Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Jarak yang Semakin Jauh
...✧*。 🌷happy reading🌷✧*。 ...
Selama beberapa hari terakhir, Eleanor memutuskan untuk menghindari Cedric dan Carolet. Setiap kali dia melihat Cedric dari kejauhan, tanpa berpikir dua kali, dia akan berbalik arah atau mencari alasan untuk pergi.
Bukan karena takut atau marah, tetapi karena dirinya sendiri merasa bingung.
Mimpi itu...
Ucapan Eleanor asli yang meminta bantuannya untuk mendapatkan cinta Cedric terus terngiang di kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa membantu dalam urusan cinta, jika dirinya sendiri bahkan tidak memahami perasaan seperti itu?
Siena—dirinya yang lama—tidak pernah punya waktu untuk merasakan cinta. Hidupnya dulu penuh dengan perjuangan, dan dia hanya tahu bagaimana bertahan, bukan bagaimana menikmati perasaan romantis.
Lalu, sekarang... dia harus membuat Cedric jatuh cinta?
Eleanor mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya.
Namun, semakin dia berusaha mengabaikan itu, semakin pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan.
Bagaimana jika Cedric memang tidak pernah bisa mencintai Eleanor asli? Bagaimana jika memang hatinya tidak bisa digerakkan? Apa yang akan terjadi pada Eleanor yang menangis tersedu-sedu dalam mimpinya?
Dan yang lebih penting lagi—kenapa Eleanor asli tahu siapa dirinya?
---
Hari itu, Eleanor berjalan di koridor istana, membawa beberapa dokumen yang harus diperiksa. Namun, sebelum dia bisa masuk ke ruangannya, suara langkah kaki mendekat dari belakang.
Carolet.
Eleanor berhenti sejenak, lalu dengan cepat berbalik arah menuju lorong lain.
Dia tidak ingin berurusan dengan Carolet sekarang.
Tapi tampaknya takdir berkata lain.
"Ck, kau menghindar lagi, Eleanor?" suara Carolet terdengar sinis dari belakang.
Eleanor menghela napas pelan sebelum berbalik menghadap Carolet.
"Apa yang kau inginkan, Lady Carolet?" tanyanya tanpa ekspresi.
Carolet melipat tangannya, matanya menatap Eleanor dengan penuh ejekan. "Kenapa kau seperti ini? Aku tahu kau pasti sudah mengadu pada Cedric tentang aku."
Eleanor memejamkan matanya sejenak, mencoba mengendalikan rasa lelahnya. "Aku tidak punya waktu untuk mengadu tentangmu, Lady Carolet. Percayalah, kau bukanlah pusat duniaku."
Carolet mendengus. "Kau pikir kau bisa menghindar selamanya? Kau takut, bukan? Karena Cedric akhirnya memarahiku! Kau pasti merasa puas, bukan?"
Eleanor menatapnya dengan dingin. "Lalu, apa yang kau lakukan sekarang? Apakah kau tidak mengerti bahasa manusia? Aku menghindar darimu, Lady Carolet. Bukankah itu cukup jelas bahwa aku tidak ingin berbicara denganmu?"
Carolet terdiam sesaat, lalu tersenyum miring.
"Kau boleh menghindar sesukamu, Eleanor," katanya dengan suara rendah, "tapi jangan lupa, aku masih di sini. Aku tidak akan membiarkanmu memiliki Cedric."
Eleanor mengangkat alisnya, kemudian terkekeh pelan. "Memiliki Cedric? Kau salah paham. Aku tidak tertarik dengan permainan seperti itu."
Dia tidak menunggu jawaban Carolet dan langsung pergi meninggalkannya.
Tapi tepat saat dia berbelok di ujung lorong, matanya bertemu dengan seseorang yang berdiri tak jauh dari sana.
Cedric.
Eleanor menegang sejenak.
Dari tatapan Cedric, jelas dia telah mendengar percakapan mereka. Namun, tidak ada ekspresi marah di wajahnya. Justru, ada sesuatu yang berbeda di matanya.
Sesuatu yang membuat Eleanor ingin segera pergi dari sana.
Tanpa menunggu Cedric berbicara, Eleanor segera melangkah pergi.
Dan untuk pertama kalinya—Cedric membiarkannya pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.
...🌷🌷🌷...
Malam itu sudah larut ketika Eleanor akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Dengan langkah pelan, dia berjalan kembali ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya dipenuhi oleh berbagai hal yang membuatnya ingin segera beristirahat.
Namun, saat dia membuka pintu kamar, sesuatu terasa berbeda.
Lampu kamar yang biasanya menyala kini gelap.
Eleanor mengerutkan keningnya. Biasanya Maria selalu menyalakan lampu sebelum dia kembali. Tapi mungkin Maria lupa.
Dia tidak ingin terlalu memikirkannya. Dengan santai, Eleanor masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya, lalu mulai membuka baju luarnya.
