SEBATAS TEMAN TIDUR
Di emperan jalan, saat traffic light berwarna merah, aku menjajakan beberapa dagangan. Aku menjual surat kabar dan majalah apa saja yang sedang trending.
Hari ini, jualanku hampir habis. Hanya menyisakan beberapa lagi. Setelah daganganku benar-benar tak bersisa, aku memutuskan untuk segera pulang agar kegiatan berjualanku hari ini tidak diketahui oleh Liam–Kakakku.
"Elin!!!"
Tiba-tiba saja, teriakan dari seorang pria terdengar meneriaki namaku dari balik kaca jendela mobil yang sengaja dibuka.
Mendengar namaku dipanggil, aku segera sadar jika itu adalah suara Liam yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.
Aku berjalan mundur kemudian berlarian ke arah yang berlawanan agar tidak dikejar oleh Liam, karena aku sempat melirik jika Liam hampir membuka pintu mobilnya saat itu juga, sepertinya dia ingin mengejar langkahku.
Untung saja traffic light didepan sudah berubah menjadi hijau, sehingga mau tak mau, Liam pun segera menutup kembali pintu dan mulai mengendarai mobilnya lagi–sebab suara klakson kendaraan lain mulai terdengar menderu, seolah tak sabar ingin segera melalui jalan tersebut.
...*****...
Liam tiba di rumah pada sore hari. Aku mendengar suara mobilnya dan mengintip sedikit lewat celah jendela. Aku bisa melihat jika Liam keluar dari mobil dengan rahang yang mengeras. Apalagi tujuannya kalau bukan menemuiku, yang juga ku tebak pasti dia akan memarahiku.
Aku segera beringsut untuk mencari tempat persembunyian.
Suara pintu rumah yang dibuka secara kasar pun terdengar, disusul dengan suara Liam yang sudah ku duga akan marah-marah.
"Elin!"
"Elin! Dimana kau?"
"Elin! Jika kau tidak keluar, maka jangan salahkan aku kalau semua benda dirumah ini akan ku hancurkan!"
Aku yang sebenarnya tak ingin bertemu dengan Liam, mau tak mau akhirnya keluar juga dari tempat persembunyianku.
Aku tau jika aku tidak bisa mengelak sebab bagaimanapun aku bersembunyi dirumah ini, Liam pasti akan menemukanku dan tetap mencaciku habis-habisan.
"A-ada apa?" Aku tau pasti jika saat ini wajahku sudah berubah pias.
Aku juga dapat melihat jika kini Liam menyeringai, dia mendekatiku yang berdiri diambang pintu kamar.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Liam justru mencengkram leherku sampai aku merasa kesakitan.
"Masih berani kau menanyakan 'ada apa', hah?"
"Ma--af, Kak." Aku sebenarnya paling malas memanggil Liam dengan sebutan Kakak. Karena sebenarnya dia hanyalah kakak tiriku.
Aku bicara dengan susah payah. Bagaimana tidak, Liam kini mencekikku, bahkan tubuhku yang kurus ikut terangkat naik, disertai punggungku yang juga dibenturkan ke dinding.
"Kau tau apa kesalahanmu, hah?"
Aku mengingat momen dimana Liam mendapatiku sedang berjualan surat kabar dipinggir jalan siang tadi.
"I--iya, Kak ... lep--as!" kataku mencoba melawan kekuatan tangan Liam di leherku.
Melihat wajahku yang merah padam dan tersiksa karena ulahnya, bukan membuat Liam menghentikan aktifitas kejinya itu. Liam justru menyeringai puas ke arahku.
"Katakan kau tidak akan mengulanginya lagi."
"I-iya."
Aku merasakan jika cengkraman tangan Liam di leherku mulai mengendur.
"Kau janji?"
Aku mengangguk cepat. Dan disaat itulah Liam benar-benar melepaskan tangannya dari leherku. Sesudahnya, aku spontan terbatuk-batuk sambil memegangi leher yang terasa panas dan sakit akibat tercekik.
"Elin, Elin ... berapa kali ku katakan, jika kau butuh uang, maka ikuti aturan ku!"
Aku hanya bisa diam mere mas jari jemarinku yang saling bertautaan satu sama lain. Mana mungkin aku mengikuti aturan Liam, sementara aturannya itu pasti sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan hati kecilku yang selalu menolak. Bukan apa-apa, aku dapat menebak jika aturan yang dibuat Liam tidaklah baik untukku.
"Aku tidak mau melihatmu berjualan lagi di emperan seperti hari ini. Kau dengar itu?"
Aku tak menyahut, tetap bergeming dengan mulut yang terkatup.
