Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Nikah Paksa
Sore itu langit berwarna jingga, memantulkan cahaya keemasan ke halaman rumah besar keluarga Malik. Sebuah mobil hitam mengantar Jamilah bersama putrinya, Hana, turun di depan gerbang megah. Hana berdiri terpaku, memandangi bangunan yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan. Pilar-pilar tinggi menjulang dengan megah, dinding berlapis marmer berkilau, dan air mancur besar di tengah halaman memantulkan cahaya matahari yang mulai meredup.
“Rumah ini seperti istana, Bu,” gumam Hana dengan mata berbinar, meski tangannya terasa dingin.
Jamilah tersenyum kaku, seolah menutupi kegelisahan yang sejak tadi ia simpan. “Ya, Nak. Tapi ingat, di balik kemewahan istana, ada aturan yang keras. Jaga sikapmu, ingat siapa kita.”
Hana hanya mengangguk. Ia tahu ibunya tak main-main. Meski sejak kecil ia sering mendengar cerita tentang keluarga Malik, baru kali ini ia benar-benar masuk ke dalamnya. Ada perasaan canggung sekaligus takjub yang bercampur menjadi satu.
Begitu pintu kayu jati yang besar itu terbuka, aroma wangi bunga mawar menyambut mereka. Ruang tamu luas dengan lampu kristal raksasa tergantung di langit-langit, memantulkan cahaya berkilau di lantai marmer putih. Hana merasa langkahnya terlalu kecil untuk tempat sebesar ini.
Di tengah ruangan, seorang pria berdiri. Dengan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung hingga siku, ia terlihat sederhana namun tetap berwibawa. Sorot matanya tajam, dingin, dan penuh kendali, dialah Hansel Malik.
Jamilah buru-buru menunduk hormat. “Tuan muda, ini putri saya, Hana. Ia baru pulang dari pesantren. Saya mohon izin, beberapa hari ke depan Hana akan membantu saya bekerja di sini.”
Hansel menoleh sekilas, matanya berhenti sesaat pada wajah Hana. Tatapannya membuat gadis itu spontan menunduk, seolah tak sanggup menahan sorot yang begitu menekan.
“Selama tidak mengganggu pekerjaan, silakan,” ucap Hansel singkat, suaranya dingin, lalu ia melangkah pergi tanpa menambahkan kata apa pun.
Hana menghela napas lega setelah sosok itu menghilang dari pandangan. Jantungnya masih berdebar cepat, dan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia tak mengerti apakah itu rasa takut atau justru kekaguman yang tak semestinya.
Hari-hari berikutnya Hana mengisi waktunya dengan membantu ibunya. Membersihkan ruang makan yang sebesar aula, merapikan bunga di taman, hingga menyiapkan pakaian Laudya, istri Hansel, yang selalu ingin tampil sempurna. Laudya sering memandang Hana dengan tatapan meremehkan, seolah ia hanya serbuk debu di tengah kilau dunia gemerlapnya.
“Anakmu ini manis juga, Jamilah,” kata Laudya suatu kali sambil menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Nada suaranya terdengar seperti pujian, namun senyum sinis di bibirnya menunjukkan sebaliknya. “Sayang, dia terlalu lugu untuk dunia sebesar ini.”
Hana hanya tersenyum sopan, menahan perasaan yang mengganjal di dadanya. Ia sadar betul dirinya bukan siapa-siapa di rumah itu.
Malamnya, untuk mengusir rasa sesak, Hana duduk di serambi kecil dekat taman belakang. Ia membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa dari pesantren, lalu melantunkan ayat-ayat suci dengan suara lembut. Bacaan itu mengalun merdu, membawa ketenangan bagi hatinya sendiri. Ia tak tahu, dari balkon lantai dua, Hansel berdiri memperhatikannya. Wajah dingin pria itu tetap tak berubah, tapi telinganya seolah tak bisa menolak untuk mendengarkan lebih lama. Suara lembut itu meretakkan sedikit demi sedikit dinding keras dalam dirinya.
