Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 18 Siapa Dia?
Edwin memperdalam ciumannya, menggit kecil bibir Andini membuat gadis itu membuka mulutnya, menelusupkan lidahnya masuk kemulut Andini, mellumat, dan menyesapnya.
Andini mendorong dada Edwin meminta pria itu melepaskan ciumannya tapi Edwin tak melepasnya dia terus mencium dengan satu tangannya menyusup masuk kedalam baju yang Andini kenakan, mengusap setiap kulit yang tersentuh oleh tangannya, meremas gunung kembar lalu melepaskan pengait bra disana.
Bra sudah terlepas dari pengaitnya namun kemeja yang Andini kenakan masih melekat ditubuh gadis itu. Edwin melepas ciumannya, dia membuka kancing kemeja Andini.
"Apa yang anda lakukan, Pak?" tanya Andini.
"Tenang saja, An, saya tidak akan mengingkari janji saya," kata Edwin yang sudah berhasil membuka seluruh kancing kemeja Andini dan melepaskan kemeja serta bra yang gadis itu kenakan. Andini ingin menolak tapi dia tak kuasa melakukannya mengingat dirinya sudah terikat dengan perjanjian menjadi simpanan pria itu.
Tubuh atas Andini kini sudah polos terpampang jelas dihadapan Edwin. Andini hanya bisa pasrah saat Edwin membenamkan wajah diceruk lehernya menyusuri leher jenjang Andini menggunakan lidah dan mulutnya, mencumbu mesra disana membuat Andini merasakan sensasi aneh yang belum pernah dia rasakan. Andini menggigit bibirnya menahan desahanan agar tidak keluar dari mulutnya.
Edwin beralih menyusuri bagian dada Andini, mencium dan mengulum puncak gunung kembarnya dengan tangan meremas dan melintir puncak gunung satunya. Desahan berhasil lolos dari mulut Andini membuat Edwin ingin melakukan lebih dari itu.
Edwin menghentikan aksinya lalu menatap wajah Andini yang nampak memerah. Keningnya ia satukan dengan kening Andini, nafas keduanya tersengal lalu Edwin mencium sekilas.
"Puaskan saya, An," pinta Edwin dengan suara berat menahan sesuatu yang harus segera dikeluarkan.
Edwin meraih tangan Andini lalu mengarahkan menyentuh sesuatu yang sudah tegang dibalik celananya. Andini terkejut dia langsung menarik tangannya dan mendorong kuat tubuh Edwin tapi tak berhasil.
"Kita tidak boleh melakukannya, Pak," kata Andini.
"Kenapa?"
"Anda sudah berjanji tidak akan meminta kesucian saya."
Edwin tersenyum, lalu mencium Andini sebentar dan melepasnya.
"Kamu bisa puaskan saya tanpa ada penyatuan," katanya.
"Maksudnya, Pak?"
"Kamu bisa gunakan tangan dan mulutmu," kata Edwin membuat Andini terbelalak.
"Saya tidak bisa, Pak," kata Andini.
"Tenang saja saya akan mengajari kamu."
"Tapi, Pak_"
"An, kamu tahu kan saya berselingkuh dengan kamu itu karena diabaikan istri saya. Apa sekarang kamu juga mau mengabaikan permintaan saya?"
Andini susah payah meneguk salivanya. Dia bingung harus menjawab dan melakukan apa.
Apa dia harus menuruti permintaan Edwin untuk memuaskan pria itu?
Drrtt.. Drrtt..
Ponsel Edwin kembali bergetar memecahkan konsentrasi Edwin yang sedang menantikan keputusan Andini.
Edwin bangkit dari atas tubuh Andini lalu duduk diranjang bersisian dengan Andini yang masih berbaring. Andini menarik bra dan kemeja yang dilepaskan Edwin lalu mengenakannya lagi.
'Si Cantik Istriku'
Ternyata Mona yang menghubungi Edwin dan Andini juga melihatnya. Edwin melirik Andini yang sedang mengenakan kembali bajunya lalu menjawab panggilan telepon dari Mona.
"Astaga, Mas, kemana saja sih dari tadi aku menelponmu?" omel Mona setelah Edwin menjawab panggilan teleponnya.
Edwin mengaktifkan pengeras suara agar Andini mendengar apa yang dirinya dan Mona bicarakan.
"Aku tadi sibuk. Ada apa?" tanya Edwin.
"Galeri aku yang baru dibuka di Medan sedang ada masalah, Mas, ada orang yang mengakui sebagai pemilik lukisan yang aku buat."
