Naura, seorang gadis cantik, santun, cerdas dan selalu ceria. Dia seorang dokter spesialis anak di usia 28 tahun. Banyak laki-laki dekat dengannya namun orang tuanya tidak pernah menyetujui karena Naura tidak boleh menikah dengan orang lain!
Naura memiliki 3 orang kakak laki-laki. Fathur, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, sudah menikah. Zamy, kakaknya yang nomor dua, seprofesi dengannya, seorang dokter kandungan yang bekerja dengannya di sebuah klinik yang dibangun orang tua mereka. Klinik terkenal ini berada di ibukota propinsi bernama Honey Bee buka mulai jam 4 sore.
Zamy dan Naura dekat sejak kecil. Zamy sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. Kakak yang ketiga adalah Rahman, pengusaha Rumah Makan Sea Food di kota kecil tempat ayah ibu mereka tinggal.
Hingga suatu hari, semua menjadi berubah ketika orang tua mereka membuka sebuah rahasia besar selama ini. Naura harus menikah dengan Zamy, kakak tersayang yang ternyata bukan saudara kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afa's Mommy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Rasa
Sekembalinya dari rumah tante Mira, setelah tabir rahasia besar terkuak. Sesuai arahan pak Ram yang sudah melaporkan kasus ke pihak berwajib, keesokan harinya kami mengikuti metode identifikasi individu terpercaya, tes DNA. Aku, Pak Ram, tante Erlinda, tante Sofie, dan dokter Nina selesai mengikuti seluruh prosedur pemeriksaan operasional standar yang sesuai dengan panduan dari Scientific Working Group of DNA Analysis Method dan rekomendasi dari komisi DNA International Society of Forensic Genetics. Keesokan harinya setelah diambil sampel darah, kami sudah menerima laporan hasil tes DNA, hasilnya memang sesuai, aku cocok dan mewarisi DNA ayah biologisnya pak Ram dengan DNA ibu Erlinda. Sama denganku, Nindya juga anak biologis ayah dan tante Mira. Dokter Nina juga fix sebagai anak kandung tante Sofie. Sedangkan pak Bayu tidak mau mengikuti rangkaian tes DNA. Karena dia yakin tanpa tes bahwa Nina bukan anak biologisnya.
"Jujur nak, entah kenapa sejak kamu dikenalkan Nina pertama kali datang ke rumah, memang mama sudah ada getaran di hati. Ada rasa yang begitu indah mengalir di sanubari. Serasa oksigen dalam aliran darah mama bertambah saat berjumpa denganmu. Indah, nyaman begitu saja. Tiap kali melihatmu ada bahagia membuncah. Tapi tidak sedikit pun ada firasat bahwa dirimu anak kandung mama." Tante Erlinda memelukku sambil berurai air mata. Aku ikut menangis terharu. Ikut bahagia setelah tahu siapa orang tuaku sebenarnya. Namun jauh di lubuk hatiku, serasa ada sesuatu yang hilang juga. Umpama bahagia itu seperti sebuah puzzle, serasa ada potongan yang hilang, dan belum aku temukan sehingga kebahagiaanku maaih terasa belum sempurna.
"Naura bersyukur bisa mengetahui siapa orang tua Naura yang sebenarnya...." Aku membalas kalimat tante Erlinda. Kurasakan debaran jantung tante Erlinda berpacu lebih dari biasa. Tante Erlinda tiba-tiba melepas pelukanku dan memegang kedua pundakku.
"Naura, kau anak kami satu-satunya...," Tante Erlinda mulai bicara sambil menatap mataku.
"Bukan satu-satunya tante, tapi dua. Anak tante dua orang. Jangan abaikan dokter Nina." Aku memotong.
"Iya. Dua orang. Walaupun..., memang dari dulu mama heran dengan sikapnya yang tidak mewarisi sifat kami."
"Jangan bicara seperti itu tante...." Aku kembali memotong. Kulihat Nina duduk tak bersemangat di dekat tante Sofie. Berbanding terbalik dengan tante Sofie yang begitu agresif memeluk bahkan mencium putrinya. Sesekali dokter Nina menoleh kurang senang melihat ke arahku dan tante Erlinda.
"Naura...." Tante Erlinda kembali bicara.
"Ya tante...." Aku menjawabnya.
