Kisah perjuangan hidup gadis bernama Cahaya yang terpaksa menjalani segala kepahitan hidup seorang diri, setelah ayah dan kakak tercintanya meninggal. Dia juga ditinggalkan begitu saja oleh wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini.
Dia berjuang sendirian melawan rasa sakit, trauma, depresi dan luka yang diberikan oleh orang orang yang di anggapnya bisa menjaganya dan menyayanginya. Namun, apalah daya nasibnya begitu malang. Dia disiksa, dihina dan dibuang begitu saja seperti sampah tak berguna.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Akankah Cahaya menemukan kebahagiaan pada akhirnya, ataukah dia akan terus menjalani kehidupannya yang penuh dengan kepahitan dan kesakitan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 Calon kakak ipar
Tok tok!
Kania mengetuk pintu kontrakan Aya, tapi tidak ada yang merespon.
"Benarkan ini nomor 204..." memastikan angka yang tertera di bagian atas pintu itu.
Tok tok!
Ketukan kedua didengar oleh Kai.
"Ay, aku lihat siapa yang datang dulu ya."
"Hmm."
Kai tersenyum, mengelus lembut kepala Aya sebelum akhirnya dia bergegas melihat siapa yang mengetuk pintu barusan.
Krek...
Kai membuka pintu dan mendapati Kania berdiri disana memegang berkas dan laptop yang dia minta Anita mengantarkannya.
"Taraaa...!" seru Kania yang membuat Kai kaget.
"Dek, kamu kasih Anita apa sampai dia memberitahu kamu alamat ini?"
Kania tidak menjawab, dia hanya mengangkat kedua bahunya sambil melangkah masuk.
"Mana dia, mas?" celingukan mencoba menemukan keberadaan Aya.
"Gak ada photo sama sekali di sini. Dindingnya sepi amat." celotehnya melihat lihat keadaan rumah.
"Dia gak suka memajang photo."
"Kenapa?"
"Tanya sendiri sama orangnya."
Kai melangkah mendekati pintu kamar lalu membukanya. Kania pun melangkah mendekat, mendongak masuk ke kamar.
Matanya bertemu dengan mata sendu Aya yang tampak kaget dengan kehadiran Kania.
"Hai!" sapa Kania dengan melambaikan tangannya pada Aya yang dibalasnya pelan.
Kai masuk lebih dulu, duduk di pinggir ranjang dekat kaki Aya.
"Ini Kania, adikku. Anak kedua." tutur Kai mengenalkan Kania pada Cahaya.
"Dek, ini Cahaya."
"Halo. Senang mengenal kamu." sapa Kania yang direspon dengan senyuman ragu saja oleh Aya.
"Cantik ya. Wajar sih mas tergila gila." Bisik Kania yang juga didengar oleh Aya.
"Udah sana kamu kembali ke kantor." usir Kai.
"Bentar dulu ngapa mas. Aku mau ngobrol dulu sama calon kakak iparku." protesnya yang malah duduk di pinggir ranjang di dekat kepala Aya.
"Sudah tidak panas. Tapi kamu pasti masih merasa tidak enak, kan?" Kania menyentuh dahi Aya dan Aya mengangguk pelan.
"Cepat sembuh ya. Kalau kamu sakit, mas Kai akan sangat khawatir."
"Kania!"
"Apa? Aku mengatakan kebenaran kok."
"Iya. Yaudah sana balik kantor lagi."
"Iya ah bawel." Kania kesal.
"Kak Cahaya. Aku pamit dulu ya. Semoga cepat sembuh."
"Terimakasih..." jawab Aya ragu.
Kania pun pergi, diantar Kai sampai ke mobilnya. Kemudian baru Kai kembali ke rumah dan rupanya Aya sudah kembali tertidur.
"Istirahat yang cukup ya, Ay."
Kai menuju ruang tengah untuk mulai bekerja. Dia sengaja membiarkan pintu kamar Aya terbuka lebar, agar dia bisa melihat keadaan Aya yang mungkin bisa saja mengalami mimpi buruk lagi.
Kai bekerja, fokus. Meski begitu, sesekali dia melirik kearah kamar Aya untuk memastikan bahwa Aya baik baik saja.
Satu jam...
Dua jam...
Hingga tak terasa sudah enam jam berlalu. Kai menghentikan pekerjaannya karena sudah merasa lapar. Dia memesan makan siang.
Sambil menunggu makan siang tiba, Kai kembali mendekati Aya. Mengusap kepalanya dan menyentuh pipinya.
"Ay, bangun dulu. Sudah waktunya makan siang." bisiknya dengan suara yang sangat pelan.
"Aya, sayang. Bangun yuk, makan siang."
Kai kecanduan memanggil Aya dengan kata sayang. Sekarang sih Aya oke oke aja, karena Aya tidak punya banyak tenaga yang tersisa untuk berdebat dengan Kai.
Aya membuka matanya, "Aku mau mandi dulu, boleh?"
"Boleh."
Kai membantunya dengan sangat hati hati menuju kamar mandi. Kai juga membantu membawakan handuk untuknya.
Akhirnya makanan datang berbarengan dengan Aya yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian.
"Ay, kita makan siang dulu ya. Aku membelikan ayam penyet kesukaan kamu."
Aya mendekat, dia duduk di lantai karena meja yang rendah. Kai ikut duduk di bawah juga pada akhirnya.
"Nih ayam penyet sambal ijo kesukaan kamu."
"Mas Kai tahu dari mana aku suka ayam penyet?"
"Dari Mentari."
Mendengar itu membuat Aya memasang wajah kesal. Dia kesal karena Mentari terlalu ikut campur urusannya.
"Kamu menyuap Mentari?!"
"Tentu tidak, Ay. Aku hanya bertanya dan Mentari menjawab dengan baik."
Aya mulai makan, Kai juga ikut makan. Setelah selesai makan Aya langsung minum obatnya. Sementara Kai di dapur, mencuci sendok dan gelas bekas mereka makan tadi.
"Kenapa mas Kai seperti ini. Aku tidak akan merubah jawabanku." bisiknya dalam hati sambil memandangi punggung Kai.
Mata Aya mulai berat, dia mengantuk akibat pengaruh obat yang baru saja di minumnya. Dia pun hendak melangkah masuk ke kamar, tapi entah mengapa tubuhnya terasa sangat lemah hingga dia sempoyongan.
Kai yang melihat itu segera berlari mendekati Aya, merangkul pinggang Aya untuk membantunya berjalan menuju kamar.
"Aku bisa sendiri!" berontak Aya.
"Jangan keras kepala, Ay. Aku hanya membantu."
"Aku tidak butuh bantuan..."
"Tapi aku mau membantu kamu, Ay." tegas Kai yang malah beralih menggendong Aya.
"Turunin aku!" protesnya.
Kai tidak peduli, dia membawa Aya ke kamar, membaringkannya di tempat tidur dan menyelimutinya.
"Lagi demam aja kamu tetap jahat sama aku. Padahal aku hanya ingin merawat kamu loh, Ay."
"Aku gak minta dirawat sama kamu."
"Aku tahu. Tapi, aku ingin merawat orang yang aku suka."
Aya kesal, dia ingin memaki tapi terlalu lemah, tidak cukup tenaga untuk berdebat.
"Terserah." ucapnya sebelum akhirnya dia memiringkan tubuhnya membelakangi Kai, lalu memejamkan matanya erat.
Kai tersenyum menatap punggung itu, memperbaiki selimut, lalu mengelus lembut bagian belakang kepala Aya sebelum akhirnya dia kembali ke ruang tengah untuk lanjut bekerja.
Belum dua jam Kai berkutat dengan pekerjaannya, dia mendengar rengekan Aya yang mengalami mimpi buruk lagi. Segera saja Kai masuk ke kamar, memeluk Aya, mencoba menenangkannya.
Begitu Aya tampak sudah tenang, Kai pun kembali ke ruang tengah dan membawa laptop juga berkas penting masuk ke dalam kamar. Kai bekerja tepat disamping Aya.
Beberapa jam telah berlalu, Kai kecapean dan tanpa sadar dia tertidur dengan punggungnya bersandar pada kepala ranjang yang dia lapisi bantal.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Aya masih tertidur lelap. Tapi beberapa menit kemudian, Aya kembali mengalami mimpi buruk. Dia sangat ketakutan, tapi saat terbangun matanya melihat Kai berada disampingnya bahkan sambil menggenggam tangannya erat.
"Kenapa kamu masih disini mas Kai. Aku takut, aku takut tidak bisa menahan diriku. Aku bukan orang baik, bagaimana kalau nanti mas Kai malah bosan sama aku, lalu membuangku seperti yang pernah aku alami sebelumnya. Aku takut..." gumam Aya dalam hatinya sambil menatap wajah lelap Kai yang tampak lelah dan kurang nyaman dengan posisi tidurnya.
Perlahan tangan Aya menyentuh wajah lelap Kai. Sentuhan itu sepertinya mengganggu Kai, terlihat dari dia yang menggerakkan wajahnya dan membuka matanya. Tapi sebelum Kai membuka matanya, Aya kembali pura pura tidur.
Huh!
Kai membereskan laptop, lalu matanya menatap jarum jam yang menunjukkan pukul delapan malam.
"Sudah malam ternyata."
Sebentar dia melakukan peregangan otot dalam posisi duduk. Barulah dia memeriksa suhu tubuh Aya yang sudah kembali normal dan itu membuatnya merasa lega.
"Tidur yang nyenyak ya, Ay. Aku mandi dulu." mencium kening Aya sebelum pergi ke kamar mandi.
Semangat kakak Author, ditunggu kelanjutannya 💪
Author berhasil membuatku menangis 👍
Semangat kakak Author 💪