“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 ~ Gauzan Rasyid
“Namun sebuah pertahanan, bukti perjuangan kalau kau berusaha gigih melawan rasa takut, ketidakpastian. Keputusan Abang sudah bulat, bila kau menolak – kami bawa Sabiya dan Intan. Biar dirimu fokus mengurus Gauzan dan pemulihan pasca operasi caesar!”
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Meutia kalau abangnya sudah bertitah dengan nada menusuk, ekspresi tegas. Ia menyetujui, menganggap hal tersebut bentuk kasih sayang keluarga besarnya.
Nyak Zainab, dan lainnya menghembuskan napas lega. Mereka bisa setiap hari menjenguk Meutia selama dia tinggal di kota, dikarenakan Hazeera beserta saudaranya termasuk putri-putri Ikram Rasyid – bersekolah di kota kecamatan juga.
Meutia menikmati sarapan bubur Ayam kampung buatan Nur Amala. Nyak Zainab menyuapi putrinya, menganggap Meutia masih gadis kecilnya yang suka membuat tensinya naik mendapati tingkah ajaibnya.
“Nyak kenapa?” tanyanya setelah menelan bubur.
“Tak ada.” Kepala tertutup hijab itu menggeleng, senyumnya terlihat teduh dengan sorot mata sendu. “Nyak cuma tak menyangka waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin dirimu sering membuat Nyak berteriak, mengelus dada karena ulah diluar nalar manusia normal, Tia.”
“Kini, putri kecil banyak akal dijuluki si Kancil itu benar-benar telah dewasa, keibuan, penuh kasih. Andai saja ayahmu masih ada, pasti dia sangat bangga. Bidadari kecilnya yang selalu ditimang-timang, dipanggil buah hati Ayah – telah menjadi ibu luar biasa.” Sudut bibir Meutia ia lap menggunakan tisu.
Meutia mencium punggung tangan ibunya yang memegang sendok. “Ini berkat Nyak. Kalau tidak, mana mungkin Tia bisa seperti sekarang ini. Nyak yang selalu mengingatkan untuk menjaga rasa ikhlas, jangan takut kepada apapun selagi benar. Menanamkan keyakinan jika Allah senantiasa membersamai hamba-Nya yang penyabar.”
“Masya Allah.” Nyak Zainab mencium pipi putrinya yang lebih tirus daripada saat masih ada Ikram. “Bersyukur selalu ya, Nak. Meskipun berat, terasa tak sanggup, ingat satu hal! Allah takkan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuan mereka. Dibalik setiap ujian ada hikmahnya – layaknya pelangi setelah hujan badai.”
“Iya, Nyak.”
.
.
Enam hari sudah Meutia dirawat. Sekarang dia diperbolehkan pulang, tapi tidak dengan bayinya yang masih memerlukan perawatan intensif.
“Assalamualaikum anak Mamak dan Ayah.” Ia raba kaca inkubator, memandang sayang bayi terlelap. “Dek, Mamak pamit pulang duluan ya, Nak. Nanti setiap pagi hari datang kesini, sorenya hadir lagi bersama kak Sabiya dan kak Intan.”
‘Abang … jagoan kita mirip dengan Meutia, meskipun belum begitu jelas tapi bibir dan hidungnya sudah tampak serupa.’ Ia tersenyum saat melihat jari-jari kecil Gauzan terbuka dari genggaman.
Dikarenakan waktu jenguk sangat terbatas, Meutia menyudahi bercengkrama dengan putranya.
Di luar ruangan NICU, seluruh anggota keluarga sudah bersiap mengantar Meutia pulang ke rumah singgah. Para anak kecil sudah lebih dulu di sana, bermain dihalaman belakang.
Dhien merangkul pundak sahabatnya, berjalan dengan langkah pelan. Meutia menolak kala ditawari duduk di kursi roda.
“Ternyata rasanya begini ya Kak. Meninggalkan anak seorang diri ditempat asing? Seperti tak ikhlas, terus cemas, takut bila ada hal-hal tak diinginkan terjadi.”
"Kau tahu Tia, setiap waktu yang sudah terlewati serta belum dilalui, diriku berharap merasakan hal sama sepertimu. Bukan meninggalkan bayi dirumah sakit, tapi menanti sosok suci itu tumbuh dalam rahimku, tapi sayang … enam tahun sudah berlalu semenjak Dzikri Ramadhan mengucapkan ijab kabul – Tuhan belum mempercayai kami memiliki keturunan,” suaranya tetap terjaga, sama seperti ekspresinya yang tenang. Seolah-olah pembicaraan ini hal biasa baginya.
Meutia memeluk lengan sahabatnya, bersandar pada lengan Dhien. “Tia yakin, suatu saat nanti – kak Dhien pun diberi kesempatan merasakan nikmatnya hamil, melahirkan, menyusui, membersamai buah hati.”
“Semoga saja,” ucapnya santai, tapi dalamnya hati orang siapa yang tahu.
.
.
Hari-hari Meutia mulai disibukkan dengan rutinitas ibu-ibu memiliki anak yang masih sekolah.
