Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XIV
Kegersangan hidup, pasti terdapat kala itu yang menyertai langkah. Begitu juga dengan Jordan. Setelah sibuk selama semingguan ini, sibuk mengukuhkan diri, mengukuhkan pikiran, dan sibuk mencari keberadaan sosok masa lalu. Menyelami luasnya samudra yang semakin memberengut.
Langkah Jordan membawanya pada sebuah rumah kecil diantara berbagai padatan rumah. Mobilnya telah ia parkirkan jauh dari gang ini, dikarenakan jalan menuju rumah ini tak bisa untuk mobilnya.
Rumah itu sederhana, tapi hangat didalamnya. Bacaan al-Qur'an tampak terdengar dari dalam rumah. Menambah kesan rumah yang dirindukan.
Sudah semingguan ini, Jordan mencari rumah yang tengah mantan istri dan anak-anaknya tinggali kini. Banyak alasan yang Jordan layangkan demi sebuah deret huruf dan angka pada sebuah kertas kecil. Jordan merasa kesal sekaligus lega, kala yayasan yang tengah mengurus event beasiswa yang di ikuti anaknya sangat menjaga privasi. Kesal karena rumitnya peraturan, dan lega karena merasa aman terhadap privasi anak-anaknya.
Langkah Jordan menuju pada sebuah gerbang pada rumah itu. Matanya bergulir menatap keseluruhan lingkungan rumah. Terdapat sesak dilubuk hatinya, mengingat janji-janji yang telah ia lontarkan pada wanita itu. Dulu berjanji akan mencukupi kebutuhan wanita itu dan anak-anaknya kelak, tetapi kini wanita itu harus berjuang untuk merasa cukup pada rumah kecil untuk keluarga kecilnya. Sangat jauh dari rumahnya. Rasanya Jordan merasa sangat sumpek kala harus memasuki jalan menuju rumah ini.
Tapi tak apa, Jordan harus merasa bahagia, paling tidak hal terpentingnya dimasa lalu dapat berlindung dibawah atap rumah itu. Jordan akan mencoba bersyukur dibalik sesak yang semakin menguar.
" Assalamualaikum. " Ucap Jordan, merasa harus sedikit lebih sopan. Degup jantung Jordan berdetak begitu kencang dan menghimpit.
Beberapa saat menunggu, pintu rumah itu mulai terbuka. Seorang wanita yang sempat ia sangat cintai dulu keluar dari dalam rumah itu, bersama dengan ruko bunga-bunganya. Membuat jiwa Jordan bergetar. Sosok itu masih sama halnya dengan sosok yang berada dimasa lalu.
Mata itu sempat membola sebentar. Setelah beberapa saat wanita dimasa lalunya itu mulai mengerjapkan mata dan menetralkan raut wajahnya. " Wa'alaikumussalam.. " Ucapnya melirih.
Gia Answara.
Wanita itu berjalan mendekat ke arahnya, mulai membuka pagar rumahnya. Lalu mulai mempersilahkan Jordan untuk memasuki pekarangan rumahnya.
" Gia.. " lirih Jordan.
Sesak rasanya, kala nama itu kembali terucap dimulutnya kini. Rasanya tubuh Jordan tak berhak mengucapkan nama dari pemilik sosok berharga itu. Rasanya Jordan adalah seorang yang melakukan tindakan kriminal.
" Silahkan masuk. " Ucap Gia memalingkan wajahnya, seolah-olah tak ingin menatap lebih lama pria yang memberi luka pada hatinya itu.
Gia berjalan terlebih dahulu, disusul Jordan dibelakangnya. Saat langkah mereka tertuju pada ruang tengah rumah itu, dapat Jordan lihat kedua anak yang sangat-sangat mirip dengan anak-anak yang berada didalam rumahnya tengah duduk diatas sajadah yang tergelar, dengan tangan mereka yang menggenggam Al-Qur'an disalah satu tangan, baju Koko dan ruko masih lengkap mereka kenakan.
" Shila, Bara. Sini nak.. " Panggil Gia pada kedua anaknya.
Shila dan Bara yang masih sibuk dengan Al-Qur'an mereka pun mulai menghentikan bacaan mereka, menutup mushafnya, dan mulai menghampiri sang ibunda dengan kernyitan didahi.