Gaun luar yang berat meluncur turun dari bahunya, menyisakan bahunya yang putih dan halus terlihat dalam pencahayaan temaram yang masuk dari jendela. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, membuatnya merinding sedikit.
Saat dia akan melangkah menuju kamar mandi, tiba-tiba dua tangan menyentuh bahunya.
Dingin.
Sangat dingin dibandingkan dengan kulit hangatnya.
Eleanor terkejut, tubuhnya menegang. Dengan cepat, dia membalikkan badannya untuk melihat siapa yang ada di belakangnya.
Cahaya redup dari jendela menerangi sebagian wajah pria yang berdiri di sana.
Cedric.
Matanya tampak sayu, setengah tertutup, seakan dia sedang berusaha fokus. Wajahnya lebih pucat dari biasanya, dan Eleanor bisa mencium bau alkohol yang menyeruak dari tubuhnya.
“Duke Cedric?” Suara Eleanor terdengar sedikit kaget, tapi tetap tenang.
Cedric tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menundukkan kepalanya sedikit, lalu menyandarkan keningnya ke bahu telanjang Eleanor.
Eleanor membeku.
Dia bisa merasakan napas hangat Cedric di kulitnya, kontras dengan dinginnya tangan pria itu yang masih bertumpu di bahunya.
“Kenapa kau menghindariku?” suara Cedric terdengar serak, penuh dengan emosi yang tertahan.
Eleanor tidak langsung menjawab.
Cedric menghela napas, suara napasnya terdengar berat. “Apakah kau marah padaku?”
Eleanor menelan ludah, bingung harus berkata apa.
Cedric semakin menekan kepalanya ke bahu Eleanor, seolah mencari kenyamanan. “Jangan mengabaikanku, Eleanor…”
Suara itu lirih, nyaris seperti bisikan.
Eleanor terdiam, mencoba memahami situasi ini. Apakah Cedric benar-benar mabuk, atau ada sesuatu yang mengganggunya?
Dan yang lebih penting lagi—kenapa Cedric berkata seolah dia tidak ingin Eleanor menjauh darinya?
Eleanor tetap diam, tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Tubuhnya masih kaku, sementara Cedric terus bersandar padanya, seolah-olah dia takut Eleanor akan menghilang jika dia melepaskannya.
Cedric… pria ini biasanya begitu dingin dan menjaga jarak. Tapi malam ini, dia tampak begitu rapuh.
“Aku tidak mengabaikanmu,” Eleanor akhirnya berbicara, suaranya pelan namun tegas.
Cedric mengangkat kepalanya sedikit, matanya yang sayu menatap Eleanor dengan intensitas yang sulit dibaca. “Lalu kenapa… kau menghindariku?”
Eleanor menelan ludah. Haruskah dia jujur? Haruskah dia mengatakan bahwa dia bingung dengan perasaan Eleanor yang asli? Bahwa dia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap Cedric?
Alih-alih menjawab, Eleanor menghela napas dan mencoba menggerakkan bahunya, memberi isyarat agar Cedric menjauh. “Duke Cedric, Anda mabuk. Anda harus kembali ke kamar Anda.”
Namun, Cedric tidak bergeming. Dia malah mengangkat tangannya, menyentuh wajah Eleanor dengan lembut, ibu jarinya mengusap pipinya dengan gerakan pelan.
Eleanor tersentak.
“Jangan bicara seperti itu…” gumam Cedric. “Bicaralah padaku seperti dulu…”
Seperti dulu?
Jadi… dia sedang berbicara dengan Eleanor yang asli?
Hati Eleanor mencelos.
Dia bisa merasakan kesedihan yang tersirat dalam suara Cedric. Pria ini benar-benar menganggap dirinya sebagai Eleanor yang dulu… seseorang yang benar-benar mencintainya.
Eleanor menundukkan pandangannya. “Aku bukan dia…” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Cedric.
Namun, Cedric mendengar itu. Dia menatap Eleanor dalam diam, lalu tersenyum kecil—senyum yang tampak penuh dengan luka.
“Aku tahu.”
Eleanor membelalakkan matanya.
“Aku tahu kau sudah berubah, Eleanor,” lanjut Cedric dengan suara lembut, tapi ada sesuatu di balik nada suaranya—sesuatu yang terdengar seperti kekecewaan, kelelahan, dan kehilangan. “Tapi tetap saja… aku tidak ingin kau menjauh dariku.”
Eleanor tidak bisa berkata apa-apa.
Untuk pertama kalinya, dia melihat Cedric bukan sebagai seorang Duke yang dingin dan kuat, tetapi sebagai seorang pria yang sedang berjuang dengan perasaannya sendiri.
Perlahan, Cedric melepas sentuhannya dan mundur satu langkah.
“…Maaf.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Eleanor yang masih terpaku di tempatnya, dengan hati yang entah mengapa terasa sedikit berat.
...。*♡🥀 thanks for reading 🥀。*♡...
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor