Menjadi yang ke-dua bukanlah keinginan juga pilihan yang terbaik bagi Lea. Apalagi harus berada dalam lingkaran poligami. Baginya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan sakral.
Namun, karena sang calon imam tak kunjung datang saat akan ijab qobul, Bagas dengan sukarela menjadi pengganti. Lea mengira Bagas tulus menikahinya. Akan tetapi, ia salah karena Bagas hanya ingin menggunakan rahimnya untuk menjadi ibu pengganti dari benihnya dan Melissa.
Bak sedang bermain api, Bagas justru terjebak dengan perasaannya pada Lea. Sebaliknya Lea yang memang tak mencintai Bagas, sikapnya selalu dingin pada sang suami.
Belum lagi karena Bagas tak bisa menerima kehadiran baby Sava, anak yang diadopsi Lea sebelum ia mengandung benih dari Bagas dan Melissa.
Pertengkaran pun sulit terhindarkan diantara mereka, karena Lea dan Bagas tak sepemikiran. Belum lagi kehadiran Wira yang semakin membuat Bagas naik pitam.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka selanjutnya? Ayo kepoin guys.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. PYTD
Menjelang siang, sebelum berangkat ke rumah sakit, Lea menyempatkan waktu menghubungi mama Yola sekaligus ingin melihat wajah sang putri.
Kerinduannya seketika terbayar ketika wajah bayi berlesung pipi itu terlihat di layar ponsel. Terharu bercampur bahagia itulah yang dirasakan Lea.
Setelah puas mengajak sang putri berceloteh barulah ia memutuskan panggilan VC. Lea kemudian tertawa merasa lucu, meski baby Sava belum mengerti saat diajak mengobrol, gadis berhijab itu tetap antusias.
“Sehat sehat selalu kesayangan bunda, Sava dan kamu yang masih berada di dalam kandungan,” ucap Lea mendoakan kedua anaknya meski tak memiliki hubungan darah.
Ia kemudian menghampiri meja makan. Mengambil tas bekal khusus yang akan dibawa ke rumah sakit.
“Semoga Mas Bagas dan Mbak Melissa suka dengan makanannya,” gumam Lea.
.
.
.
Di kamar rawat, Melissa memandang penuh selidik pada Bagas. Menyipitkan mata sekaligus merasa cemburu karena membayangkan pertemuan Lea dan sang suami semalam.
Raut wajah Bagas juga berubah menjadi jauh lebih ceria setelah Lea menjenguknya semalam.
“Sayang, bagaimana Lea tahu kamu dirawat di rumah sakit ini?!” tanya Melissa dengan ketus.
“Memangnya kenapa jika Lea tahu aku di rawat di sini? Toh, dia juga istriku dan berhak tahu kondisiku bagaimana? Setidaknya kalian bisa bagi tugas merawatku,” jawab Bagas dengan hela nafas.
“Aku nggak suka saja! Lagian gara-gara dia, kamu menjadi seperti ini! Pokoknya aku nggak mau tahu, setelah dia melahirkan, kamu harus menceraikan dia!” tegas Melissa.
Bagas tersenyum disertai gelengan kepala. “Menceraikannya? Nggak semudah itu Melissa. Sudahlah, ngapain juga kamu membahas hal itu. Yang jelas semua keputusan ada di tanganku.”
Mendengar jawaban ambigu dari sang suami, Melissa mengetatkan rahang. Dari ucapan itu, ia sudah bisa menyimpulkan jika Bagas tak ada niatan untuk berpisah dari Lea.
Melissa tersenyum sinis sembari membatin kesal, ‘Aku akan membuatmu membenci wanita nggak tahu diri itu!’
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu seketika membuat Bagas dan Melissa mengarahkan pandangan ke sumber suara. Melissa langsung memutar bola matanya malas saat tahu orang di balik pintu.
“Wah, ada Nyonya Bagas rupanya,” ledek Herman sembari tertawa. Ia kemudian menghampiri lalu memberikan parcel buah yang dibawanya kepada Melissa.
“Makasih, ngapain repot-repot membawa buah!” ucap Melissa ketus.
Herman menggedikkan bahu kemudian mendekati Bagas. “Maaf, aku baru tahu kamu mengalami kecelakaan dan dirawat di sini.”
“Nggak apa-apa Her, makasih sudah mau menyempatkan waktu menjengukku,” ucap Bagas dengan seulas senyum.
“Nggak penting juga meski dia nggak datang menjengukmu!” timpal Melissa dengan ketus.
Herman melirik Melissa lalu tergelak. “Penting dong, Mel. Soalnya Bagas adalah sumber dana dalam bisnisku.”
Melissa kembali memutar bola matanya malas. Entah mengapa ia sangat tak suka pada Herman yang memiliki sikap tengil.
Seolah tak peduli dengan ekspresi wajah kesal Melissa, Herman dan Bagas melanjutkan obrolan santai mereka.
Sementara itu, di area parkir rumah sakit, Lea baru saja tiba. Sebelum turun dari mobil, ia mengusap perutnya karena tiba-tiba merasa mual.
“Kok jadi mual, sih?” gumam Lea sembari mengatur nafas. Setelah merasa agak enakan, ia mengambil tas bekal di kursi satunya. “Bismillah.”
