah ya, aku mau makan dulu, abis makan aku sama Willi pulang, oke?" ucapan terakhir Wilona sebelum gadis kecil itu menutup sambungan telepon.
Dengan wajah datar Wilona melanjutkan aktifitasnya yang sedang menyantap makanan. Suapan demi suapan pun ia lakukan, benar-benar menikmati makanan tersebut. Sementara Alex, pikirannya kembali larut dalam lamunan, memikirkan seseorang yang pernah singgah sesaat di masa lalu, tapi masih membekas hingga sekarang. Rasa cintanya kepada wanita itu pun masih tersimpan rapi di dalam relung hatinya yang paling dalam. Ya, meskipun ia masih mencoba untuk melupakan, menyingkirkan setiap kenangan dan harapan meskipun hal tersebut tidak mampu membuatnya melupakan setiap kenangan indah yang sudah terukir.
Percakapan singkat bersama ibu dari si kembar, membuat usahanya untuk melupakan wanita itu sia-sia. Alex memandang wajah si kembar secara bergantian, seraya membayangkan sosok Irene Larasati, wanita yang ia cintai.
"Rasanya gak mungkin mereka anak-anaknya Irene. Gak ... gak mungkin," batinnya, menggelengkan kepalanya samar seraya tersenyum ringan.
William yang sedang mengunyah makanan seketika mengerutkan kening, memandang wajah Alex dengan bingung. "Om kenapa senyum-senyum kayak gitu?" tanyanya dengan polos.
Alex tersenyum lebar. "Nggak ko, Om gak apa-apa. Eu ... ngomong-ngomong, kenapa kalian pulang sekolah sendiri? Emangnya gak dijemput sama Ayah kalian?"
William menundukkan kepala, mulutnya pun berhenti mengunyah, raut wajahnya seketika berubah muram. "Kami gak punya Ayah," jawabnya dengan lemah.
Wilona mendengus kesal. "Kita bukannya gak punya Ayah, Willi, tapi Ayah kita udah meninggal!"
"Emangnya Kakak percaya Ayah udah meninggal? Kalau Ayah udah meninggal, kenapa Ibu gak pernah kasih tau muka Ayah sama kita?"
Dahi Alex mengerut, memandang wajah si kembar secara bergantian. "Tunggu ... kalian gak punya Ayah? Eu ... maksud Om, Ayah kalian udah meninggal, begitu?"
"Belum!"
"Udah!"
Jawab si kembar secara bersamaan membuat Alex semakin merasa bingung.
"Om gak ngerti, maksud kalian gimana?" tanya Alex. "Kata kamu Ayahmu belum meninggal, sementara kata Kakakmu udah meninggal. Ini yang benar yang mana sebenarnya?"
Wilona tersenyum sinis. "Buat apa Om tau segala? Ayah kami udah meninggal atau belum, itu bukan urusan Om ko."
Sementara William tiba-tiba tersenyum lebar. "Kayaknya Om orang baik, Om mau gak jadi Ayah kami?"
"William!" bentak Wilona dengan mata membulat, menoleh dan memandang wajah sang adik dengan kesal. "Mana boleh kamu minta orang sembarangan jadi Ayah kita?"
"Kenapa tidak? Nama aku aja, nama belakangnya Om Alex. Iya 'kan, Om?" William mengalihkan pandangan matanya kepada Alex.
Alex hanya tersenyum hambar seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. Sementara Wilona, memandang wajah Alex dengan sinis.
"Ya, tetap gak boleh. Pokoknya kamu gak boleh minta sembarangan orang buat jadi Ayah kita, titik!"
"Sudah cukup, jangan berdebat," pinta Alex. "Kalau udah selesai makan, Om bakalan anterin kalian pulang. Kasihan, Ibu kalian pasti khawatir."
Ponsel milik Wilona seketika berbunyi singkat sebagai pertanda pesan masuk, anak itu kembali meraih ponsel yang ia letakan di atas meja lalu membaca pesan.
"Gak usah, Om. Ibu bilang, mau jemput kami ke sini," ucapnya dengan datar, lalu kembali meletakan ponsel di atas meja.
"Beneran Ibu kalian mau jemput ke sini?"
Wilona hanya menganggukkan kepala, meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya pelan.
"Hmm ... baiklah, sini biar Om balas pesan Ibumu, Om mau kasih tau tempat ini."
Lagi-lagi, Wilona hanya mengangguk seraya menyerahkan ponsel miliknya kepada Alex. Tanpa berpikir panjang, Alex segera meraih ponsel tersebut dan hendak mengirimkan pesan singkat kepada ibu si kembar. Namun, pria itu seketika terdiam ketika menatap poto profil WhatsApp dengan tulisan nama "Ibu tercinta."
"Tunggu ... ini, 'kan ..." gumamnya, memperbesar poto profil bergambar tiga orang, di mana si kembar nampak mengapit seorang wanita yang sangat ia kenal. "I-Irene?"
Wilona mengerutkan kening, mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Alex William. "Om kenal sama Ibuku?"
Alex memandang wajah si kembar dengan perasaan berkecamuk. "Nama Ibu kalian Irene Larasati, betul?"
Si kembar menganggukkan kepala secara bersamaan, memandang wajah Alex dengan datar.
Dada Alex bergemuruh hebat, perasaanya campur aduk sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, antara rasa terkejut, tidak percaya dan rasa lainnya seolah melebur menjadi satu begitu menyesakkan dada.
"Kalau mereka anaknya Irene, itu artinya mereka--" Alex tidak kuasa meneruskan ucapannya, matanya seketika memerah dan berair.
Bersambung ....
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