"Kau dengar, kan, Elin?"
Mau tak mau aku mengangguk. Tapi, aku memberanikan diri untuk bersuara. Sekali ini saja, barangkali Liam akan terbuka mata hati dan nuraninya.
"Bagaimana aku tidak berjualan di emperan, Kak. Sedangkan kau tidak memberiku uang? Kita juga tetap butuh makan."
"Apa aku harus peduli?" Liam hendak beranjak dari tempat itu. Tapi sebelum itu, dia menyempatkan untuk meminta sesuatu padaku.
"Siapkan makan malamku! Aku mau makan sup iga sapi untuk malam ini."
Lagi, permintaan makanan Liam selalu yang diluar batas keuangan yang ku punya. Kalau saja lelaki itu memberiku uang bulanan, tak mengapa. Tapi nyatanya, Liam tidak memberiku uang belanja padahal seharusntga dia yang bertanggung jawab atas hidupku–jika dia tidak membiarkan aku bekerja.
Sepertinya Liam memang sengaja, meminta hal yang diluar batas wajar ataupun hal aneh yang tidak bisa ku sanggupi, agar aku mengikuti aturan konyol dari pria yang berstatus kakak tiriku itu.
Setelah puas memberiku pelajaran, Liam pun berlalu dari hadapanku. Meninggalkan aku dengan peliknya pemikiran mengenai kebutuhan rumah yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabku.
"Dia tidak memberiku uang, tapi dia memintaku memasak makanan yang lumayan mahal. Aku berjualan, dia tidak mengizinkan. Lalu aku dapat uang darimana untuk memenuhi keinginannya?" gumamku dengan nada putus asa.
Menjelang malam, aku harap-harap cemas menanti kehadiran Liam di meja makan.
Saat Liam hadir dan melihat lauk yang tersaji disana, aku sudah dapat menebak jika dia akan kembali marah-marah karena makanan yang ku masak tidak sesuai dengan ekspektasinya.
"Makanan apa yang kau sajikan ini, hah? Ini semua sampah! Kau pikir aku mau memakannya? Kau lupa aku ingin makan apa?"
Aku menggenggam sendok dengan erat. Selera makanku turut hilang karena ucapan Liam.
Nyatanya, meski didepan makanan–yang kata orang adalah rezeki–Liam kembali tega membentakku.
Seketika itu juga aku berdiri dari duduk. Bahkan kursi yang ku duduki sampai terseret mundur kebelakang dan jatuh menimpa lantai, sangking kesalnya aku pada Liam.
Cukup sudah aku bersabar menghadapi sikap kakak tiriku ini.
Aku selalu bertekad akan bertahan di rumah ini selama Liam tidak main tangan atau melakukan kekerasan fisik. Nyatanya hari ini, Liam memperlakukanku dengan sangat kasar, bahkan sore tadi Liam juga sempat mencekikku.
"Dengar, Kak! Kau tidak memberiku uang, kau juga tidak mengizinkan aku berjualan. Tapi, selera makananmu sangat tinggi. Kau pikir aku dapat uang belanja dari mana? Kau pikir daun bisa dibelanjakan!" pungkasku dengan emosi yang meledak-ledak.
Liam tampak terperangah saat melihatku bisa melawannya seperti ini. Sepertinya dia tak menyangka sama sekali jika aku mampu menentangnya.
"Kau berani melawanku, hah?" Liam memukul meja, menyebabkan piring yang berisi lauk-lauk diatas meja itu seketika terangkat, lalu terhempas kembali ketempat semula.
Aku menciut, kemarahan Liam memang bukan sesuatu yang seimbang untuk ku lawan. Rupanya melawan kekerasan Liam dengan kekerasan yang sama adalah suatu tindakan yang gegabah. Aku salah, aku terlalu terbawa emosi.
"Kau mau ku hukum? Kau sudah mulai berani rupanya!"
Liam beranjak, menghampiri posisiku. Dia menarik lenganku dengan sangat emosional.
"Aku hanya mengatakan isi kepalaku, Kak. Apakah pantas perlakuan mu seperti ini padaku? Kau bahkan tidak memberi uang dan akulah yang harus bertanggung jawab atas isi perutmu! Bukankah itu tidak semestinya? Kau yang kakakku, bukan sebaliknya!"
"Omong kosong! Itulah gunanya kau menjadi adikku. Kau memang harus bertanggung jawab atas keinginanku, apalagi ayahku sudah meninggal dalam kebangkrutan. Kau dan ibumu itu hanya menyusahkan ku saja!"
Liam menarikku sampai memasuki kamarnya. Disana dia mengambil sebuah sabuk yang biasa dia gunakan di pinggang. Liam tampak menyiapkan itu dan tiba-tiba menghujaminya ke punggungku.