"Bisakah Naura mulai memanggil mama kepada wanita hina ini?" Tante Erlinda berlinang air mata. Aku kembali memeluknya erat. Kubisikkan dengan halus dan lembut.
"Naura akan berusaha tante, walaupun mungkin butuh waktu lebih. Mari kita sama-sama bersabar dan menjaga perasaan semuanya. Naura punya ibu di Mentok. Naura punya kakak laki-laki yang semuanya sudah mengenal tante dengan baik. Maka butuh waktu untuk merubah semuanya, khususnya untuk menjaga hati dokter Nina." Aku melepas pelukan. Tante Erlinda hanya mengangguk dan tersenyum. Dia mengusap-usap kepalaku.
"Terima kasih. Dengan ibu dan keluargamu, nanti juga kita akan menjadi keluarga dengan mereka. Bukankah Nina akan menjadi iparmu?" Tante Erlinda meyakinkan diri bicara. Aku tersentak. Namun berusaha menutupi kegalauan.
"Insya Allah." Aku menjawab.
"Naura...," Tante Erlinda (mama) bicara lagi.
"Ya tante." Aku cepat menjawab.
"Mama nak." Mama mengoreksi sambil mencubit pipiku. Aku hanya mengangguk tersenyum.
"Eh iya ma..., ma." Canggung sekali rasanya merubah kebiasaan yang sudah melekat. Nina masih sering mencuri pandang ke arah kami. Aku berusaha bersikap sewajarnya saja walaupun terkendala sikap mama yang berlebihan.
"Kapan Naura pindah ke rumah mama nak? Nina sudah mengatakan akan pindah ke rumah Sofie meski mama sudah bilang tetaplah di rumah." Mama mulai bicara serius. Aku memegang tangan mama.
"Mari ma kita bersikap seperti sebelumnya untuk menjaga perasaan semuanya. Kalau Naura tidak pindah ke rumah mama segera, kurasa Nina masih akan tetap di sana. Jadi tolonglah mama bersikap lebih bijaksana. Nanti lama-lama semua akan menyesuaikan." Aku mencoba bijaksana. Bukankah waktu yang lama 28 tahunan bersama mama. Dokter Nina pasti terpukul. Aku tidak ingin itu terjadi.
"Ma, Naura mau pamit duluan pergi, mama jangan jauhi Nina. Bersikaplah biasa saja." Aku melepas pegangan tangan mama. Mama hanya mengangguk. Dia kembali memelukku erat. Kemudian setelah berpamitan dengan tante Sofie dan dokter Nina aku meninggalkan Rumah Sakit menuju rumah.
Sementara memanaskan mesin mobil aku mencoba menelpon bang Fathur untuk mengabarkan berita tentangku. Namun berkali-kali kucoba menelpon bang Fathur tidak menjawab. Kuhubungi yuk Vioni juga sama, tidak ada yang menjawab. Aku berdebar tidak karuan ketika mencoba menghubungi bang Zamy, namun nomornya masih tetap tidak aktif. Kemarin di praktik dia tidak ada malah digantikan dokter Husni di klinik. Kata perawatnya bang Zamy ada urusan mendadak. Aku ingin menangis, biasanya dia akan menanyaiku hampir per jam sekali. Ini tidak ada kabar sama sekali dari kemarin. Rasanya benar-benar ingin menjerit sekuat tenaga. Aku mulai sangat merindukannya. Perasaanku bergetar tertahan tangis, menyesal kemarin tidak bersamanya. Kutarik nafas dalam, lalu kucoba menelponnya kembali, berharap dia akan menjawab seperti selama ini, 'ya Bee ku sayang..., ya adekku cerewet..., ya adekku pipi bakpao..., ya manjanya abang...,' dan segala panggilan sayangnya kepadaku. 