Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJUTAN LAIN
Senja meredup, menghantarkan matahari ke peraduannya. Berganti gemerlap malam bertabur bintang.
Alex meringkuk di atas kasur kecil sambil memeluk tubuh mungil kesayangannya. Sementara Ishana menunggunya di kamar dengan hati berdebar-debar.
Setelah sekian tahun sendiri tanpa suami, sekarang Tuhan kembali memberinya pasangan yang di matanya sangat sempurna. Baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Walau ada rasa takut yang tak kalah besar dari rasa bahagianya.
Ishana kembali terkenang pada kecelakaan dua setengah tahun yang lalu. Kala itu dia baru beberapa bulan melahirkan.
Dia mendapat kiriman foto dari Melia, sahabatnya. Foto tersebut memperlihatkan sepasang laki-laki dan perempuan tengah makan siang di sebuah restoran. Dalam foto itu mereka saling menatap mesra.
"Aku sedang makan di Muara Resto dan melihat Adam, suamimu, tengah makan siang juga di sana dengan wanita itu. Aku nggak tahu wanita itu siapa. Yang pasti dia satu kantor dengan Adam." Tulis Melia yang mampu membakar hati Ishana.
Tanpa pikir panjang, Ishana yang marah langsung mendatangi resto itu setelah menitipkan bayinya pada sang ibu.
Benar saja, saat ia tiba di sana, Adam dan wanita itu tengah makan sambil satu tangan saling menggenggam, seolah takut terpisahkan.
Ishana berdiri di depan meja mereka sambil menatap tajam suaminya.
"Mas, apa yang kamu lakukan?!" teriaknya penuh emosi. Adam dan wanita itu serta orang-orang yang sedang makan di sana tentu saja kaget mendengar teriakan Ishana. Terlebih Adam. Wajahnya langsung memerah karena malu diteriaki di depan umum dan tak menyangka karena perselingkuhannya dipergoki sang istri.
"Ish, ke-kenapa kamu a-da di sini?" tanyanya gugup.
"Tentu saja untuk memergokimu yang sedang selingkuh," jawab Ishana lantang, tanpa menurunkan nada bicaranya.
Adam berdiri dengan gugup. Tangannya melepaskan genggaman perempuan selingkuhannya, lalu mencoba menarik Ishana menjauh dari sana.
"Tenaang sayang, kita bicara di luar." bisiknya dengan suara rendah.
"Buat apa? Supaya kamu bisa bohong lagi?" sahut Ishana dengan nada tajam. Lalu menatap tajam pula ke arah wanita selingkuhan suaminya yang sedang tertunduk salah tingkah, sambil pura-pura mengaduk makanannya.
Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik.
"Jangan bikin malu di sini, Ish," kata Adam perlahan, tapi matanya menyiratkan amarah yang ditahan.
Ishana melipat tangan di depan dada.
"Oh, sekarang aku yang bikin malu, ya? Bukan kamu yang duduk mesra sama perempuan itu?" tunjuknya pada wanita yang masih tertunduk semakin dalam.
Adam menatap sekeliling, lalu kembali menatap Ishana. "Sudah, ayo keluar dulu. Kita bicarakan ini baik-baik."
Dengan enggan, Ishana melangkah keluar, diikuti Adam. Udara panas dan pengap di luar restoran membuat napasnya terasa makin sesak. Ia berhenti di bawah pohon kecil di dekat parkiran.
"Aku bisa jelaskan," ujar Adam mencoba tenang.
Ishana menatapnya tajam. "Mau jelaskan versi bagaimana?" cibir Ishana tetap sinis.
"Dia cuma teman sekantor. Dan hanya dekat biasa, tidak lebih."
"Dusta! Lalu apa yang barusan aku lihat? Kalian saling menggenggam tangan. Itu dekat biasa model apa?"
Dengan emosi Ishana berbalik, hendak pergi meninggalkan Adam.
Tapi Adam mendekat dan menarik lengannya. "Ishana, tunggu!"
"Lepas! Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Aku kecewa sama kamu mas. Disaat aku berjuang melahirkan anakmu, mengurus dan menyusui, kamu enak-enakan selingkuh? Di mana otakmu kamu taruh, mas?!" bentak Ishana sambil menepis kasar tangan suaminya.
"Kita ngomong di mobil. Jangan ribut di sini," kata Adam.
"Aku nggak mau ikut!"
Tapi Adam tak mendengar. Ia tetap menarik Ishana ke arah mobil.
"Mas! Jangan seret aku!" teriak Ishana marah, tapi Adam terus menariknya.
Setiba di mobil, Adam membuka pintu dan mendorong Ishana masuk. Ia sendiri segera masuk dari sisi pengemudi, menyalakan mesin, dan melaju dengan gerakan kasar. Adam lupa, sudah meninggalkan selingkuhannya sendiri di dalam restoran. Apalagi dia tidak meninggalkan uang untuk membayar makanan mereka.
"Apa-apaan sih, Mas?!"
"Kita harus bicara!" balas Adam sambil memacu mobilnya cepat.
Di dalam mobil, mereka kembali bertengkar hebat. Suara mereka saling bersahutan, penuh emosi dan
Amarah. Adam tak lagi fokus menyetir. Ia menoleh ke arah Ishana yang terus memaki, hingga tak melihat truk dari arah berlawanan berbelok mendadak.
Benturan keras tak terhindarkan.
Mobil terpental dan menabrak pohon besar di pinggir jalan.
Semuanya gelap.
