Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Aku Sangat Menginginkannya
Siang itu, penthouse terasa lebih hidup dari biasanya. Aaron memang menepati janjinya untuk bekerja dari rumah, dan ia memilih ruang keluarga di lantai dasar, bukan ruang kerjanya yang biasa di lantai atas. Suara ketikan keyboard yang konstan dari sudut ruangan, sesekali diselingi percakapan bisnis Aaron yang serius di telepon, mengisi keheningan yang sebelumnya menyesakkan Claire. Kehadirannya, meskipun minim interaksi langsung, terasa seperti selimut hangat yang tiba-tiba membungkusnya.
Claire duduk di sofa panjang, mencoba membaca sebuah novel, namun pandangannya sering kali melayang ke arah Aaron. Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, dahi sedikit berkerut, ekspresi wajahnya serius. Claire tahu ekspresi itu. Itu ekspresi yang sama persis saat Aaron menghadapi masalah rumit dalam proyek pembangunan apartemen mewah di New York dulu, saat ia harus memutar otak mencari solusi paling efisien. Claire tersenyum tipis. Detail kecil semacam itu, ia tahu, hanya sedikit orang yang menyadarinya. Atau mungkin, memang hanya dirinya yang tahu.
Saat Aaron sedang serius dengan telepon, Claire merasa tenggorokannya kering. Ia bangkit perlahan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Perutnya terasa sedikit kram lagi, dan ia mengusapnya lembut.
"Susan, tolong ambilkan Nona Hayes teh herbal di lemari. Yang khusus untuk meredakan kram perut," suara Aaron terdengar jelas dari ruang keluarga, membuat Claire terkesiap. Ia bahkan belum mencapai dapur.
Claire berbalik, menatap Aaron yang masih berbicara di telepon, namun matanya melirik sekilas ke arah Claire. Aaron tidak mengatakan itu padanya secara langsung, tapi pada Susan. Tindakan kecil itu membuat hati Claire menghangat, namun juga diliputi kebingungan. Bagaimana dia tahu aku kram?
"Baik, Tuan," jawab Susan, segera bergerak menuju dapur.
Aaron mengakhiri panggilannya. Ia menatap Claire yang masih berdiri canggung di tengah ruangan. "Duduk saja. Susan akan membawakanmu minum."
Claire menurut, kembali duduk di sofa. Tak lama kemudian, Susan datang membawa secangkir teh herbal hangat. "Ini, Nyonya. Kata Tuan Aaron, ini akan membantu."
"Terima kasih, Susan," Claire bergumam, menyesap tehnya. Kehangatan teh itu menyebar di perutnya, meredakan ketidaknyamanan. Aaron memang memerhatikan.
Beberapa waktu berlalu dalam keheningan yang nyaman. Aaron kembali larut dalam dokumennya, sementara Claire mencoba fokus pada novelnya. Namun, rasa penasaran Claire lebih kuat.
"Aaron?" panggil Claire pelan.
Aaron mengangkat kepalanya, menatap Claire. "Ya?"
"Kau... kau tidak ke kantor?" tanya Claire lagi, meskipun ia tahu jawabannya. Ia hanya ingin berbicara dengannya.
Aaron menghela napas. "Sudah kubilang, ada beberapa hal yang bisa kukerjakan dari sini." Ia menunjuk tumpukan berkas di mejanya. "Dan aku harus memastikan kau baik-baik saja." Ia menambahkan kalimat terakhir itu dengan sedikit enggan, seolah ia masih menimbang-nimbang antara perhatian dan harga diri.
Claire mengangguk, merasa sedikit canggung. "Oh... baiklah."
Aaron kembali pada dokumennya, namun tak lama, ia meletakkan penanya. Ia menatap Claire. "Kau bosan?"
Claire terkejut dengan pertanyaan itu. Aaron jarang sekali menanyakan tentang perasaannya. Atau mungkin… tidak pernah sama sekali? "Tidak juga... aku hanya, yah, membaca."
Aaron mengangguk. "Kau bisa menyalakan televisi jika mau. Atau ada beberapa majalah di meja sana." Ia menunjuk meja kopi di dekatnya.
Ini adalah bentuk perhatian yang baru. Aaron seolah mencoba memastikan ia nyaman dan tidak merasa sendirian. Claire tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku suka suasana tenang."
