Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apartemen Berdebu
Motor Honda CBR250RR berplat nomor dinas palsu melaju perlahan memasuki kawasan kompleks apartemen mewah tempat Fai pernah tinggal. Amara memarkir motor sejauh empat blok dari menara apartemen Fai, di sebuah parkiran bawah tanah pusat perbelanjaan yang sepi. Mereka berjalan kaki, menggunakan jalanan kecil dan gang-gang sebagai rute pendekatan. Haris, yang kini membawa ransel berisi senjata dan bukti, bertindak sebagai pengawas belakang.
"Area ini terlalu tenang," bisik Haris saat mereka memasuki lobi apartemen yang megah.
"Sebaiknya kita memeriksanya langsung." Jawab Amara pelan.
Mereka menuju ke lift dan menekan lantai 12. Di sana, lorong karpet merah yang lembut terhampar sunyi. Mereka berhenti di depan sebuah unit. Amara mengeluarkan kartu akses apartemen yang ia curi dari Fai. Kartu itu adalah kunci fisik terakhir yang mereka miliki untuk membuka pintu.
Amara memasukkan kartu ke slot kunci digital. Lampu indikator berkedip merah, disertai bunyi beep pelan yang menandakan penolakan.
"Gagal," bisik Amara, menarik kartu itu kembali.
Haris maju selangkah, memeriksa panel kunci digital pada unit apartemen itu. "Jika kita menggunakan pemetik kunci, alarm di seluruh lantai akan berbunyi."
Mereka mundur ke lift. Haris menekan tombol lantai dasar.
"Kita harus mengubah pendekatan," kata Haris, matanya menyipit.
Di lobi, Haris menarik Amara menuju meja keamanan. Seorang satpam paruh baya berseragam rapi sedang membaca koran, tampak bosan.
Haris menyentuh bahu Amara, memberi isyarat bahwa Amara harus mengambil alih interaksi ini. Amara mendekati satpam itu. Ia menyesuaikan nada bicaranya menjadi formal dan sedikit tertekan.
"Selamat pagi, Pak," sapa Amara. "Maaf mengganggu. Saya mencari penghuni unit 12-B. Saya datang untuk mengambil barang saya yang tertinggal."
Satpam itu mengangkat pandangannya dari koran, menatap Amara dengan curiga namun sopan. "Unit 12-B? Itu... di lantai atas ya? Saya kurang yakin, Bu. Di daftar penghuni, unit itu tidak ada yang menempati. Saya sudah bekerja di sini hampir lima tahun, dan unit itu sudah kosong selama setahun lebih."
Amara mempertahankan ekspresi kebingungan yang dibuat-buat. "Kosong? Tapi... Saya yakin dia bilang dia tinggal di sana. Mungkin dia menggunakan nama lain?"
Satpam menggeleng. "Di kompleks ini, semua harus didaftarkan dengan KTP. Unit 12-B sudah lama sekali tidak ada penghuninya yang terdaftar, Bu. Terakhir ada penyewa, itu sekitar satu tahun yang lalu."
Haris, yang berdiri sedikit menjauh, mengerutkan kening. Jika Fai menyewa apartemen itu secara ilegal selama berminggu-minggu, itu sangat tidak profesional. Tapi jika Fai membeli apartemen itu dan meninggalkannya kosong selama setahun sebelum menggunakannya sebagai base, itu adalah strategi penyamaran yang jenius.
"Bisakah saya meminta nomor pemilik unit 12-B?" tanya Amara, mengeluarkan ponsel cadangan dari sakunya. "Saya ingin mengonfirmasi apakah teman saya salah memberikan alamat unit."
Satpam itu ragu-ragu, tetapi setelah Amara menunjukkan ID palsu yang Haris siapkan, ia memberikan nomor kontak pemilik unit yang berada di luar kota, melalui buku log di meja.
Amara mundur beberapa langkah, Haris mengikutinya. Amara segera menelepon.
Panggilan itu diangkat oleh suara wanita paruh baya yang terdengar ramah namun waspada.
"Halo? Ada yang bisa saya bantu?"
Amara berbicara dengan nada yang diatur agar terdengar tertarik sebagai calon penyewa. "Selamat siang, saya Amel. Saya mendapat nomor Anda dari satpam. Saya tertarik dengan unit 12-B. Apakah unit itu masih tersedia?"
Bu Ria terdengar lega. "Oh, ya, tersedia, Bu Amel! Unit itu memang sudah lama kosong. Terakhir disewa sekitar setahun yang lalu, setelah itu saya kesulitan mencari penyewa yang cocok. Apa Anda berminat?"
"Sangat berminat," jawab Amara. "Namun, saya khawatir dengan kondisi unit yang sudah lama kosong. Apakah saya bisa melihatnya sebentar sekarang? Saya sedang berada di lobi. Saya ingin mengeceknya."
Bu Ria setuju, terdengar antusias. Ia segera menelepon satpam di lobi, menginstruksikan mereka untuk membuka unit 12-B untuk calon penyewa bernama 'Amel'.