Mereka bingung. Mereka pikir tamunya hanyalah seorang yang tengah memiliki urusan dengan ibundanya. Mereka pikir tamunya tak akan dipersembahkan masuk, biasanya tamu yang berkunjung hanya sampai dipagar rumah mereka, tak sampai masuk. Jikalau dibawa masuk, kemungkinan karena terdapat hal sangat penting atau bisa juga karena terdapat seseorang yang hendak meminang bundanya.
Sontak saja mereka menatap tajam pria yang dibawa masuk oleh ibu mereka. Skeptis terhadap maksud keberadaan pria yang baru saja memasuki rumah mereka itu.
" Ada apa Bun? " Tanya Shila pada sang bunda.
Gia mengusap kepala anak-anaknya penuh kasih. Menatap mereka teramat dalam, kala berbagai gemerlut menguasai seluruh bagian hatinya.
" Shila dan Bara kan sering nanyain Yanda. Maafin bunda yah, sering gak ngasih kepastian buat jawaban yang ditanyakan Shila dan Bara. Bunda tahu, kalian pasti kaget mendengar hal ini. Tapi Yanda sekarang datang, mau bertemu sama Shila dan Bara. " Ucap Gia penuh kelembutan, tak seperti dengannya perasaannya kini.
Shila dan Bara melirik ke arah sosok yang berada dibelakang ibunya, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Batin mereka tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kala sosok yang telah dinanti kini mulai menampakkan diri.
Tentu Shila sebagai seorang putri yang merindukan ayahandanya mulai menitikkan air mata tanpa bisa dicegah. Sedangkan Bara, anak lelaki itu masih teguh dengan pendiriannya dan ekspresi tak terbacanya. Tolong ingatkan padanya, sosok dihadapannya inilah yang menjadi alasan anak lelaki itu harus menanggung luka karena menghadapi orang-orang diluar sana yang mencaci maki. Sosok dihadapannya itulah, yang menjadi alasan betapa kerasnya sang ibunda menutup alat indranya untuk menghadapi dunia yang menodongkan pisau pada mereka.
" Shila, Bara.. " Tercekat, Jordan tak mampu mengucap nama-nama itu. Batinnya berkecamuk, matanya sudah memerah menahan air mata yang ingin menerobos keluar. Mengapa takdir sejahat ini? Ini tak adil bagi Jordan. Jordan tak tahu apa-apa.
Shila mengusap air matanya dengan tangan kecilnya, menatap buliran air mata di telapak tangannya. " Bun, Shila menangis. " Ucap Shila dengan pandangan kosong.
Gia tak berucap, masih mempertahankan kebungkamannya. Wanita beranak 4 itu memilih merengkuh anak-anaknya erat. Dia tahu, anak-anaknya pasti akan merasa sangat kaget, kala hal ini terjadi. Tetapi Gia harus bagaimana? Kala takdir memaksanya untuk membawa anak-anaknya dalam keadaan seperti ini. Tanpa orang-orang tahu, Gia sangat mengetahui perasaan yang dialami kedua anaknya. Bukankah sudah pernah Gia katakan, bahwa Gia baru bertemu dengan sang ayah setelah beberapa tahun ditinggalkan? Tentu Gia tahu apa yang tengah anak-anaknya rasa.
" Its okay.. " Bisik Gia, mengusap bahu kedua anaknya. " Sekarang Salim dulu yuk sama Yanda. "
Gia menjauhkan dirinya dari anak-anaknya. Menuntun Shila dan Bara menyalimi sang ayahanda. Shila menyalimi yandanya dengan amat sangat perlahan. Berbeda dengan Bara, anak itu masih tak berkutik ditempatnya. Sampai-sampai Gia harus mendorong sedikit tubuh sang anak agar mau menyalimi. Pada akhirnya Bara patuh pada perintah sang ibunda.
Untuk saat ini, Bara akan patuh.
Shila menyalimi tangan anaknya sangat lama. Buliran air matanya jatuh, kala tangan besar nan kokoh itu akhirnya menggenggam tangan kecilnya. Akhirnya setelah sekian lama tangan ini dapat menyandar. Arshila rindu. " Yanda.. " Lirih Arshila pilu.