24 jam saja aku tidak mendengar suaranya terasa sangat menyesakkan dada. Mengapa ada perasaan seperti ini. Mengapa harus ada rindu yang menelusuk menyakitkan. Tak pernah kualami kepada siapa pun. Berapa kali dekat dengan orang lain aku tak pernah merasakan getaran aneh menyengsarakan seperti ini. Lalu perlahan kutarik nafas, mencoba menghubunginya. Namun tetap saja nomornya tidak aktif. Aku menelpon ayah, biasanya ayah akan menenangkanku saat aku marah, galau atau mendapat masalah. Namun lagi-lagi ayah memang susah dihubungi saat jam kerja. Aku menelpon ibu berkali-kali juga tidak diangkat. Menelpon bang Rahman katanya dia sedang sibuk packing. Ya Allah rasanya tersiksa sekali. Aku mencoba mengirim pesan di grup baiti jannati, namun tak satu pun respon balasan. Akhirnya aku melemparkan hp ke kursi samping dengan kesal. Mengapa semua seperti kompak tidak mau menerima telponku. Aku meninggalkan rumah sakit umum dan memutar arah menuju rumah sakit Bhakti Timah tempat tugas bang Zamy. Aku yakin dia ada di sana. Dengan alasan ingin minta maaf tidak memberikan tumpangan, hatiku bersorak ingin menemuinya. Kuabaikan perutku yang keroncongan karena belum makan nasi dari pagi. Hanya minum teh dan sarapan roti. Jam 11 siang, aku yakin jadwal bang Zamy biasanya di poli kandungan. Sesampainya di Rumah Sakit Bakti Timah aku langsung menuju poli kandungan. Di koridor beberapa kali aku berjumpa rekan sejawat yang kerja di sana. Saat di poli kandungan, aku melihat papan pengumuman dengan keterangan bang Zamy tidak ada. Lalu sebelum ada yang mengenaliku, aku segera pergi meninggalkan poli. Namun di jalan aku bertemu dokter Ilham, rekanan bang Zamy yang sudah mengenalku.
"Eh dokter Naura, barulah pagi tadi disebut-sebut. Bagaimana kabarnya bu dokter?" Dokter Ilham menyapaku. Aku tersenyum mengangguk.
"Baik dok alhamdulillah. Bagaimana dengan dokter? Lho ada apa sebut-sebut saya...." Aku balik bertanya.
"Alhamdulillah, beginilah kondisinya sehat, nggak tahu kedepan-depannya nanti mudah-mudahan tetap sehat ditengah covid-19. Hehe...." Dokter Ilham senyum getir.
"Amiin." Aku menjawab.
"Jadi penasaran kenapa sebut-sebut saya pagi tadi?" Aku beharap yang menyebut-nyebut adalah bang Zamy.
"Lha kan di cover koran kembali muncul icon dokter rumah sakit umum. Hehehe..., memang tak tertandingi pesonanya." Dokter Ilham menggodaku.
"Ah bisa saja dok." Aku kecewa, mereka menyebutku hanya karena melihat berita di koran bukan karena bang Zamy bercerita perihalku kepada mereka.
"Eh, ngomong-ngomong dokter Zamy beruntung banget ya.... hehe...." Tiba-tiba dokter Ilham kembali bicara sambil berjalan.
"Beruntung bagaimana maksudnya?" Aku bertanya serius dengan menghentikan langkah.
"Itu yang kemarin. Dia telat terbang ke pertemuan kemenkes untuk membahas langkah pencegahan Covid-19 mewakili direktur."
"Nah terus?"
"Lho masa adiknya nggak tau sih?"
"Dia belum cerita."
"Dokter Zamy kan gagal perginya, katanya mobilnya mogok, makanya ikut meeting dengan aplikasi zoom. Nah pagi tadi dokter yang direktur rumah sakit Prabumulih dan Gorontalo dinyatakan meninggal karena covid 19. Harusnya kalau Zamy ikut pertemuan dia pasti kontak langsung dengan mereka. Kabarnya para direktur rumah sakit yang hadir di sana sudah banyak yang positif hasil rapid testnya."
"Oh...."
"Mungkin mau syukuran ya dok, dokter Zamynya malah cuti setelah kejadian itu." Dokter Ilham berspekulasi. Dia kemudian pamit berjalan mendahuluiku. Sedangkan aku kembali berpikir dan mencoba menelpon bang Zamy namun tetap tidak aktif. Aku kecewa lagi. Merasa belum puas mencarinya kuputuskan pergi ke klinik. Namun hanya kudapati mang Ridwan, katanya Zamy mau istirahat neng, kurang sehat. Tetapi kulihat mobilnya ada di garasi. Kucoba ke rumah utama, memang tidak ada siapa-siapa. Kamar dan dapurnya rapi, wastafelnya kering. Tak ada tanda-tanda bang Zamy ada di rumah. Aku kesal dan kecewa. Bang Zamy mungkin sedang benar-benar marah dan tidak ingin menemuiku.