Beberapa hari setelahnya, Hansel bersama asistennya, Haris, berangkat untuk memberikan santunan ke sebuah pesantren besar. Tanpa disangka, Hana juga berada di sana. Ia ditugaskan membantu menyiapkan barisan anak-anak yang akan menerima bingkisan. Saat Hansel masuk, menyapa anak-anak dengan ramah, Hana hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Pria yang dikenal dingin, kaku, dan tak pernah tersenyum di rumah itu, kini menunduk dengan sabar, menyalami anak-anak yatim satu per satu, bahkan berjongkok sambil mengelus kepala mereka. Ada tawa kecil yang keluar dari bibirnya ketika seorang bocah berebut kotak hadiah. Senyum itu, meski samar, terlihat begitu tulus.
Hana terpaku, dunia seolah berhenti sesaat. Matanya tak lepas dari sosok itu, hatinya bergetar dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu Hansel sudah menikah, ia tahu batas dirinya, tapi ia tak bisa menolak kekaguman yang tiba-tiba tumbuh begitu saja.
Hansel sempat melirik ke arahnya. Tatapan singkat itu membuat wajah Hana panas. Ia buru-buru menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya.
Malam harinya, sepulang dari pesantren, Hana mendapati ibunya tampak gelisah. Jamilah duduk di kursi kecil kamar para pekerja, menatap putrinya dengan mata yang berat, seakan menyimpan beban besar.
“Hana, ada yang ingin Ibu bicarakan,” katanya pelan.
“Apa, Bu?” Hana menoleh dengan penasaran.
Jamilah menggenggam tangan anaknya erat, lalu menarik napas dalam. “Kau tahu, keluarga ini menginginkan keturunan. Nyonya besar, Nyonya Rohana … ia menyebut namamu.”
Hana terdiam, matanya melebar. “Menyebutku? Maksud Ibu apa?”
Jamilah menelan ludah, suaranya bergetar. “Mereka ingin menjodohkanmu dengan Tuan Hansel.”
Seperti tersambar petir, Hana terperanjat. Suara ibunya bergema di kepalanya, menyesakkan dada. Ia, anak seorang pembantu, dijodohkan dengan Hansel Malik sang pewaris keluarga terkaya di kota ini itu mustahil.
“Ibu … itu tidak mungkin,” ucap Hana lirih, nyaris patah.
“Beliau sudah menikah, Bu. Aku tak bisa … aku tak bisa masuk ke dalam rumah tangga orang lain.”
Air mata Jamilah jatuh, menandai betapa beratnya kata-kata itu.
“Ibu tahu, Nak. Tapi ini permintaan Nyonya Rohana. Ibu tidak bisa menolak. Ibu hanya ingin kau tahu … mungkin ini takdir yang akan kau hadapi.”
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa seluruh dunia menindih pundaknya. Bagaimana mungkin ia menjalani pernikahan seperti itu? Bagaimana mungkin ia menerima pria yang hatinya masih terikat pada istrinya?
Di luar kamar kecil itu, tanpa sepengetahuan mereka, Rohana berdiri di balik pintu, mendengarkan setiap kata. Senyum puas tersungging di bibirnya.
“Tak ada yang lebih cocok dari gadis itu,” bisiknya. “Suci, polos, dan sempurna untuk melahirkan cucu keluarga Malik.”
Dan di lantai atas, Hansel duduk di balkon, termenung sendirian. Suara lantunan Hana sore tadi masih terngiang di telinganya. Ia tak tahu mengapa suara itu mampu menembus dinginnya hatinya, tapi satu hal yang ia sadari ada sesuatu yang mulai berubah.
'Apa hidupku yang terlalu sepi selama ini? Tidak! Laudya bersamaku selama lima tahun. kehadiran Laudya adalah semangat hidupku,'
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