Aditiya Iskandar, seorang Menteri Pertahanan berusia 60 tahun, memiliki satu obsesi rahasia—game MMORPG di HP berjudul CLO. Selama enam bulan terakhir, ia mencuri waktu di sela-sela tugas kenegaraannya untuk bermain, bahkan sampai begadang demi event-item langka.
Namun, saat ia terbangun setelah membeli item di game, ia mendapati dirinya bukan lagi seorang pejabat tinggi, melainkan Nijar Nielson, seorang Bocil 13 tahun yang merupakan NPC pedagang toko kelontong di dunia game yang ia mainkan!
dalam tubuh boci
Bisakah Aditiya menemukan cara untuk kembali ke dunia nyata, atau harus menerima nasibnya sebagai penjual potion selamanya?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiat_Df, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman baru
Nijar menggeretakkan giginya saat merasakan perih di pipinya. Pukulan Reiner bukan main-main, kekuatannya jauh di atas rata-rata. Posturnya yang lebih tinggi dan pengalaman bertarungnya jelas membuat perbedaan besar.
Sementara itu, Jay hanya bisa menatap pertarungan dengan wajah khawatir. “Nijar, kau yakin mau lanjut?! Ini bukan pertarungan biasa!” teriaknya.
Reiner tetap tenang, menatap Nijar yang mulai kelelahan. "Apa cuma segini? Dengan kemampuan seperti ini, kau cuma akan jadi samsak hidup," katanya dengan nada mengejek.
Nijar mengatur napasnya, lalu tersenyum kecil meskipun wajahnya mulai membengkak. "Hah... aku kira kau sudah kehilangan semangat bertarung, tapi ternyata kau masih berapi-api juga, ya," katanya sambil memutar bahunya yang terasa nyeri.
Reiner mendengus, lalu menurunkan sedikit posisi tubuhnya, bersiap menyerang lagi. "Aku hanya tidak suka orang sombong. Kau datang menantangku dengan mulut besar, tapi lihat sekarang? Kau bahkan tidak bisa membalas satu pukulan pun."
Nijar mengangkat kedua tangannya dalam posisi bertahan, tapi dalam hatinya, dia berpikir keras. Ini buruk. Aku tidak menyangka dia sekuat ini. Fisikku memang kuat, tapi aku tidak pernah berlatih dengan serius sejak tiba di dunia ini. Kalau aku terus bertahan seperti ini, aku akan kalah telak.
Sementara itu, Jay terus melihat ke arah keduanya dengan wajah panik. "Hei, hei, Nijar! Kalau kau sudah cukup, lebih baik berhenti sekarang! Aku yakin Reiner tidak akan mengejarmu lagi kalau kau mengaku kalah!"
Tapi Nijar tidak bergerak mundur. Matanya menyipit saat melihat gerakan Reiner.
Baiklah... kalau begitu, aku harus mulai menyerang.
Dengan cepat, Nijar merendahkan tubuhnya, bersiap mencari celah untuk melawan balik.
---
Reiner yang awalnya santai mulai menyipitkan matanya, melihat perubahan sikap Nijar. Gerakan kaki Nijar tidak biasa—ringan, cepat, seperti menari di atas angin.
“Oh?” Reiner menyeringai. “Jadi kau mulai serius sekarang?”
Nijar tidak menjawab, hanya menyesuaikan posisi kuda-kudanya. Matanya penuh ketenangan. Lalu dia berbicara dengan nada yang lebih serius.
“Kalau aku menang, ayo berteman.”
Reiner mendengus. “Itu tidak akan terjadi.”
Dia masih menatap gerakan Nijar dengan penuh percaya diri, tapi beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. Nijar menghindar dengan begitu mulus, membuat setiap pukulan Reiner hanya mengenai udara kosong.
Reiner mencoba menyerang dengan lebih cepat. tapi semuanya nihil. Nijar menghindar dengan langkah-langkah ringan, nyaris seperti menari.
Reiner mengerutkan kening. “Apa-apaan ini…?”
Nijar tersenyum miring. “Kau kelihatan kebingungan, Reiner.”
Reiner tidak menjawab, hanya mengepalkan tinjunya lebih erat.
Lalu, tanpa peringatan, Nijar melontarkan kata-kata yang menusuk.
"Kenapa kau malah lari saat itu?"
Reiner menegang.
"Kenapa kau tidak berusaha menjelaskan kepada ayahmu dan Frey?" lanjut Nijar.