Lalu kutelpon 2 perawatku di klinik, kubilang agar mereka istirahat 3 hari. Aku mau istirahat. Aku tak tahan lagi. Entah kenapa rasanya aku mulai kesal kepada bang Zamy. Kenapa handphonenya dimatikan sejak kemarin. Sungguh sangat menyebalkan.
****
Akhirnya setelah mengemas sedikit pakaian, kuputuskan pulang ke Mentok, rasanya ingin sekali menangis di pelukan ibu sambil mengadukan ulah bang Zamy seperti masa kecil dulu. Aku menyetir sendiri, menempuh perjalanan 2 jam kecepatan 70 hingga 100 km/jam sambil sesekali menelpon bang Zamy. Namun masih tidak aktif. Aku semakin galau. Entah kenapa pula hatiku menjadi brutal tak karuan. Otakku hanya terpikirkan wajah bang Zamy, senyum dan candaannya. Terakhir aku ingat panggilannya yang mau menumpang mobilku namun kuacuhkan.
"Ah....!" Aku kesal sendiri mengingat ulahku yang kekanak-kanakan.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan jauh sendirian aku sampai di Mentok. Sebuah kota kecil yang telah menempa kehangatan persaudaraan kami. Mentok yang selalu mengingatkanku dengan kenangan-kenangan manis kami. Mentok yang telah menitipkan aku kepada keluarga yang tepat. Di Mentok inilah aku dibuang semasa bayi. Di Mentok inilah aku menghabiskan hingga 18 tahun lamanya bersekolah. Barulah menempuh sarjana kedokteran ditambah coas dan spesialis di luar Mentok. Kembali berseliweran kenangan-kenangan dulu dimana ketiga kakakku bergantian mengantarkan aku pergi les, mengaji, ke sekolah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Ah indah masa itu. Kembali ingatanki saat aku menangis sejadi-jadinya ketika bang Zamy ikut berkemah. Lantas aku diantar ayah ibu ke perkemahan dan membuat tenda sendiri yang jauh dari peserta resmi. Aku ikut berkemah demi tidak berada jauh dari abang kesayangan, dokter Zamy. Ah, ternyata aku memang sudah begitu merepotkan bang Zamy dari kecil. Namun apa balasanku? Aku malah menolak mengantarnya ke klinik hanya demi menjaga gengsi dengan tante Sofie. Ah. Serasa akulah manusia paling jahat yang terlanjur terlahir ke bumi.
Aku memperlambat laju kendaraan. Kumandang adzan Ashar terdengar di perbatasan Mentok dan Belo Laut. Aku sudah berada di mulut kota Mentok. Kutelpon ibu katanya lagi ada rapat penyesuaian jam kerja pegawai negeri dan honorer akibat virus corona bersama Bupati. Kutelpon ayah katanya akhir bulan ayah akan pulang malam, dan di kantor ada selisih laporannya, mau menyelesaikan laporan dulu. Menelpon bang Rahman katanya lagi di kecamatan Kundi beli barang-barang isi rumah makan. Udang, ikan, kerang, cumi yang masih fresh memang seminggu sekali diambil dari wilayah Kundi. Lha perasaanku semakin tidak waras, sudah jauh-jauh datang ke Mentok dari Pangkalpinang sendiri, eh di rumah juga bakalan tidak ada orang. Aku menarik nafas panjang. Beginikah balasan Allah karena aku telah menzholimi orang yang sangat menyayangiku? Aku menggerutu sendiri.
***
Aku memarkir mobil di garasi. Kulihat bude Marni menyambutku lewat pintu samping. Hanya bude Marni. Dia pembantu rumah tangga ibu sejak aku bayi. Rumahnya persis di belakang rumah kami. Hanya dibatasi sehektar tanah kosong. Suaminya sudah meninggal dan dia mempunyai 3 orang anak yang semua sudah menikah. Dia tinggal bersama anaknya yang bungsu. Dulu jika ibu tidak sempat aku sering diantarkannya ke sekolah atau mengaji. Dia keturunan jawa, tulen. Logatnya tak pernah terkontaminasi logat domisili, bahasa Bangka.
"Ih ya Allah gusti.... ada neng dokter cantik..., assalamualaikum neng...." bude Marni menyalamiku. Dia langsung mengambil koper yang kubawa.
"Waalaikumsalam bude, gimana kabarnya." Aku bertanya kepada wanita yang begitu setia bersama keluargaku.