"Lalu?"
"Aku akan ke Medan lagi untuk menyelesaikan masalah ini," kata Mona membuat Edwin tersenyum kecut.
Andini menatap Edwin kasihan. Dia mendengar apa yang dikatakan Mona barusan, ternyata istri Edwin itu benar-benar mengabaikan suaminya.
"Mas, kamu masih disana kan?" tanya Mona karena tak mendengar suara Edwin.
"Ya, aku masih disini. Berapa hari?" tanya Edwin kemudian.
"Aku usahakan kurang dari seminggu masalah ini sudah selesai dan aku bisa segera kembali."
"Kapan berangkat?"
"Sekarang, Mas, aku sudah dibandara sebentar lagi pesawat take of."
"Ya sudah hati-hati."
"Iya, Mas."
Panggilan telepon berakhir. Edwin menatap Andini yang juga tengah menatapnya.
"Kamu dengar sendiri kan, An, istri saya lebih mementingkan galerinya ketimbang saya suaminya."
"Sejak kapan seperti itu?"
"Sejak kami menikah, kurang 4 bulan lagi 10 tahun."
"Itu bukan waktu yang sebentar, Pak, kenapa anda masih bertahan? Bila karena anda mencintainya berarti anda tidak pintar."
Edwin terkekeh mendengar perkataan Andini.
"Bila saya tidak pintar berarti saya bodoh?" tanya Edwin.
"Anda sendiri yang bilang ya, Pak," kata Andini membuat Edwin tertawa.
"Bukannya kamu yang mengatakan saya tidak pintar? Berarti secara halus kamu mengatai saya bodoh, Andini."
"Anggap saja begitu," kata Andini.
Edwin tersenyum. Dia lalu menyandarkan punggungnya dikepala ranjang, menarik Andini untuk mendekat padanya dan memeluk tubuh gadis itu.
"Kamu tahu An, saya mencintai istri saya itu sejak lama, tidak mudah bagi saya untuk mendapatkannya. Sayangnya saya tidak bahagia meski sudah memilikinya."
"Kalau begitu lepaskan saja dan carilah pengganti yang bisa membuat anda bahagia."
Edwin mengangguk. "Saya sedang melakukannya."
Andini melepas tangan Edwin yang memeluknya lalu menatap pria itu.
"Dengan siapa?"
"Dengan seseorang yang selalu membuat saya berdesir saat bersamanya," kata Edwin.
"Siapa dia?"
"Kamu akan tahu nanti." Edwin mengacak-acak rambut Andini lalu turun dari ranjang.
...****************...
"An, apa kamu akan tinggal diapartement?" tanya Bima yang baru saja menelpon Andini.
"Iya, Kak, mulai hari ini aku akan tinggal di apartemen."
"Apa Pak Tua itu juga tinggal bersamamu?"
Andini menoleh pada Edwin yang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka sedang duduk bersama sembari menonton televisi dengan tangan Edwin yang mendekap tubuh Andini.
Edwin berdecak sebal bisa-bisanya Bima mengatainya 'Pak Tua' padahal dia tidak tua-tua sekali, meski usianya dengan Andini terpaut 15 tahun tapi wajahnya terlihat 7 tahun lebih muda itu juga kata Andini.
Edwin mengambil alih ponsel Andini lalu berbicara dengan Bima.
"Siapa yang kamu katai Pak Tua?"
Bima yang ada di seberang telepon terkejut mendengar suara Andini berubah menjadi suara pria. Tapi rasa terkejutnya hanya sebentar karena dia mengenali suara Edwin yang berbicara.
"Andalah siapa lagi," cibir Bima.
"Saya tidak tua-tua sekali, Bima, saya masih pantas bersanding dengan adik kamu."
"Ck! Tidak ingat umur anda bicara seperti itu. Mana Andini, berikan ponselnya padanya," titah Bima.
Edwin semakin berdecak sebal setelah mengatainya pak tua sekarang dia menyuruh-nyuruhnya.
Sementara Andini dia menahan tawa melihat wajah sebal Edwin saat berbicara dengan kakaknya. Tanpa mengatakan apa-apa Edwin menyerahkan ponsel Andini pada pemiliknya.
"Iya Kak," ucap Andini.
"Kakak cuma mau memberi pesan jangan mau kalau Pak Tua ngapa-ngapain kamu," kata Bima membuat Andini terdiam bingung mau menjawab apa karena Edwin sudah menjamah tubuhnya.