Plak! Satu.
Plak! Dua kali.
Aku meringis kesakitan. Liam benar-benar memukulku tanpa menggunakan hati nuraninya.
"Ampuni aku, Kak …" lirihku. Airmataku keluar begitu saja. Ini memang pertama kalinya aku melawan Liam. Biasanya jika dia mengomel, aku lebih memilih untuk pergi dan menghindar. Tapi belakangan hari, Liam semakin menyebalkan, aku bahkan tidak diizinkan untuk bekerja. Dia menguasai hidupku.
Ini juga menjadi momen pertamaku dihadiahi Liam dengan cambukan sabuk.
Saat aku merintih menahan kesakitan, tiba-tiba aku tak merasakan cambukan lagi. Liam tak melanjutkan pukulan ketiganya. Namun, dia masih menatap marah pada wajahku.
"Jika aku diperlakukan seperti ini terus, maka lebih baik kau biarkan aku pergi, aku tidak akan menyusahkanmu lagi!" kataku dengan derai airmata.
Mendengar ucapanku itu, Liam malah terkekeh kencang, seolah tengah mengolokku.
"Kau yakin mau pergi? Apa kau siap apapun konsekuensinya? Lalu, bagaimana dengan kehidupan Ibumu? Apa kau tega semua alat yang menyokong kehidupannya diatas ranjang pesakitan itu dilepaskan?"
Aku semakin terengah-engah dengan isak tangis. Sedari awal aku bertahan dengan kehidupan bersama Liam pun, bukan karena aku takut untuk pergi, melainkan karena aku membutuhkan biaya untuk tetap melanjutkan pengobatan ibuku.
"Kau tidak bisa menjawab, huh?" Liam menyeringai penuh ejekan.
Aku berusaha menekan rasa luka di hati dan sakit yang ada di tubuhku. Sampai kapan aku harus berada didalam kehidupan toxic seperti ini?
Seharusnya, ini adalah masa yang ku lalui dengan indah. Berkuliah dengan teman-teman seusiaku. menikmati bagaimana rasanya menjadi mahasiswi. Ternyata, setahun ini harus aku lalui dengan rasa penyesalan, isak tangis, luka batin dan ditambah pula dengan luka fisik yang sengaja ditorehkan Liam kepadaku.
Mendadak aku menyesal kenapa dulu ibuku harus menikah dengan Ayah Liam yang pada akhirnya setelah beliau meninggal, putranya ini malah menyiksaku–yang sudah berstatus adiknya–dikala ibuku pun sedang diranjang pesakitan.
"Sudah ku bilang, seharusnya kau menuruti semua aturanku. Kau bisa dapat uang, aku juga dapat uang, Elin. Dengan begitu, kita bisa sama-sama senang."
Aku mengusap airmataku. Liam memang tak pernah menghargaiku.
"Apa dengan mengikuti aturan yang kau bilang itu, maka aku bisa terlepas darimu dan membuatmu berhenti menyiksaku, Kak?"
"Tentu saja."
"Baiklah, aku tidak punya pilihan lain, kan?" ujarku pasrah.
Awalnya aku sempat ingin kabur saja dari Liam apabila terus seperti ini, tapi lagi-lagi kondisi ibu yang berada di Rumah Sakit justru menahanku agar tetap berada disisi baj*ngann ini.
Apalagi, belakangan hari Liam selalu membicarakan soal 'mengikuti aturannya' yang entah apa.
Saat mendengar hal itu, justru membuat perasaanku jadi sangat tidak suka.
Tapi, mau bagaimana? Apapun perbuatan Liam kepadaku, biaya pengobatan ibuku yang tidak murah, masihlah ditanggung penuh oleh pria itu.
"Ya, kau tidak punya pilihan lain, Elin. Besok, ikut aku! Aku akan menunjukkan padamu bagaimana caranya mencari uang yang benar. Kau tidak perlu membuatku malu dengan berjualan di emperan. Kau juga tidak akan ku buat terpapar cahaya matahari yang akan merusak kulitmu. Kita akan sama-sama diuntungkan."
Liam pun menyeringai tipis diujung kalimatnya.
...Bersambung …...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟηєтα Rєηαтα 📴
parah kali si liam.. ingin rasanya ku santet dia.. atau klo g kasih kopi sianida biar g semena mena
2023-07-24
0
Kar Genjreng
ku simpan ya Thor apa kabar lama ga jumpa lewat novel... yang penting sehat selalu
.dan semangat bikin karya terus 😂😂👍👍
2023-04-01
1