Medeline Arcela Forza, dijual oleh Kakak tirinya di sebuah tempat judi. Karena hal itu pula, semesta kembali mempertemukannya dengan Javier Antonie Gladwin.
Javier langsung mengenali Elin saat pertemuan mereka yang tak disengaja, tapi Elin tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal Javier sebelumnya.
Hidup Elin berubah, termasuk perasaannya pada Javier yang telah membebaskannya dari tempat perjudian.
Elin sadar bahwa lambat laun dia mulai menyukai Javier, tapi Javier tidak mau perasaan Elin berlarut-larut kepadanya meski kebersamaan mereka adalah suatu hal yang sengaja diciptakan oleh Javier, karena bagi Javier, Elin hanya sebatas teman tidurnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Trauma (Javier POV)
Beberapa saat setelah kepergian Elin, aku memilih untuk mengganti bajuku di kamar. Aku pikir Elin akan ada di ruangan itu juga, sayangnya dia tak disana.
Kemana dia? Tapi, apa peduliku. Elin tidak akan keluar dari Apartmen tanpa persetujuanku, jadi kesimpulannya Elin pasti masih berada dalam lingkup tempat tinggalku ini.
Setelah mengganti setelan kerja dengan sleeveless dan celana pendek, aku naik ke lantai atas untuk melakukan gym singkat di ruangan khusus olahraga. Paling tidak, hari Mingguku tidak akan berakhir membosankan jika aku melewatinya dengan berolahraga.
Akan tetapi, begitu kakiku tiba di anak tangga teratas, aku berpapasan dengan Elin yang terlihat hendak turun. Rupanya, sejak aku menegurnya tadi, dia pergi ke lantai atas, mungkin dia sempat merenung disana. Entahlah, aku berusaha untuk tidak memikirkannya, meski sebenarnya rasa bersalah karena telah menegurnya dengan keras beberapa saat lalu--masih bergelayut dihatiku.
"Elin ..." Entah kenapa aku menegurnya, padahal niatku mau mengabaikannya dan bersikap cuek seperti biasanya. Tapi, bisa-bisanya bibirku tidak sinkron dengan isi kepalaku hingga akhirnya mengeluarkan suara untuk menyapa gadis itu.
Elin hanya merespon ku dengan tatapan yang dingin, kemudian dia berlalu melewati tubuhku yang mendadak kaku karena melihat gelagatnya yang acuh tak acuh.
Kenapa aku merasa dia sedang marah padaku?
Aku menggeleng samar demi mengusir rasa tak enak karena keadaan ini. Biarlah, mungkin rasa kecewa Elin belum pulih karena penolakan ku tadi.
Aku pun memasuki ruang gym dan mulai menaiki treadmill sembari mengatur kecepatannya, aku berusaha untuk tidak menggubris sikap dingin Elin, pasti nanti dia akan membaik dengan sendirinya, pikirku.
...****...
Aku mengelap peluh yang muncul dan membasahi pelipis hingga ke leherku karena kegiatan olahraga beberapa saat lalu. Secara impulsif pula, aku juga meraih ponsel pintar disisi kiriku dan melihat ada beberapa pesan yang masuk kesana.
Aku tau ada banyak yang mengirimkan chat terkait pekerjaan dan hal penting lainnya yang berhubungan dengan uang, tapi atensiku justru teralihkan hanya karena satu pesan terbaru yang terletak di kolom paling atas dalam layar ponselku. Itu adalah pesan dari Elin.
Mau apa dia mengirimiku pesan? Bukankah dia bisa mengatakannya secara langsung?
Akupun mengabaikan pesan lainnya yang masuk nyaris bersamaan, karena aku justru memilih untuk membuka chat Elin lebih dulu.
[Aku bosan. Aku keluar sebentar. Ke Supermarket didepan.]
Aku belum membalas dan menyetujuinya, jadi ku pikir Elin tak akan nekat pergi ke luar Apartmen tanpa persetujuanku, lagipula Jack tidak ada disini untuk mengawasinya, karena beberapa saat lalu asistenku itu ku minta untuk ke Mansion orangtuaku demi mengirimkan beberapa file yang diminta pak tua alias Ayahku.
Dengan terburu-buru, aku segera turun ke lantai bawah untuk melihat Elin yang mungkin sedang menunggu izinku.