"Nggih sae-sae mawon neng." Dia menjawab sambil masuk ke dalam rumah. Koperku langsung ditaronya ke kamarku. Sementara aku cuci tangan dan memakai hand sanitizer, lalu mendekat ke arah meja makan. Kulihat di atas kompor bude Marni lagi masak sesuatu.
"Budhe, sampean lagi masak nopo to?" (Budhe, lagi masak apa sich?) Aku mengajaknya bahasa kerajaan sendiri. Bude Marni berlari-lari mendekatiku.
"Iki lhoo neng budhe lagi masak sayur kanggo madange abangmu." (Ini lho dek, Budhe lagi masak sayur buat makan abang kamu). Wah air liurku mulai mengembang di mulut. Sayur ini kesukaan kami. Sayur pepaya mengkal campur kacang panjang, sedikit kacang tanah, pucuk katu dan pucuk melinjo juga sedikit baby corn. Masakan khas Bangka yang diolah tangan Jawa. Rasanya seger, pedes asam manis, gurih-gurih. Pikirku bang Rahman sunggu sehati denganku meminta sayur ini sama bude Marni.
"Naura bantu nggih budhe…" (Naura bantu ya bude…)
"Oh..., yo wes, iku sayure tinggal angkat tok neng." Budhe nyengir, begitupun denganku.
"Ya Naura bantu angkat...." Aku terkekeh sendiri. Aku memindahkan sayur 'lempah darat' bahasa Bangkanya itu ke dalam cawan besar. Kupisahkan semangkok kecil, aku mencicipinya bersama sepotong ayam goreng.
"Nggak mandi dulu neng dokter? Mau air hangat ndak? Biar budhe siapin." Budhe Marni memijat-mijat pundakku. Ah nyaman sekali.
"Mau mandi sebentar lagi budhe. Tapi Naura mau nambah sayurnya semangkok lagi ya...." Aku menyendok sayur lagi ke mangkokku. Segar sekali rasanya.
"Mau air panas ndak neng?" Lagi-lagi budhe bertanya.
"Nggak usah budhe, Naura juga agak gerah, enak mandi air dingin saja, biar seger...." Aku menjawab.
"Yo wes lah. Budhe mau beres-beres lagi sedikit ya...." Bude Marni kembali dengan rutinitasnya. Dia dengan cekatan membersihkan panci-panci bekas memasak, mengelap meja keramik, menyemprot-nyemprot laci kitchenset, mengelap-ngelap dalam kulkas. Merapikan perkakas dapur, membuatkan teh hangat persiapan ibu pulang bersama yang lainnya. Dia tidak perhitungan dengan tenaga sama sekali, dari dulu. Yah kata tetangga yang nyinyir wajar dia rajin, soalnya ibu menggajinya sama dengan gaji pokok ASN golongan 3.a.
Kuhabiskan makanku, dan membawa mangkok kotor ke wastafel. Baru saja mau mencucinya bude Marni langsung memegang tanganku.
"Biarin neng biarin jangan dicuci biar budhe mandi sana gih hust hust hust." Dia bicara tanpa jeda sambil mendorong dan menepuk pantatku. Bahkan dia mengusirku seperti mengusir push push. Ah budhe memang Te O Pe sekali.
"Hanya 3 biji budhe, mangkok satu, gelas satu, sendok satu. Masa gak boleh Naura cucinya...." Aku protes.
"Ya ndak boleh.... Mandi sana!" Bude Marni langsung menjawab. Aku nurut saja, tersenyum menuju kamarku. Bersiap mandi, sholat Ashar dan bersantai sambil menunggu ibu pulang.
***
Sejam lebih aku bersantai di kamar, sesekali keluar menyetel tivi, dan karena tidak ada acara yang menarik, maka aku ke kamar lagi. Akhirnya setelah bolak balik kamar ruang tivi dan karena lelah menyetir sendiri dari Pangkalpinang ke Mentok akhirnya aku tertidur pulas dan sejenak melupakan dunia yang sedang sakit-sakitan.
"Nauraaa..., Nauraaa..., Nauraaa..., ayo bangun sayang sholat Magrib dulu. Nanti lanjut tidurnya." Tiba-tiba kurasakan sentuhan hangat ibu yang kunanti dari sore tadi. Rupanya aku ketiduran.