Amara mematikan telepon. Ia dan Haris saling pandang. Mereka kembali ke satpam, yang kini sudah mendapatkan instruksi. Satpam itu mengantar mereka ke lantai 12, membuka kunci pintu unit 12-B dengan kunci fisik dari kotak darurat.
"Silakan, Bu. Jika ada yang mau ditanyakan, hubungi saja Bu Ria," kata Satpam itu, lalu kembali ke lobi.
Amara dan Haris masuk. Begitu pintu tertutup, bau debu, pengap, dan kelembapan yang khas dari properti yang ditinggalkan menyambut mereka.
Haris segera menekan saklar kecil di sebelah pintu untuk menyinari ruangan. Apartemen itu memang kosong. Tidak ada perabotan, tidak ada tirai, hanya debu tebal yang menutupi lantai, menandakan tidak ada aktivitas pembersihan selama berbulan-bulan.
”Apa kau yakin, tidak salah unit Amara?” Ucap Haris yang pandangannya menyapu setiap sudut ruangan tanpa tanda - tanda kehidupan itu.
”Awalnya aku yakin, tapi setelah melihat keadaan tempat ini.. aku merasa seperti bermimpi."
"Jika kau tidak bermimpi, berarti buronan ini cukup cerdik. Tidak akan ada yang akan mencari markas buronan di unit yang secara resmi 'kosong' selama setahun." Bisik Haris, nada suaranya penuh hormat pada kecerdikan Fai.
Mereka menyisir ruangan satu persatu. Kamar tidur utama, kosong, hanya menyisakan noda air di dinding. Dapur, bersih dari peralatan, dengan lapisan debu di atas counter marmer. Kamar mandi, kotor dan sedikit berlumut. Tidak ada komputer tersembunyi, tidak ada ruang rahasia.
Haris dan Amara akhirnya kembali ke ruang tamu. Haris menunjuk ke langit-langit. "Dia mungkin punya jalur ventilasi tersembunyi, tapi kita tidak punya waktu untuk membongkar seluruh unit yang kosong ini."
Amara menghela napas, rasa frustrasi melandanya. Petunjuk ini menghabiskan waktu berharga mereka. Saat mata Amara memperhatikan setiap sudut unit apartemen itu, ia melihat ke sudut ruang tamu yang gelap, dekat jendela. Tepat di samping ambang jendela yang berdebu tebal, sebuah objek kecil terlihat.
Amara berjalan perlahan ke sana. Ia berjongkok, mengabaikan lapisan debu yang kini melekat di celana trainingnya.
Objek itu adalah sebuah boneka beruang lusuh.
Boneka itu kecil, berwarna cokelat pudar, dengan satu mata kancing yang hilang. Itu adalah boneka yang sama, atau setidaknya identik, dengan yang dipegang erat oleh Tita, anak Laras dan Dimas yang dititipkan kepada Fai.
Jantung Amara mencelos. Itu bukan kebetulan. Boneka beruang itu adalah bukti dia tidak sedang bermimpi. Amara mengangkat boneka itu, debu tebal berjatuhan.
Haris, yang berdiri di tengah ruangan, berbalik. "Ketemu sesuatu? Barang peninggalan penyewa lama?"
"Tidak ada," jawab Amara datar, berdiri dan menyeka debu dari tangannya. "Hanya sampah. Unit ini benar-benar kosong."
Haris menghela napas panjang. "Baik. Apartemen ini adalah dead end. Kita sudah membuang terlalu banyak waktu."
Mereka berdua berjalan kembali ke pintu keluar. Amara menoleh ke belakang, matanya tertuju pada sudut di mana boneka itu ia letakkan. Boneka lusuh itu kini menjadi beban rahasianya, satu-satunya bukti bahwa Fai masih hidup.
"Kita akan pergi ke mana sekarang?" tanya Amara.
Haris membuka pintu, membiarkan Amara keluar lebih dulu. "Sebaiknya sekarang kita pulang, apa yang terjadi beberapa hari ini biar jadi rahasia kita saja."
”Ya, sebaiknya begitu. Aku juga sangat lelah beberapa hari ini.”
fai selalu bisa diandalkan...
💪💪💪💪
hebat Amara ayo Brantas kejahatan polisi korup....
betapa lihainya memainkan perasaan mu Amara
good job thor
ini bisa jadi sekutu itu Raditya kira2 masuk gak ya
🤣🤣🤣
Raditya kah???
haduhhhh makin penasaran nih
wah dalam bahaya kau Amara.,..
ati ati y
kok bisa ya secerdik itu dia...
.
wah g nyangka sekalinya Amara dilingkungan toxic...
semoga Amara berhenti JD polisi aja deh, gak guna lencanamu kalau hidupmu sudah dikondisikan dgn mereka para penjilat uang haram...
yok yok semanggad thor
💪💪💪💪
🙏🙏🙏🙏