Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 17: Konflik di Paviliun Naga: Kualitas Qi dan Daftar Hitam(Revisi)
Langit sore di Kota Abadi Fana berwarna jingga keemasan ketika Yu Chen melangkah ke Paviliun Langit Terbuka, salah satu cabang resmi milik Aliansi Perdagangan Empat Sekte Abadi. Bangunannya menjulang megah di tengah kota, dindingnya dari batu giok putih dengan simbol naga hijau melingkar di gerbang utama—tanda dominasi Sekte Naga Hijau atas cabang ini.
Paviliun itu penuh dengan hiruk-pikuk. Pedagang spiritual, murid sekte, dan kolektor artefak berdesakan di aula depan. Bau wangi pil spiritual dan minyak formasi bercampur di udara. Yu Chen berdiri di tengah kerumunan, wajahnya tenang namun matanya tajam. Di tangannya tergenggam sebuah cincin penyimpanan kecil berisi tiga pil Ranah Roh—hasil racikannya sendiri, yang ia harap bisa ditukar dengan satu benda langka: Akar Jiwa Hijau, bahan penting untuk memperkuat Roh Semu miliknya.
Seorang pelayan muda dengan pakaian hijau giok menunduk sopan. “Tuan, apa yang ingin Anda perdagangkan?”
Yu Chen mengulurkan cincin itu. “Tiga pil Ranah Roh murni. Aku ingin menukarnya dengan Akar Jiwa Hijau.”
Pelayan itu menerima cincin itu, menyalurkan sedikit Qi untuk memeriksa isinya. Seketika matanya melebar. “Kualitasnya… luar biasa!” Ia menatap Yu Chen ragu-ragu. “Mohon tunggu sebentar, Tuan. Saya akan memanggil penilai senior.”
Beberapa menit kemudian, seorang pria muda dengan jubah naga hijau berjalan masuk. Di dadanya terpampang lambang murid inti Sekte Naga Hijau. Senyumnya dingin, tatapannya tajam seperti ular.
“Pil Ranah Roh yang katanya luar biasa itu, ya?” katanya sambil mengambil cincin dari pelayan. “Izinkan aku memeriksanya sendiri.”
Ia membuka cincin itu, dan aroma pil langsung memenuhi ruangan. Banyak pengunjung Paviliun menoleh, tertarik oleh aroma yang menenangkan jiwa. Namun, bukannya kagum, murid Sekte Naga Hijau itu mengerutkan kening.
“Wangi yang mencurigakan,” katanya dingin. “Terlalu murni untuk pil buatan pengelana biasa. Kau pasti mencampur sesuatu. Pil ini palsu.”
Yu Chen memandangnya datar. “Aku tidak punya waktu untuk bermain kata. Jika kau tidak mampu menilai kualitasnya, panggil penilai yang lebih cakap.”
Kerumunan kecil mulai terbentuk di sekitar mereka. Murid itu mendengus kesal. “Berani sekali kau bicara begitu pada murid Sekte Naga Hijau?” Ia mengulurkan tangan untuk meraih cincin di tangan Yu Chen. “Biar aku sita barang bukti ini.”
Namun sebelum tangannya sempat menyentuh cincin itu, bilah Qi keemasan muncul dari udara, menahan pergelangan tangannya di tempat. Kilatan itu begitu cepat dan bersih hingga sebagian lengan jubahnya terpotong tanpa suara.
Murid itu mundur selangkah, matanya membelalak. “Kau—kau berani menyerangku di Paviliun Aliansi?”
Yu Chen menatapnya dengan tenang. “Aku hanya menahan tangan kotor yang mencoba mencuri.”
Suasana mendadak tegang. Aura para penjaga spiritual di sekitar mereka bergetar, siap bergerak jika perkelahian pecah. Namun pada saat itu, seorang pria tua muncul dari lantai atas. Jubahnya berwarna hijau tua, dengan lambang naga bersayap di dada. Setiap langkahnya memancarkan tekanan spiritual yang menekan dada semua orang di aula.
“Tetua Yang,” bisik seseorang.
Tetua Yang berhenti di depan mereka. Pandangannya menusuk Yu Chen seperti pisau. “Aku mendengar ada yang menuduh pil palsu di paviliun ini. Jelaskan.”
Murid muda itu segera menunduk. “Tetua, pengelana ini mencoba menjual pil mencurigakan. Aku khawatir itu palsu dan—”
“Diam.” Suara Tetua Yang rendah namun tegas. Ia mengambil cincin itu dari tangan muridnya, lalu menyalurkan sedikit Qi. Dalam sekejap, matanya memancarkan kilau biru samar—tanda teknik penilaian tingkat tinggi sedang digunakan.
Beberapa detik kemudian, ia membuka matanya perlahan. Ekspresinya berubah.
“…Pil ini murni. Sempurna. Tidak ada campuran kotor. Bahkan inti Qi-nya memiliki pola spiral tiga lapis, ciri khas pil kelas tinggi.”
Seluruh aula terdiam. Murid yang tadi menuduhnya menelan ludah dengan wajah memucat.
Tetua Yang menatap Yu Chen lebih dalam. “Siapa gurumu?”
“Tidak ada,” jawab Yu Chen tenang. “Aku hanya belajar dari pengalaman dan kebetulan memiliki bahan yang baik.”