Saat sadar di rumah sakit, Ishana dikabari kalau Adam sudah meninggal di tempat kejadian. Dan yang membuatnya bertambah pilu, dari kecelakaan itu diapun harus kehilangan rahim. Akibat benturan keras, rahimnya hancur dan harus diangkat.
Ada lelehan airmata di pipi Ishana saat mengingat kejadian itu. Sekaligus rasa takut yang mengguncang karena, Alex tak mengetahui sama sekali keadaan dirinya yang sudah tak memiliki rahim. Dia takut untuk jujur. Takut Alex tak jadi menikahinya.
Kesehatan Livia semakin hari semakin membaik.sudah dua bulan berlalu, kini Livia sudah bisa menyusui bayinya. Itu semua tak lepas dari dukungan Sean dan Elis, tentunya. Tak terhingga rasa terima kasih Livia pada mereka.
Kini dia sudah tak punya waktu lagi untuk mengingat masa-masa pahit yang pernah dialaminya. Yang ada
Sekarang hanya kebahagiaan dan kebanggaan pada putranya.
Pagi itu Elis baru saja pulang dari pasar, dia melihat Livia sedang menjemur putranya di teras.
"Aduh anak ganteng lagi jemuran ya?" Elis langsung menghampiri.
"Jadi nama si tampan siapa, Bu?" tanya Elis. Livia tersenyum dan pura-pura sedang berpikir keras
"Siapa ya, Bi? Ada banyak pilihan yang maknanya bagus-bagus. Tapi aku masih bingung milih yang terbaik."
"Bagus saja, Bu, biar si tampan ini keseluruhannya bagus. Akhlaknya, kesehatannya, rezekinya, dan semua-muanya bagus," kata Elis dengan semangat dan mimik serius.
"Hemmm, nama yang bagus..." Livia tertawa kecil.
"Tentu saja, aku akan memberi nama yang bermakna bagus secara keseluruhan, Bi. Bagaimana kalau namanya Axcello Kiran Ravendra? Yang artinya, pemimpin gagah berani, penuh semangat, beruntung, dan selalu memancarkan cahaya seperti matahari pagi."
"Waaahhh... itu betul-betul nama yang sangat cocok, Bu. Panggilannya siapa?" Ujar Elis dengan mata berbinar sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Axel atau Cello."
"Cocok lagi! Kalau begitu, Bibi akan masak untuk
Selamatan namanya."
Livia tersenyum sambil mengangguk. Bertepatan dengan itu, ponsel Livia bunyi. Ternyata itu panggilan video call dari Sean.
"kalau gitu, bibi ke dapur dulu ya, Bu. Dadah Cello ganteng..." Elis berlalu sambil melambaikan tangannya pada Cello. Anak itu menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, sambil berceloteh ala bayi 2 bulan. seperti menunjukkan responnya.
Sementara Livia langsung menjawab panggilan video call itu.
"Halo, Liv. Gimana keadaan kamu? Baby kamu gimana?" sapa Sean begitu Livia muncul di layar ponselnya. Wanita cantik itu tersenyum lembut, lalu mengalihkan kamera handphone-nya ke arah Cello.
"Halo, jagoan keren... Wah, lagi berjemur ya. Kamu semakin hari semakin tampan saja. Om jadi punya saingan, nih," canda Sean sambil terkekeh, ditimpali tawa kecil Livia.
"Iya, Om. Om siap-siap aja kehilangan banyak penggemar. Hehe..."
"Tidak apa-apa, asal tidak kehilangan Mommy kamu
saja."
Sean maksudnya bercanda, tapi justru membuat Livia jadi tak enak hati. Dia mengerti sinyal-sinyal yang sering dilancarkan Sean. Tapi sungguh, hingga detik ini dia
Belum bisa membalas perasaan laki-laki baik itu. Tapi kemudian dia mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya, Om, sekarang aku udah punya nama, loh,"
ucap Livia dengan aksen cadel menyerupai anak kecil.
"Oh ya... bagus itu. Akhirnya setelah 2 bulan, kamu punya nama juga. Siapa namamu?"
"Nama aku, Axcello Kiran Revandra." Lagi-lagi Livia bicara atas nama putranya.
Sean terkekeh. "Nama yang sangat bagus!" Dia mengacungkan jempolnya.
"Oh iya, siang ini rencananya aku akan membuat syukuran kecil-kecilan."
"Jam berapa? Nanti aku datang."
"Tidak usah, Mas. Jarak Jakarta-Bali itu tidak dekat.
Apalagi Mas Sean orang sibuk. Tak usah memaksakan diri. Doanya aja, biar Cello jadi anak yang sehat, cerdas, hebat, menjadi anak yang membanggakan dan menjadi lelaki sejati, tidak seperti..." kata Livia yang sekarang sudah mengubah panggilan dari Pak Sean menjadi Mas Sean, atas
permintaan Sean sendiri.
"Sudah, Liv. Jangan ingat-ingat dia lagi. Apalagi sekarang Alex sudah..." Sean menyela cepat.
"Menikah dengan Ishana? Sudah kuduga." Livia balik menyela. Tapi tak ada lagi getir dalam nada suaranya.
Livia sepertinya sudah bisa melupakan Alex. Atau setidaknya mulai berhasil melupakan lelaki itu, dengan
Kehadiran jagoan kecilnya.
"Baiklah Livia, nanti aku datang. Sekalian ibuku juga ingin menengok Cello katanya."
Livia sedikit mengernyitkan keningnya. Kaget juga mendengar ibunya Sean ingin menengok. Padahal selama ini mereka tidak kenal sama sekali.