Kali ini, ekspresi Reiner berubah drastis.
"Kenapa kau selalu berlari, Reiner? Apa kau terlalu takut kepada Daniel?"
Reiner mengertakkan giginya. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Tapi itu bohong, dan Nijar tahu itu.
Nijar mempercepat gerakannya. Langkah-langkahnya semakin lincah, membuat Reiner sulit membaca arahnya.
"Jangan pura-pura bodoh. Kau tahu apa yang kumaksud," kata Nijar, suaranya tajam.
Reiner mengayunkan tinjunya lagi—kali ini dengan lebih keras, lebih emosional. Tapi Nijar tetap menghindar.
Dalam hitungan detik, momentum berubah. Nijar melihat celah, dan dengan gesit dia melancarkan serangan balik.
Satu pukulan bersih mengenai perut Reiner, membuatnya tersentak mundur.
Lalu, sebuah hook kanan tepat mengenai pipinya.
Reiner terhuyung. Pandangannya berputar.
Dan akhirnya, dengan satu tendangan lurus ke dada, Reiner jatuh terduduk.
Jay yang sejak tadi menyaksikan dengan mulut menganga langsung berseru, “APA-APAAN INI?! NIJAR MENANG?!”
---
Reiner duduk di tanah, masih terengah-engah, menatap tanah dengan ekspresi sulit di percaya.
"Aku kalah?" pikirnya. "Tidak mungkin… Tapi yang lebih membuatku bingung, kenapa Nijar bisa tahu tentang kejadian itu?"
Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, sebuah tangan terulur di depannya.
Nijar berdiri dengan senyum santai.
"Ayo kita berteman, Reiner."
Reiner mendongak, menatap mata Nijar. Tidak ada ejekan di sana, tidak ada penghinaan, hanya ketulusan.
Dia menghela napas, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah… Tapi dengan satu syarat."
Nijar menaikkan alis. "Apa itu?"
Reiner bangkit berdiri dan menepuk celana seragamnya. "Ajari aku gaya bertarungmu."
Nijar tertawa. "Tentu saja."
Di samping mereka, Jay masih membeku dengan ekspresi tercengang. "H-hah? Kalian sekarang berteman? Cuma gitu doang?!"
Nijar mengabaikan Jay dan malah menepuk bahunya. "Jay, sembuhkan Reiner."
Tapi Reiner segera menolak. "Aku tidak butuh itu. Yang perlu disembuhkan itu Nijar. Lihatlah pipinya, kalau dibiarkan pasti akan jadi pertanyaan nanti di kelas."
Jay langsung melihat ke arah pipi Nijar yang mulai memar. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya, cahaya lembut mulai menyelimuti luka Nijar.
Nijar awalnya ingin menepis tangan Jay dan berkata, "Aku tidak bisa disembuhkan dengan sihir," seperti yang dia yakini sejak datang ke dunia ini.
Tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, rasa hangat menjalar di wajahnya.
Matanya melebar. "Apa-apaan ini…?" pikirnya. "Aku bisa disembuhkan?"
Nijar menyentuh pipinya, dan memang benar—rasa sakitnya hilang, lukanya sembuh seolah tidak pernah ada.
Jay tersenyum puas. "Nah, selesai!"
Nijar masih tercengang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Tapi sebelum dia bisa mencerna semuanya, Jay tiba-tiba merangkul pundak Nijar dan Reiner.
"Ayo kita kembali ke kelas, teman-teman!" katanya riang.
Reiner mendecak kesal dan langsung melepaskan tangan Jay. "Dengar ya, aku berteman dengan Nijar, bukan berarti aku berteman denganmu juga."
Jay melipat tangan di dada. "Hah? Kenapa? Aku kan baik hati!"
Reiner memutar bola matanya. "Kau terlalu banyak bicara."
Jay menunjuk ke arah Reiner. "Dan kau terlalu banyak gaya!"
Reiner mengerutkan dahi. "Apa kau ingin berkelahi denganku sekarang?"
Jay mendengus. "Jangan bercanda. Aku penyembuh, bukan petarung. Tapi kalau kau mau, aku bisa menyembuhkan Nijar lalu menyuruhnya menghajarmu lagi."
Nijar tertawa kecil melihat mereka berdebat. Mereka terus bertengkar ringan sepanjang jalan kembali ke kelas, suara mereka semakin menjauh dari tempat pertarungan tadi.
Dan begitulah cara mereka berteman.