“Bahan yang baik tidak cukup untuk menciptakan kemurnian seperti ini,” kata Tetua Yang. “Qi yang kau gunakan untuk menekan energi pil ini… bukan Qi manusia biasa. Qi-mu murni seperti darah naga.”
Yu Chen menahan diri untuk tidak menunjukkan reaksi. “Mungkin Anda terlalu berlebihan, Tetua.”
Tetua Yang menatapnya lama sebelum menyerahkan kembali cincin itu. “Aku akan membeli pil ini atas nama Paviliun dengan harga penuh. Dan sebagai gantinya, kau boleh memilih satu Akar Jiwa Hijau dari gudang kami.”
Yu Chen membungkuk sedikit. “Terima kasih atas kebijaksanaan Anda.”
Namun sebelum ia melangkah pergi, Tetua Yang menambahkan dengan nada tajam, cukup keras untuk didengar semua orang di ruangan.
“Namun, aku tidak bodoh. Kau bukan siapa-siapa yang bisa menghasilkan pil seperti ini. Kekuatan Qi-mu terlalu anomali untuk dibiarkan bebas di pasar.”
Yu Chen berhenti. “Maksud Anda?”
Tetua Yang menatapnya tanpa berkedip. “Mulai hari ini, namamu, entah ‘Yu Chen’ atau siapa pun, telah masuk dalam Daftar Sanksi Level Rendah Aliansi Perdagangan. Kau masih boleh membeli dan menjual barang umum, tapi semua sumber daya tingkat tinggi—pil, artefak, batu roh—akan menolak transaksi atas namamu.”
Kerumunan bergemuruh pelan. Daftar Sanksi bukan hal main-main. Itu berarti seluruh jaringan dagang resmi di Wilayah Suci akan menolak keberadaannya.
Yu Chen memejamkan mata sebentar, lalu menatap Tetua Yang dengan senyum tipis. “Jadi inikah cara Sekte Agung menjaga kehormatannya? Dengan menyingkirkan mereka yang lebih berbakat?”
“Jaga lidahmu, anak muda,” balas Tetua Yang. “Aku memberimu kesempatan untuk pergi dengan tenang. Kalau bukan karena kualitas pilmu, aku sudah menyeretmu ke Dewan Tetua untuk diinterogasi.”
Yu Chen membungkuk singkat. “Kalau begitu, izinkan aku pergi sebelum kebijaksanaan Anda berubah pikiran.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan keluar. Suara langkahnya bergema pelan di lantai giok.
Beberapa saat setelah ia menghilang di balik pintu, Tetua Yang menatap muridnya dengan tajam. “Kirimkan laporan ke Paviliun Langit Gelap. Katakan pada mereka… naga itu sudah muncul.”
---
Malam itu, Yu Chen berdiri di puncak menara penginapan, memandangi bulan penuh yang memantulkan sinar pucat di atas kota. Di tangannya, Akar Jiwa Hijau memancarkan cahaya lembut, seperti denyut jantung alam itu sendiri.
“Jadi begini akhirnya dunia bekerja,” katanya pelan. “Kau memberi sesuatu yang lebih baik daripada yang mereka punya… dan mereka ingin menghancurkanmu karena itu.”
Ia duduk bersila. Udara di sekelilingnya bergetar ketika ia menyalurkan energi dari Akar Jiwa ke tubuhnya. Qi murni mengalir ke Dantian, lalu naik ke pusat alisnya, di mana Roh Semu-nya bersemayam.
Gelombang energi lembut membungkus tubuhnya. Dalam ruang spiritualnya, siluet dirinya perlahan muncul—Roh Semu berwarna keemasan dengan garis halus menyerupai sisik naga di permukaannya.
Ia menarik pedangnya perlahan dan meletakkannya di depannya. “Mari kita lanjutkan.”
Dalam keheningan malam, ia memulai teknik Nada Hening Pedang Jiwa dari Jurus Pedang Abadi Kesembilan. Suara dentingan lembut bergema di ruang spiritualnya. Setiap nada membuat Roh Semu-nya bergetar, seolah dipalu oleh irama alam.
Qi Naga di dalam tubuhnya berputar cepat, berpadu dengan aura pedang. Dalam sekejap, bilah pedang di hadapannya memancarkan cahaya keemasan murni, lalu memudar menjadi transparan.
Yu Chen membuka mata. Cahaya lembut memancar dari irisnya.
“Jadi begini rasanya jiwa yang tajam.”
Ia bisa merasakan perbedaan drastis. Kesadarannya lebih jernih, auranya lebih tenang, dan pedangnya terasa seperti perpanjangan dari pikirannya sendiri.
Namun di luar sana, dunia juga bergerak.
Di atap bangunan Paviliun Langit Terbuka, bayangan gelap berdiri menatap arah penginapan Yu Chen. Sosok itu mengenakan jubah hitam dengan simbol ular melilit bulan di pundaknya—lambang Paviliun Langit Gelap.
“Dia menantang Sekte Naga Hijau dan keluar tanpa luka,” kata sosok itu dengan suara datar. “Qi-nya murni, berdenyut seperti naga. Tak ada keraguan lagi.”
Angin malam berembus membawa kabut tipis.
“Waktunya perburuan dimulai.”