Saat akan melanjutkan langkah, ekor matanya tak sengaja tertuju ke arah Wira. Pria yang tampak rapi dengan balutan jas dokter, terlihat sedang berbicara dengan temannya.
Meski ingin menyapa, akan tetapi Lea mengurungkan niat karena merasa tak sopan. Ia pun memilih melanjutkan langkah.
Namun, tak lama berselang suara Wira malah membuatnya berhenti sejenak. Lea memutar badan sembari menunggu pria itu.
“Mas Wira,” sebut Lea dengan seulas senyum begitu Wira berhenti dihadapannya. “Ah, Pak dokter, maksudku. Aku baru tahu jika kamu ...”
Belum sempat Lea menyelesaikan kalimatnya, Wira langsung menyela, “Dokter di rumah sakit ini.”
“Masha Allah, Mas, aku nggak menyangka, pria sederhana serta baik hati yang membantuku waktu itu, ternyata seorang dokter,” puji Lea. “Sukses selalu untukmu Mas Wira, mudah-mudahan jodohnya juga dengan gadis berhati mulia sepertimu.”
“Jangan terlalu berlebihan memujiku, Lea. Aku bisa melayang, bagaimana jika nggak bisa turun? Kamu harus tanggung jawab,” kelakar Wira lalu tertawa. “Makasih doanya, Lea. Oh ya, sepertinya kamu ingin menjenguk seseorang, ya?”
“Iya, Mas ... suamiku,” sahut Lea.
“Jika nggak keberatan, apa boleh aku mengenalnya?” izin Wira pura-pura tak tahu sekaligus ingin tahu ekspresi wajah Bagas
“Ya, tentu saja boleh, Mas. Kebetulan aku membawa makan siang, jadi kalian bisa makan bareng,” balas Lea.
Senyum penuh arti seketika terlukis di wajah Wira. Sambil mengayunkan langkah, sesekali pula ia melirik Lea.
Sesaat setelah keduanya berada di lantai tiga, tepatnya di depan kamar rawat Bagas, Lea mengetuk pintu kemudian membuka benda itu.
“Assalamualaikum ... Mas, Mbak Mel ... ah, ada tamu rupanya,” ucap Lea ketika tatapannya tertuju ke arah Herman.
Kehadiran Lea dan Wira sontak membuat, Bagas, Melissa juga Herman terpaku. Dan, benar saja, raut wajah Bagas seketika berubah kesal saat memandang pria yang sedang berdiri di samping sang istri.
Pun begitu dengan Melissa yang tak suka dengan kehadiran Lea. Sedangkan Herman tampak bengong mendapati situasi saat ini.
“Bagas, siapa gadis itu?” bisik Herman penasaran. Namun, Bagas tak menjawab.
“Mas, Mbak Mel, aku membawa makan siang,” kata Lea lalu tersenyum. “Mas, ini dokter Wira, orang yang sudah membantuku saat di BNL waktu itu.
Wira tersenyum tipis seraya menghampiri Bagas. Ia kemudian mengulurkan tangan dan disambut dengan terpaksa oleh sang kakak.
“Bagas, SUAMINYA Lea!” tegas Bagas menekankan kata suami.
Mendengar Bagas menyatakan ia adalah suami dari Lea, Wira terlihat santai bahkan menyunggingkan senyum. Sedangkan Herman sangat terkejut dan Melissa merasa emosi sekaligus ingin marah.
Suasana di ruangan itu seketika menjadi tegang. Akan tetapi, Lea segera mengatasinya dengan menawari mereka makan.
“Ah, aku hampir lupa, mumpung makanan ini masih anget, ada baiknya jika kalian makan bersama. Aku membawa Coto Makassar. Berhubung Mas Bagas lagi sakit, jadi aku kepikiran membuat masakan yang agak berkuah, semoga kalian suka,” tawar Lea.
Tatapan tajam serta tak suka Melissa pada Lea seolah tak dihiraukan oleh bunda Sava. Meski ia tahu madunya itu sedang marah, sang pramugari tetap bersikap santai.
Setelah menata makanan khas suku bugis Makassar itu, Lea kemudian menawari mereka untuk mencicipinya.
“Wah, aromanya seketika membuatku lapar,” celetuk Herman sekaligus memecah keheningan. “Kelihatannya enak.” Tanpa rasa malu pria itu langsung duduk di samping Melissa.
“Ck!” Melissa menjadi kesal. Ia mengambil piring lalu mengisinya. Setelah itu, ia menghampiri Bagas untuk menyuapi suaminya.
“Pak dokter, ayo bergabung. Ini enak banget loh.” Dengan tidak tahu malu, Herman malah menambah makanannya.
Wira tertawa merasa lucu melihat Herman begitu lahap mencicipi coto Makassar buatan Lea. Sedetik kemudian, ia ikut menyantap masakan berkuah itu.
“Lea, kamu nggak makan?” tanya Bagas.
“Sudah tadi di rumah, Mas,” sahut Lea dengan seulas senyum. Meski ingin melayani suaminya, akan tetapi ia memilih mengalah pada Melissa.
“Oh ya, aku tinggal sebentar, ya. Aku ingin membeli sesuatu,” izin Lea kemudian menghampiri pintu.
Sesaat setelah berada di luar ruangan, ia memijat kening merasa pusing disertai mual.
...----------------...