Nia terpaksa menikah dengan Abizar untuk balas Budi. Karena suatu alasan Nia harus merahasiakan pernikahannya termasuk keluarganya. Orang tua Nia ingin menjodohkan Nia dengan Marcelino. Anak dari teman papanya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Abizar dan Nia ? Siapakah yang akan di pilih oleh Nia ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gadis Scorpio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jodoh Yang Sudah Diatur
Karena desakan dari mamanya, siang ini Marcelino datang ke perusahaan Newtec dengan membawa seikat bunga mawar merah. Dia akan mengajak Nia untuk pergi makan siang bersama.
Marcelino sudah sampai di depan pintu ruangan Nia. Sebelum tangannya berhasil mengetuk, pintu itu tiba-tiba dibuka dari dalam. Nia yang ingin keluar dari ruangannya sangat terkejut melihat seseorang berdiri tepat didepannya, membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Beruntung tangan Marcelino cepat menahan pinggang Nia dan menariknya sehingga Nia tidak jadi jatuh ke lantai tapi malah jatuh ke pelukan Marcelino. Mata keduanya pun saling bertatapan.
"Ehmm"
Nia tersadar dari pikirannya ketika mendengar suara seseorang. "Papa" ucap Nia setengah berbisik sambil berusaha berdiri menegakkan tubuhnya. Marcelino mengikuti arah pandang Nia, pria itu segera melepaskan tangannya dari tubuh Nia. "Maaf." ucapnya kepada Nia.
"Selamat siang, om." Marcelino memberi hormat kepada Adam. Ia merasa sedikit gugup melihat pria paruh baya itu karena kejadian yang tidak di sengaja tadi. Apakah ia akan di hajar karena sudah berani menyentuh Nia. Marcelino mengusap keningnya yang tiba-tiba berkeringat.
"Siang, Marcel." Adam membalas dengan tersenyum. "Kamu mau menjemput Nia untuk makan siang ?" lanjutnya lagi.
"Iya, om."
"Silakan. Om duluan ..."
"Tapi, pa. Kita ada janji makan siang dengan klien sekarang." Nia memotong perkataan papanya.
"Papa lupa memberi tahu mu, mereka sudah membatalkan pertemuannya." Adam dan sekretarisnya berjalan menuju lift.
"Pa, tunggu. Nia ikut makan siang bersama papa."
"Papa ada urusan penting sekarang. Pergilah bersama Marcel hari ini." kemudian ia langsung masuk ke dalam lift membuat Nia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Marcelino tersenyum penuh kemenangan mendengar kata Adam. Sekarang Nia tidak bisa beralasan lagi karena papanya sendiri sudah memberi perintah. Dengan senyum yang di paksa Nia pergi bersama Marcelino.
Di sebuah restoran, Abizar sedang makan siang sendirian. Abizar melihat ponselnya yang berdering. Ternyata ibunya yang menelpon.
"Halo. Maaf, Bu. Abi belum sempat mengunjungi ibu."
"Iya. Ibu tau Abi sedang sibuk. Ibu cuma mau kasih tau Abi. Minggu depan ibu akan ke Jakarta karena ada seminar. Abi tanyakan pada Nia bolehkah ibu menginap di rumah kalian."
"Tentu saja boleh, Bu. Nia pasti tidak akan keberatan." jawab Abizar.
"Terimakasih. Ibu tutup dulu telponnya."
Setelah meletakkan ponselnya, mata Abizar tidak sengaja melihat dua orang pria paruh baya yang sedang makan siang bersama. Keduanya terlihat akrab. Abizar menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian dia pergi keluar dari restoran tersebut.
"Bagus. Sepertinya tanpa campur tangan kita, hubungan mereka juga bisa berkembang." kata Hendrawan setelah mendengar cerita dari Adam tentang kejadian di perusahaan yang dilihatnya tadi.
"Biarkan mereka saling mengenal. Jangan sampai kelihatan kita yang memaksakan perjodohan ini. Kau ingat dulu janji kita." ujar Adam mengingatkan masa lalu saat masih muda.
"Iya. Aku ingin menjodohkan putraku yang baru lahir saat itu jika kau punya anak perempuan." kata Hendrawan berubah sendu mengingat kelahiran putra pertamanya.
"Maaf. Telah mengingatkan mu ke masa lalu. Marcel juga putramu." Adam menepuk pundak Hendrawan yang menjadi sedih karena ucapannya.
"Aku merasa bersalah kepada mereka." Hendrawan menghela napasnya "Entah dimana mereka sekarang. Sudah belasan tahun aku tidak bertemu dengan mereka." Ucap Hendrawan mengenang mantan istri dan anaknya.
"Kau sudah menyuruh orang untuk mencarinya ?" tanya Adam.
"Sudah. Tapi mereka semua tidak menemukan jejak apapun. Akhirnya aku menyerah."
"Bersabarlah. Suatu hari nanti kau akan bertemu dengan anak mu." Adam mencoba menghibur Hendrawan yang mulai berkaca-kaca.