"Ibuuu..., kapan ibu pulang? Naura kecapean tadi nunggu ibu." Aku menggeliat sambil memeluk ibu. Nyaman sekali merasakan desah nafas wanita yang sudah mengasuhku sejak bayi. Tak bisa aku membandingkan kehangatannya dengan wanita lain, yang pasti aku merasakan bahagia sekali berada di dekat ibuku. Tak peduli dia bukan ibu biologisku.
"Kecapean nunggu ibu apa karena nyetir sendiri?" Ibu memencet hidungku lalu menarik kedua tanganku agar aku segera bangkit.
"Dua-duanya melelahkan bu...." Aku menyahut malas sambil menggeliat lagi.
"Kok datang tidak kasih kabar dulu? Kan ibu bisa minta tolong Mang Ridwan yang nganter." Ibu menatapku.
"Malas ah, Naura bisa mandiri kok." Aku menjawab sekenanya.
"Senangnya putri ibu balik lagi. Kirain kalau sudah ketemu orang tua kandung bakalan lupa sama ibu." Ibu memelukku lagi.
"Lho? Kok ibu tahu? Dari siapa?" Naura baru saja mau kasih kabar. Tapi Naura tidak akan pernah sedikitpun berubah sama ibu dan keluarga. Kasih sayang dan cinta ibu, ayah tak kan pernah tergantikan." Aku semakin erat memeluk ibu.
"Terima kasih sayang...." Ibu memelukku lagi.
"Ibu tahu dari siapa Naura ketemu orang tua kandung?" Aku bertanya lagi.
"Ada deh..." Ibu acuh.
"Ayolah bu, ditelpon tante Sofie ya? Apa tante Erlinda?" Aku kembali bertanya.
"Katakan dulu siapa yang telpon ibu...." Aku memaksa.
"Polisi."
"Polisi?"
"Iya. Papa kandungmu melaporkan semuanya, dan pihak berwajib langsung mengumpulkan bukti dan data lainnya."
"Oh...." Aku mendesah.
"Sudah pergi sana wudhu lalu sholat Magrib nak nanti keburu Isya." Ibu menarikku yang masih bermalas-malasan.
"Oke bu...." Aku beranjak.
"Nanti susul ibu ke dapur ya, kita makan malam. Ayahmu pulang larut katanya, Rahman masih di jalan mau langsung mengatur barang di rumah makannya." Ibu menutup pintu kamarku lalu pergi. Sementara aku pergi berwudhu, sholat dan membaca-baca status beberapa teman di WhatApp dan facebook. Lalu kucoba lagi menghubungi bang Zamy, namun masih tidak aktif juga. Hatiku perih sekali. Ada rasa yang tidak biasa. Aku sangat merindukan sosok yang satu itu. Namun kenapa hpnya sejak aku menolak dia menumpang mobil tak pernah aktif lagi. Seketika air mataku keluar. Aku benci merindunya. Aku melempar hp ke atas tempat tidurku dan pergi menyusul ibu. Namun baru saja masuk dapur, aku seakan melihat hantu, terkejut, terkesima, terpana melihat teman ibu duduk di meja makan. Bang Zamy. Aku menatapnya, namun tak ada sapaan seperti hari-hari kemarin darinya. Bang Zamy menatapku, datar. Reaksinya tak mampu kuartikan lebih. Dia marah, iya pasti dia marah.
"Silahkan duduk nona...."
"Mau duduk di kursi mana tuan putri?"
"Mau diambilkan nasi adinda sayang?" Aku membayangkan hari-hari yang lalu, bang Zamy selalu berdiri bila aku datang terlambat ke ruang makan. Dia akan menuntunku duduk bahkan melayaniku. Dari kecil dia sudah memperlakukanku seperti itu.
"Naura duduklah nak." Ibu tiba-tiba membuyarkan bayangan kebahagiaanku di masa lalu. Aku masih menatap bang Zamy yang mulai menyendok aneka sayur dan lauk. Dia mengacuhkan kehadiranku. Ibu bergantian menatapku dan bang Zamy sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bang Zamy...." Seperti sekian tahun lalu, ketika menyesali dan kasihan melihat bang Zamy dicubit ibu karena aku mengadu dia menggodaku terus, aku memanggilnya lirih. Tangisku tertahan. Air mataku langsung keluar. Namun bang Zamy sedikitpun tak bergeming. Dia bahkan tidak menatapku sama sekali.