Aaron tidak menjawab, namun Claire melihatnya mengangguk samar, seolah menerima informasi itu. Dia bahkan memerhatikan kesukaanku sekarang? Hati Claire berdesir. Aaron, yang selalu menjaga jarak dan acuh tak acuh, kini menunjukkan sisi lain dirinya. Sisi yang membuatnya bingung, namun diam-diam, sangat bahagia.
Menjelang sore, saat Aaron sedang berbicara di telepon dengan Walter, Claire memutuskan untuk mengambilkan segelas air untuk Aaron. Ia tahu Aaron selalu minum air di sela-sela telepon yang panjang, untuk melembabkan tenggorokannya. Ia tahu Aaron suka air yang tidak terlalu dingin. Itu detail kecil yang ia perhatikan selama mereka tinggal bersama, meskipun Aaron tidak pernah menyadarinya.
Claire berjalan perlahan ke dapur, mengambil gelas, dan mengisinya dengan air bersuhu ruangan. Ia kembali ke ruang keluarga, meletakkan gelas itu di meja di samping Aaron, persis di dekat tangan pria itu.
Aaron yang sedang berdebat sengit di telepon, melirik ke arah gelas air itu. Matanya sedikit melebar, seolah terkejut, lalu ia menatap Claire. Ada kilatan singkat di matanya yang tidak bisa Claire artikan. Aaron hanya mengangguk kecil sebagai ucapan terima kasih, lalu kembali pada percakapannya.
Claire kembali duduk, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Aaron menyadari tindakannya. Ia tahu Aaron menghargainya, meskipun hanya dengan anggukan kecil. Rasanya seperti memenangkan lotere kecil. Aaron memperhatikanku. Dia peduli padaku...!
Sepanjang sisa hari, Aaron memang terus bekerja dari ruang keluarga. Sesekali, ia akan keluar untuk mengambil snack ringan, dan selalu kembali dengan satu untuk Claire juga. "Ini. Kau harus makan," katanya dengan nada yang sama, seolah perintah, namun dengan secuil kelembutan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Saat malam tiba, dan Aaron akhirnya memutuskan untuk naik ke ruang kerjanya di lantai dua, Claire merasa sedikit kecewa. Kehangatan yang menyelimutinya sepanjang hari mulai pudar. Namun, ia tidak bisa mengeluh. Hari ini, Aaron telah memberinya lebih banyak perhatian daripada gabungan seluruh waktu mereka tinggal bersama sebelumnya.
Claire kembali ke kamarnya, membawa bantal sofa yang digunakan Aaron diruang keluarga tadi. Ia membaringkan tubuhnya di ranjang, memeluk erat bantal yang masih memiliki aroma samar aftershave favorit pria itu. Wajahnya berseri-seri, senyum lebar yang tak bisa ia tahan terukir di bibirnya. Ia merasa seolah sedang memeluk Aaron saat ini, mendekapnya dan mencium aromanya begitu dalam.
"Lihat, Sayang?" bisiknya pada perutnya, suaranya dipenuhi kegembiraan. "Ayahmu benar-benar menjagamu. Dia selalu mengirimkan kehangatan padamu, bahkan saat ibu tidak menyadarinya. Ibu tahu, kau akan menjadi alasan kenapa dia ada di sini. Kau adalah alasan dia kembali." Claire mengusap perutnya, membayangkan senyum Aaron yang ia rindukan, senyum yang jarang sekali ia lihat. "Ibu tahu Ayah tidak akan meninggalkanmu, Nak. Tidak akan pernah. Kau adalah bagian darinya, sama seperti ibu. Kau akan selalu menjadi miliknya, dan dia akan selalu kembali padamu."
Ia menutup mata, memutar ulang setiap detail kecil hari itu dalam benaknya. Cara Aaron menatapnya, cara ia menyuruh Susan menyiapkan teh, bahkan anggukan kecilnya saat Claire meletakkan air di mejanya. Setiap ingatan itu terasa seperti tetesan madu, memabukkan indranya. Ia telah menunggu ini begitu lama, menunggu Aaron untuk melihatnya, untuk peduli padanya. Dan sekarang, itu terjadi. Perlahan, canggung, tapi nyata.
Claire tertidur dengan senyum di wajahnya, bermandikan cahaya rembulan yang masuk, memimpikan masa depan di mana Aaron akan sepenuhnya menjadi miliknya, dan bayi di dalam kandungannya akan menjadi jembatan abadi di antara mereka. "Aku sangat menginginkannya…" suaranya berbisik lembut, tenggelam dalam kegelapan.