Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Satu dekade lagi berlalu dalam sekejap mata, seperti halaman-halaman buku yang dibalik oleh angin lembut. Rumah kami kini terasa lebih besar sekaligus lebih ramai. Tawa Banyu yang kini berusia lima belas tahun bercampur dengan suara celoteh adiknya, Aira, yang berusia delapan tahun—sebuah kejutan manis yang datang beberapa tahun setelah Banyu, melengkapi keluarga kami dengan cara yang tidak pernah kami duga.
Pesta ulang tahun Banyu yang kelima belas jauh berbeda dari kekacauan indah di usianya yang kelima. Tidak ada lagi balon atau badut. Halaman belakang rumah kami kini diubah menjadi panggung musik mini, tempat Banyu dan teman-teman bandnya memainkan lagu-lagu rock alternatif dengan semangat remaja yang membara. Banyu, dengan rambut gondrongnya yang sedikit menutupi mata dan gitar listrik tersampir di bahunya, adalah cerminan sempurna dari perpaduan kami: mata teduh Danu dan semangat artistikku yang membara.
Aku duduk di teras bersama Danu, mengamati panggung dari kejauhan. Di usianya yang hampir kepala lima, rambut Danu mulai dihiasi uban perak di pelipisnya, yang entah kenapa justru membuatnya tampak lebih berwibawa dan menawan. Ia tidak lagi memimpin perusahaan keluarga Wijoyo secara langsung. Beberapa tahun lalu, ia menyerahkan posisi CEO kepada seorang profesional kepercayaannya dan kini menjabat sebagai ketua dewan komisaris, memberinya lebih banyak waktu untuk keluarga dan untuk proyek-proyek filantropi yang ia rintis bersama Binar.
"Kau ingat dulu betapa khawatirnya kita dia akan menjadi anak yang pendiam?" kata Danu sambil tersenyum, suaranya nyaris tak terdengar di antara dentuman drum.
"Bagaimana aku bisa lupa?" balasku. "Kau bahkan membelikannya set ensiklopedia lengkap saat dia baru berumur tiga tahun, berharap dia jadi ilmuwan."
"Dan lihat dia sekarang," kata Danu, matanya berbinar bangga. "Dia akan menjadi bintang rock. Setidaknya, di garasi rumah kita."
Kami tertawa bersama. Anak-anak kami tumbuh menjadi individu yang luar biasa. Banyu mewarisi bakat seniku, bukan dalam melukis, melainkan dalam musik. Dinding kamarnya tidak lagi dipenuhi gambar dinosaurus, melainkan poster-poster band dan lirik-lirik lagu yang ia tulis sendiri. Sementara Aira, dengan rasa ingin tahu yang tak terbatas dan kecintaannya pada angka, jelas-jelas mewarisi otak bisnis ayahnya. Dia adalah bendahara kelas, negosiator ulung saat meminta uang jajan, dan sudah memiliki "rencana bisnis" untuk menjual gelang persahabatan buatannya.
Di sudut lain taman, aku melihat keluarga kami telah berevolusi. Kakek-nenek mereka kini lebih banyak duduk, menikmati pemandangan, sesekali bertukar cerita lama. Kesehatan Hermawan Wijoyo telah stabil selama bertahun-tahun; ia adalah bukti hidup dari kekuatan kemauan dan cinta keluarga.
Dan di sana, ada Binar dan Adrian. Mereka menikah lima tahun lalu dalam sebuah upacara sederhana di tepi pantai, sebuah perayaan yang lebih tentang kemitraan daripada kemegahan. Mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak, sebuah pilihan sadar yang mereka ambil bersama. "Duniaku sudah cukup penuh warna," kata Binar suatu kali padaku. "Aku punya butikku, aku punya Adrian, dan aku punya dua keponakan paling keren di dunia. Itu lebih dari cukup."
Perannya sebagai "Aunty Binar" telah menjadi salah satu identitas terkuatnya. Dia bukan sekadar tante yang datang saat ulang tahun. Dia adalah mentor, sahabat, dan tempat curhat bagi Banyu dan Aira. Dialah yang pertama kali membelikan Banyu gitar bekas, melihat bakat musik yang terpendam di dalam dirinya. Dialah yang mengajari Aira cara membuat proposal bisnis pertamanya untuk "proyek gelang"-nya. Dia memberikan pada keponakannya apa yang dulu tidak pernah ia miliki: dukungan tanpa syarat untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa tekanan untuk menjadi "sempurna".
Malam itu, setelah teman-teman Banyu pulang dan hanya keluarga inti yang tersisa, kami berkumpul di sekitar api unggun kecil yang dibuat Danu di halaman belakang.
"Jadi, Banyu," kata Binar sambil melemparkan sebiji marshmallow ke dalam api. "Lagu terakhir yang kau mainkan tadi, liriknya dalam sekali. Tentang apa itu?"