Akan tetapi, perkiraanku salah. Elin tak ada disana. Apa dia sudah pergi meski aku belum membalas pesan untuk menyetujui permintaannya??
"Elin?!" panggilku.
Aku memasuki kamar demi mencarinya. Lantas aku keluar karena tak menemukannya di ruangan tersebut. Aku pun menuju dapur dan gadis itu tetap tak ada. Jadi benar dia sudah pergi tanpa persetujuanku?
"Elin? Kau sudah pergi?" Padahal aku tau pertanyaanku itu takkan ada yang menjawab tapi entah kenapa aku tetap menanyakannya. Kenapa aku mendadak seperti orang bodoh?
Aku menarik nafas panjang dan mencoba tenang demi menunggu kepulangan Elin.
Lima belas menit berlalu, tidak ada tanda-tanda gadis itu akan kembali.
Aku mengetuk jemari dipinggiran sofa demi menghitung waktu kepergiannya. Dia terlalu lama dan ini cukup membuatku gelisah sekarang.
Dalam pemikiranku, aku takut Elin bertemu dengan Liam kemudian pria itu kembali menjual Elin ditempat yang tidak bisa ku ketahui atau Elin kabur setelah tadi ku tolak perasaannya.
Tidak, itu tidak boleh terjadi. Aku masih membutuhkan Elin demi kenyamanan tidurku. Aku membutuhkannya untuk terlepas dari traumaku dimasa lalu.
Aku khawatir, entah mengkhawatirkan keadaan Elin karena aku masih membutuhkannya atau karena yang aku mulai peduli padanya. Entahlah, aku tidak bisa membedakannya. Aku tidak tau apa arti kegelisahanku sekarang.
Aku bangkit dari duduk, lantas berderap menuju pintu karena aku tidak sabar menunggu kepulangan Elin. Gadis itu sudah kehabisan waktu dan membuatku menunggu padahal aku tidak biasa melakukan hal seperti ini. Dia melewati batas karena telah pergi tanpa persetujuan dariku. Aku akan mencari dan menjemputnya, kalau perlu menyeretnya pulang.
Tepat saat pintu ku buka dari dalam, bersamaan dengan itu wajah Elin yang terkejut juga muncul dihadapanku. Tampaknya ia kaget karena pintu sudah terbuka dari dalam sebelum dia membukanya lebih dulu.
"Darimana saja kau?" tanyaku kalap.
"A-aku dari supermarket, Kak," jawabnya gugup, kepalanya tertunduk tampak merasa bersalah.
"Kenapa kau pergi tanpa izin dariku?" Aku tidak bisa mengontrol nada suaraku yang entah kenapa jadi meninggi.
"Ma--af, Kak. Tadi ... aku su-sudah mengirimi pesan ke ... ke ponsel kakak." Suara Elin seperti tergugu.
"Bukan berarti kau berhak pergi begitu saja, Elin!" hardikku. "Aku belum mengizinkan dan kau sudah pergi begitu saja. Kau tau aku sangat takut jika kau tidak kembali!" lanjutku kesal.
Elin makin menundukkan kepala dan aku menariknya masuk ke dalam apartmen.
"Dengar, jangan coba-coba untuk pergi tanpa persetujuanku lagi, kau mengerti!"
Elin tak menjawab dengan kata, hanya anggukan kepalanya yang menjadi respon sebagai jawaban atas pertanyaanku.
Samar-samar aku mendengar suara isakan dan aku menghela nafas panjang saat menyadari jika gadis itu menangis karena teriakanku. Ya, aku berteriak padanya karena lepas kendali. Lagi-lagi aku merasa bersalah pada gadis ini. Mendadak aku merasa sangat jahat padanya.
"Maaf, maafkan aku." Aku memegang kedua pundak Elin untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar merasa bersalah atas tindakanku sebelumnya.
"Aku hanya takut kau tidak kembali kesini," lanjutku menatap dirinya yang masih tertunduk.
Tak ada jawaban, Elin tetap menangis dalam posisinya. Aku merutuki diri karena tak tahan melihat Elin menangis karena ulahku.
"Maafkan aku, hmm?" Aku meraih dagunya agar dia bisa mengangkat wajah dan melihatku yang sungguh-sungguh merasa bersalah.