Setiap pagi dia membuatkan bekal, menyiapkan sarapan untuk Sabiya, dan Intan. Kemudian setelah mengantar buah hatinya sekolah, bergegas dirinya pergi ke rumah sakit belajar menyusui Gauzan.
Teruntuk perawatan dan kebersihan rumah, serta penyediaan bahan-bahan konsumsi itu urusan asisten rumah tangga. Meutia cuma masak, yang bahan-bahannya terkadang sudah disediakan.
“Meutia ….”
Wanita berkerudung kuning polos itu menoleh ke sumber suara. “Assalamualaikum dokter Jamal.”
“Walaikumsalam, mau menjenguk Gauzan, ya?” tanya pria dewasa, seorang dokter anak yang kebetulan merawat putranya Meutia.
“Betul, dokter Jamal.” Meutia cuma menatap sekilas lalu langsung menunduk, dia memang menjaga jarak terhadap lawan jenis. “Saya ke ruangan NICU dulu ya, Dok. Assalamualaikum.”
Sosoknya sudah tak lagi terlihat, tapi pria berpakaian semi formal lengkap dengan jas putih khas dokter – tetap menatap arah berlalunya Meutia Siddiq. ‘Kau semakin dewasa Dek.’
***
Tepat di umur Gauzan ke 20 hari, bayi mungil itu akhirnya diperbolehkan dibawa pulang.
Betapa senangnya Meutia dan kedua putrinya. Mereka sangat antusias menyambut kepulangan Gauzan yang tidak kembali ke rumah singgah melainkan langsung kampung Jamur Luobok.
“Selamat ya Meutia, akhirnya Gauzan diperbolehkan pulang, tapi ingat pesan saya tadi!” dokter Jamal mengingatkan dengan nada bersahabat. Mereka sedang berada di depan ruangan NICU.
“Insya Allah, saya tidak lupa. Terima kasih banyak atas perhatian, kepedulian, perawatan kepada putra saya ya, Dok,” ucapnya formal. Memeluk hangat anaknya dalam gendongan kain panjang.
“Meutia ….” ia mencoba peruntungan. “Apa sewaktu-waktu saya boleh main ke kampungmu? Selain ingin melihat perkembangan Gauzan, juga berharap bisa menjalin silaturahmi dengan adik tingkat semasa kuliah dulu. Apa diperbolehkan, Meutia?”
“Maaf dokter Jamal. Saya wanita telah bersuami, meskipun semua meyakini kalau dirinya sudah berada disisi Tuhan. Namun diri ini tetap menganggapnya ada, dan ikatan suci kami utuh tak ternoda. Saya mohon kalau Anda memiliki niat lain, tolong urungkan! Namun bila tulus dan murni tertuju ke Gauzan, saya tak keberatan,” ia langsung berterus-terang.
Dokter Jamal tidak terkejut. Rasa kagumnya semakin bertambah – sosok Meutia masih sama seperti dulu. Pendiriannya tegas, menolak mentah-mentah kala pernah diajak menjalin kasih. Dia anti pacaran, dan kesalahannya adalah bertindak bodoh mengajak Meutia terlihat hubungan asmara sebelum halal.
“Insya Allah niat saya tulus teruntuk Gauzan.”
Meutia mengangguk lalu langsung permisi. Dia sudah ditunggu keluarganya di lobby rumah sakit.
***
Dikampung Jamur Luobok, tumbuh kembang Gauzan mengalami kemajuan pesat. Berat badannya pun telah menyamai bobot ideal, bayi tampan itu sekarang sudah memiliki rambut lebat, setelah sebelumnya dicukur abis sewaktu aqiqah.
Umurnya telah memasuki bulan ke enam. Sudah bisa duduk sendiri, mulai belajar merangkak. Dapat merespon bila diajak bicara, mengerti kata larangan, dan aktif mengoceh.
Bukan cuma Gauzan saja yang pertumbuhannya memuaskan. Kondisi psikis sang ibu pun berangsur-angsur membaik.
Meutia berhasil melewati masa-masa sulit, walaupun masih melakukan terapi berkomunikasi dengan dokter Ismi. Akan tetapi, jiwanya jauh lebih sehat. Dia mendedikasikan seluruh waktunya cuma untuk keluarga, dan para malaikat kecilnya.
Menutup hati serapat mungkin bagi para Kumbang jantan yang mencoba memberi perhatian baik lewat orang tua, dan ketiga buah hatinya.
.
.
Empat belas bulan telah berlalu semenjak kepergian Ikram.
"Asalamualaikum Ayah. Hari ini Gauzan tepat berumur satu tahun, kak Intan jalan dua belas tahun, dan kak Sabiya masuk sembilan tahun. Ayah pun bertambah satu tahun umurnya, Alhamdulillah." Meutia tengah bercengkrama dihadapan foto pria berkharisma.
"Alhamdulillah." Intan yang memeluk Gauzan dari belakang, menyatukan tangan adiknya lalu mengusap wajah.
***
Ayah! Ayah tangkap kami ... ha ha ha.
Ayah cari kami sampai dapat!
Huh huh huh.
"Astaghfirullah!"
"Kenapa, Pa? Mimpi itu lagi, ya?"
.
.
Bersambung.