"Makanlah nak, makanlah Naura. Abangmu sudah kelaparan. Makanlah sayang." Ibu menarik lenganku lalu mendudukkanku di kursi sebelahnya. Air mataku mengalir deras. Dadaku sesak menahan kerinduan dan rasa bersalah. Aku mencarinya sejak kemarin, namun tak kunjung ketemu karena hapenya tidak aktif. Sekarang dia ada di rumah ibu, dengan wajah datar, acuh dan tak menegurku sama sekali.
"Kapan bang Zamy ke Mentok? Kenapa hape tidak aktif dari kemarin?" Suaraku bergetar bertanya. Sekilas bang Zamy menatapku.
"Makanlah...." Bang Zamy hanya mengucapkan sepatah kata itu lalu kembali melanjutkan makannya. Ibu memandangku kasihan.
"Bang Zamy. Abang masih marah sama Naura? Maafkan Naura bang, Naura nggak tahu kalau abang serius mau pergi buru-buru...." Aku mulai menangis. Bang Zamy terus saja makan. Dia diam tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku berharap dia marah, menamparku, membanting piring atau apalah sebagai luapan emosi kemarahannya. Namun tidak ada seperti itu. Senyap saja. Hanya aku yang mulai sesekali menarik hidung yang terasa beringus karena mengeluarkan air mata, kemudian menghembuskan dengan tisu. Ibu berdiri dan mengelap air mataku dengan tisu.
"Zamy!" Mata ibu mendelik besar ke arah bang Zamy. Namun bang Zamy tetap santai menikmati kuah 'lempah darat'. Beberapa kali dia menghirupnya dengan sendok.
"Ya bu." Dia menatap sekilas kepadaku. Lalu tangannya sibuk memainkan hape di tangan kirinya. Hpnya aktif tetapi kenapa dihubungi tak pernah aktif. Apa jangan-jangan nomorku diblokir atau dia ganti kartu baru tanpa memberitahuku.
"Bang Zamy." Aku masih merengek minta perhatian. Namun tangan kirinya begitu cekatan memainkan tombol keypadnya. Dia asyik melihat-lihat video memancing di facebook. Aku bisa mendengar dari suara di videonya.
"Bang Zamy maafkan Naura." Aku berdiri dari dudukku, namun bang Zamy masih tak peduli. Jangankan menjawab, melihatkupun dia tidak mau. Aku menangis meninggalkan meja makan. Sesak rasanya dada ini. Tak tahan rasanya diacuhkan orang yang sangat kurindukan. Sangat menyakitkan. Sangat menyiksa. Benar-benar sangat sakit dibuatnya.
"Zamy! Kau urus adikmu." Sebelum masuk kamar aku masih sempat mendengar ibu bicara kepada bang Zamy. Aku merebahkan badan di kasur. Kutumpahkan tangisku sejadi-jadinya di atas bantal. Inilah pertama kalinya aku merasakan kepedihan yang paling dalam. Diacuhkan orang yang benar-benar sangat kurindukan. Dadaku benar-benar sesak, mataku serasa sudah membengkak. Kadang terasa sedikit asin di mulut karena tertelan air mata. Ingin sekali rasanya pergi jauh, pergi ke tempat dimana tidak ada bang Zamy yang menyebalkan. Tiba-tiba bel rumah berbunyi, ada yang datang. Aku segera bangkit. Berharap ayah sudah pulang. Kuusap-usap mata, agar tidak tampak seperti habis menangis. Karena yakin ibu dan bang Zamy sedang makan di dalam, aku keluar mengintip ke luar dan segera membuka pintu depan.
"Maya....?" Kulihat sahabatku yang dari SMP naksir berat sama bang Zamy yang datang. Seseorang menunggunya di atas motor.
"Naura kapan datang? Wah lain kali saya mampir, ini sebentar saja. Dompetnya Zamy ketinggalan di rumah." Maya memberikan dompet kemudian langsung berpamitan pulang. Deg! Pertama kalinya jantungku serasa ingin copot karena cemburu. Kenapa dompet bang Zamy bisa ada di rumah Maya? Dan ketika memutar badan habis mengunci pintu, tiba-tiba bang Zamy sudah berada di belakangku. Aku menghindar lalu meletakkan dompetnya di meja tamu, dan kembali masuk ke kamarku. Melanjutkan tangisku yang sempat terjeda. Sesak di dadaku semakin menjadi-jadi karenanya. Aku cemburu!