Saat wajahnya terpampang didepanku, justru aku semakin merasa kesal pada diriku sendiri. Wajah itu merah dan basah oleh airmata.
"Maaf, aku keterlaluan. Aku tidak akan begitu jika kau tidak pergi dengan seenaknya."
Elin menghapus airmata diwajahnya dengan kasar. "Aku tau. Aku yang salah. Kakak tidak perlu meminta maaf," katanya dengan suara yang tercekat.
Aku menatapnya lama dan dia balas menatapku dengan tatapan yang begitu mudah ku baca dan artikan. Ya, dia benar jika dia menyukaiku, rasa itu begitu jelas terpancar di bola matanya. Dia menatapku penuh harap, tapi aku tidak mau memberi harapan apapun padanya.
"Kau bisa pergi setelah nanti aku sembuh," kataku akhirnya.
"Apa kakak sakit?" Raut wajah Elin berubah khawatir saat menatapku.
"Ya. Itu sebabnya aku membutuhkanmu." Suaraku melemah, sebenarnya aku anti memberitahukan kelemahanku pada orang lain tapi entah kenapa aku malah menceritakannya pada Elin. Ku pikir dia berhak tau mengenai keadaanku yang menyebabkannya harus terjebak disini bersamaku.
"Maksudnya?"
"Dulu, saat aku sedang tertidur dengan pulas, rumah yang ku tempati terbakar. Aku mengalami trauma pasca kebakaran tersebut. Aku takut untuk tidur dan sejak kejadian itu pula aku tidak bisa tidur dengan tenang, karena setiap memejamkan mata aku selalu dibayang-bayangi ketakutan."
Elin menatapku dengan lekat, aku tau dia mendengarkan ceritaku dengan seksama.
"... mendiang kakekku meninggal karena kebakaran. Dan kebakaran terakhir yang menyebabkan trauma padaku telah menewaskan Nenekku juga. Untuk itulah aku sangat phobia dengan api. Ada satu sisi dalam diriku yang memaksa agar aku selalu waspada meski dalam keadaan tidur sekalipun, jadi sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak tidur sama sekali. Hingga akhirnya aku jatuh sakit setiap melewatkan tidurku."
"Separah itu?"
Aku mengangguk dan Elin tampak kembali menundukkan wajah. Inilah sebabnya aku selalu mewanti-wantinya agar tidak lupa mematikan kompor dan harus membangunkanku apabila mendengar suara alarm dan sejenisnya. Aku memiliki trauma dengan api dan kebakaran.
"Ya, aku sudah berobat ke dokter dan psikiater. Aku diminta untuk cukup tidur agar kondisi tubuhku membaik. Tapi trauma yang masih ada dalam diriku membuatku tetap sulit untuk melakukan hal itu. Pilihannya hanya ada dua. Tidur atau sakit. Jadi, aku memilih tidur karena aku tak mau sakit, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur dengan nyenyak."
"Aku tidak tau jika kau menderita hal semacam itu kak. Jadi ini tujuanmu membuatku sebagai teman tidurmu?"
"Hm ... ku harap kau memahaminya. Jadi, ku mohon tetaplah disini sampai aku bisa menyembuhkan trauma itu, karena secara tak langsung kau adalah obatnya. Aku belum pernah merasakan tidur dengan nyenyak lagi setelah kebakaran delapan tahun yang lalu, tapi aku merasa tenang saat kau menjadi teman tidurku, Elin."
"Bagaimana dengan gadis lain?" Elin menatapku lagi, dia tampak sangat serius. "Kenapa harus aku yang kau pilih, kak?" tanyanya kemudian.
"Entahlah, aku juga tak tau. Gadis lain tidak memberi efek apapun padaku. Jangankan rasa tenang untuk tidur, yang ada mereka hanya berniat merayuku dan aku tidak menyukai hal itu, karena tujuan utamaku yang sebenarnya adalah untuk merasa cukup tidur," tuturku terus terang.
Elin terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi, setelah traumamu hilang, kau akan melepaskanku, begitu?" tanyanya.
"Ya, kau akan ku bebaskan setelah aku sembuh. Bukankah sejak awal itu yang kau mau? Jadi, bersabarlah ... ku pikir ini tak akan lama lagi."
...Bersambung ......