Banyu, yang sedang memanggang marshmallow-nya sendiri, tampak sedikit malu. "Ah, itu... cuma tugas sekolah, Aunty. Pelajaran sastra. Kami diminta membuat puisi tentang 'warisan'."
"Warisan?" Danu menoleh pada putranya. "Dan kau mengubahnya jadi lagu rock?"
"Lebih keren begitu, Yah," jawab Banyu sambil nyengir. "Puisinya tentang bagaimana kita semua membawa potongan-potongan dari orang-orang sebelum kita. Seperti... aku punya bakat seni dari Ibu, tapi mungkin aku punya sedikit sifat keras kepala dari Kakek Hermawan."
Hermawan Wijoyo, yang duduk di kursinya, tersenyum tipis mendengar namanya disebut.
"Dan lagu itu pada dasarnya bilang," lanjut Banyu, kini lebih percaya diri. "Bahwa warisan terbaik bukanlah uang atau perusahaan. Tapi cerita. Cerita tentang bagaimana kita mengatasi kesulitan, bagaimana kita belajar untuk mencintai... hal-hal seperti itu."
Aku dan Danu saling berpandangan di atas pendaran api. Anak kami, dengan caranya sendiri yang lugu, telah merangkum seluruh perjalanan hidup kami dalam sebuah lagu rock remaja.
Aira, yang duduk di pangkuanku, tiba-tiba angkat bicara. "Kalau aku warisannya apa, Bu?"
Aku tersenyum, mengusap rambutnya yang lembut. "Kamu punya keberanian Ayahmu, kecerdasan Nenekmu, dan senyum Aunty Binar-mu."
"Dan selera humor Kakek Surya!" seru Aira, yang membuat ayahku tertawa terbahak-bahak.
Malam itu, di bawah taburan bintang, aku menyadari sesuatu yang mendalam. Kisah kami—kisah tentang rasa sakit, pengkhianatan, dan penebusan—bukan lagi hanya milikku, atau milik Danu, atau milik Binar. Kisah itu kini telah menjadi bagian dari fondasi keluarga kami. Itu telah menjadi warisan kami.
Bukan sebagai sebuah rahasia kelam yang harus disembunyikan, melainkan sebagai sebuah dongeng keluarga tentang kekuatan, pengampunan, dan cinta yang bisa menyembuhkan. Banyu dan Aira mungkin tidak tahu setiap detail menyakitkan dari masa lalu kami, tapi mereka tumbuh dalam sebuah lingkungan di mana mereka bisa merasakan hasilnya. Mereka tumbuh di dalam rumah di mana cinta bukanlah kata benda, melainkan kata kerja. Mereka melihat bagaimana orang tua mereka saling mendukung, bagaimana tante mereka menjadi sahabat terbaik ibu mereka, dan bagaimana kakek-nenek dari kedua belah pihak bisa duduk bersama dan tertawa.
Warisan kami bukanlah cerita tentang suami setengah pakai. Warisan kami adalah pelangi itu sendiri. Sebuah bukti nyata bahwa setelah hujan badai yang paling gelap sekalipun, selalu ada kemungkinan untuk munculnya keindahan dan warna-warni yang tak terduga. Sebuah pelajaran bahwa bekas luka tidak harus mendefinisikan kita, melainkan bisa menjadi peta yang menunjukkan sejauh mana kita telah melangkah.
Saat api unggun mulai meredup dan Aira tertidur di pelukanku, Banyu mengambil gitar akustiknya. "Satu lagu lagi sebelum tidur," katanya.
Dia mulai memetik melodi yang lembut, sangat kontras dengan musik keras yang ia mainkan tadi. Lalu ia mulai bernyanyi, suaranya yang mulai pecah menjadi suara pria muda terdengar jernih di keheningan malam. Liriknya adalah puisi yang ia tulis, sebuah ode sederhana untuk keluarganya.
"Dari abu dan dari hujan, kau bangun sebuah taman... Di tanah retak kau tanam harapan, hingga mekar perlahan... Bekas lukamu jadi garis di tanganku, ceritamu jadi laguku... Pelangi yang kau wariskan untukku, kan kuteruskan untuk duniaku..."
Danu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Air mata syukur mengalir di pipiku, bukan karena sedih, bukan karena bahagia, tapi karena perasaan yang melampaui keduanya. Perasaan utuh.
Melihat anakku menyanyikan kisah kami, aku tahu bahwa lingkaran ini telah sempurna. Gema dari kebahagiaan kami tidak hanya mengisi rumah kami, tapi juga akan terus bergema di generasi selanjutnya. Warisan kami aman. Pelangi itu akan terus bersinar, lama setelah kami tiada. Dan itu, adalah akhir yang paling bahagia dari segalanya.
kan jadi bingung baca nya..