Membuat sesak didalam hati Jordan tak tertahan. " Putri Yanda.. " Usapan kecil tak lupa ia berikan pada sang anak. Mensejajarkan tingginya dengan sang anak, mulai menatapi lamat-lamat wajah anaknya itu. Matanya mulai memerah menahan air mata. Inikah sosok yang selama ini tak ia kenali dan tak ia ketahui? Betapa jahatnya Jordan, sampai keberadaan anak sendiri Jordan tak tahu.
Arshila tak dapat menahan air matanya lagi, dia terseduh, dan mulai menumpahkan air mata pada pelukan sang ayahanda. Anak yang tampak seceria Shila nyatanya pernah rapuh juga. Buktinya kali ini, Shila benar-benar ingin menyalahkan pada dunia, kala harapan demi harapan mulai takut ia rasakan.
Jordan membalasnya dengan pelukan hangat, kecupan-kecupan kecil ia layangkan pada kepala sang anak. Tak lupa ia usapi bahu dan surai Shila yang tertutup ruko bunga-bunganya.
Tentu semua yang dilakukan oleh sepasang ayah dan anak itu tak luput dari perhatian Bara. Sosok anak yang nyatanya juga membutuhkan sosok sang ayah dalam hidupnya. Mengapa dunia begitu jahat padanya? Apa salahnya kini? Bukankah Bara juga sudah berusaha menjadi anak baik, tetapi keberuntungan selalu tak berpihak padanya.
Bara iri, sangat iri. Kala menatap anak-anak seusianya mendapatkan pelukan hangat dari sang ayah. Begitu juga kecupan-kecupan kecil ketika sebelum tidur dari sang ayah juga amat sangat ia nantikan, tanpa ia sadari. Bukankah Bara juga anak kecil? Lalu mengapa terdapat perbedaan hal yang didapat?
Usapan lembut pada bahu Bara seakan menyadarkannya pada lamunannya yang semakin larut. Sontak saja kepala Bara menoleh pada sang ibunda selaku pelaku. Senyuman kecil bundanya layangkan padanya, seolah membuat langkahnya yang sempat merapuh kembali kuat menerjang badai yang akan segera menanti. Mata sang ibu memberi kode untuk segera menemui sang ayahanda.
Bara menghela napas berat, tak mampu menahan beban. Langkah kecilnya membawa tubuh mungil itu sedikit demi sedikit pada yandanya.
Tentu hal itu ditangkap oleh pandangan Jordan, senyuman hangat Jordan layangkan padanya. Masih dengan memeluk sang putri dengan salah satu tangan, tangan Jordan lainnnya mengusap kepala sang putra penuh sayang.
Bara awalnya terkejut setengah mati dengan perlakuan itu, tetapi sedetik kemudian raut wajah anak itu kembali ia netralkan. Memilih menarik tangan sang ayah dari kepalanya dan segera menyalimi tangan sang ayahanda dengan takzim.
Sontak saja membuat hati Jordan mencelos perih. Bahkan kini Jordan mendapatkan perlakuan tak enak dari sang anak. Jordan tak menyalahkan, Jordan hanya merasa perlakuan sang anak sedikit menamparnya pada sebuah realita bahwa Jordan telah terlalu dalam menorehkan luka pada hati seorang anak yang tak bersalah yang berada dihadapannya itu.
Setelahnya, Bara berbalik menatap bundanya. " Bun, Bara ngantuk. Bara mau tidur dulu. " Cicit Bara pelan, menunduk dalam.
Gia menatap sang anak lamat-lamat, dapat Gia lihat pada sang anak yang sudah berair dalam keterdiamannya. Gia menghembuskan napasnya kecil, kembali teringat dengan keadaannya dulu yang kini seolah terulang kembali pada sang anak. Anaknya itu tengah menangis dalam diam, tanpa menginginkan seorang pun tahu penderitaannya.
" Iya, tapi sebelum tidur, bunda minta tolong beresin sajadah sama Al-Qur'annya yah. Bara bisa? " Tanya sang ibu lembut.
Bara mengangguk kecil menyanggupi perintah sang ibunda. Mulai melakukan permintaan bundanya, dan sedikit tergesa memasuki kamar.
...Hidup memang tak ada yang tahu. ...
...Ada apa hari ini....
...Ada apa esok....
...Dan, ada apa dengan masa lalu....