NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kunang-Kunang yang Tidak Pernah Padam

"Bagus," kata Hwa-young, menarik topi jerami yang kusam menutupi sebagian matanya, menyembunyikan kilatan tekad yang hampir tidak bisa ia padamkan. 

“Gunakan rasa takutmu itu. Biarkan ia menjadi temanmu. Ketakutan adalah topeng terbaik, Ri. Ia membuatmu tampak kecil, tak berdaya, tidak penting. Justru itulah yang kita butuhkan. 

“Ingat, Jenderal Kim ada di luar sana, bayangannya merayap di setiap sudut kerajaan, tapi bagi kita, dia tidak ada. Dia hanya angin. Jangan mencari, jangan menoleh, jangan pernah memberi mereka alasan untuk melirik kita dua kali. Jika kita terpisah, temui aku di gerbang barat sebelum matahari terbenam. Jangan bicara pada siapapun, bahkan jika mereka menawarkan roti atau koin. Kau mengerti, Ri?"

"Ri," Mae-ri menelan ludah. Matanya yang ketakutan melirik ke sekeliling, seolah tembok istana yang tebal masih bisa mendengarkan. Ia mengangguk cepat, "Aku mengerti, Yang Mulia." Kata "Yang Mulia" hampir tak terdengar, sebuah kebiasaan yang harus segera mereka buang.

Pintu belakang untuk para pelayan, sebuah celah sempit yang mengarah ke lorong servis yang kotor, berderit pelan. Suara deritnya bagaikan seruan perpisahan dengan kehidupan yang serba nyaman dan teratur. Udara pagi yang lembap dan berbau sampah busuk, sisa makanan kemarin, dan kotoran kuda, menyambut mereka dengan tamparan kasar. Itu adalah kebalikan total dari aroma melati dan dupa cendana yang selalu memenuhi istana. 

Tak ada yang peduli pada dua sosok kumal yang menyelinap pergi, dibalut pakaian kasar yang baunya seperti sebulan tidak dicuci. Bahkan para penjaga di gerbang samping, yang biasanya berdiri tegak dengan tatapan tajam, hanya menguap, terlalu malas untuk melirik apa yang mereka anggap hanya sebagai dua pelayan rendahan yang keluar untuk berbelanja. Kebebasan, ironisnya, ternyata berbau lobak busuk dan tanah basah dari gerobak sayur yang menunggu mereka di ujung jalan.

Saat gerobak sayur itu berderak menjauhi gerbang istana, suara roda kayu bergesekan dengan batu kasar, Hwa-young mengintip melalui celah sempit di terpal yang menutupinya. 

“Ikan segar pagi ini!" "Kue beras hangat, baru matang!"

Orang-orang berdesakan, mendorong, bahu mereka menyenggol Hwa-young tanpa permintaan maaf atau bahkan sekadar lirikan. Di istana, tak seorang pun berani menyentuhnya tanpa izin atau risiko hukuman berat. Di sini, di antara keramaian pasar, ia bukan siapa-siapa. Ia hanyalah salah satu dari ribuan wajah yang lewat, identitasnya terkubur di bawah lapisan lumpur dan debu.

"Tetap di dekatku," desis Hwa-young,  menajam, tangannya mencengkeram lengan Mae-ri yang kurus dengan erat, seolah takut jika dilepaskan, pelayannya itu akan lenyap ditelan keramaian.

Mereka mencoba menjual dagangan mereka, sebuah sandiwara kecil yang canggung untuk memantapkan penyamaran mereka. Mae-ri mencoba menawarkan jepit rambut dari kain perca yang ia jahit sendiri di istana, sepotong kain jelek dengan beberapa jahitan asal-asalan, berharap itu terlihat meyakinkan. Seorang wanita gemuk dengan wajah penuh bintik matahari tertawa terbahak-bahak mendengar harga lima keping tembaga yang ditawarkan Mae-ri. 

"Satu keping, atau pergi sana, bocah ingusan!" bentak wanita itu,  parau dan menusuk.

Hwa-young segera menarik Mae-ri pergi sebelum pelayannya itu sempat menangis karena dipermalukan. "Sudah kubilang, kau harus terlihat putus asa, Ri," tegurnya dengan suara datar. "Bukan menyedihkan. Putus asa menunjukkan kekuatan untuk bertahan, menyedihkan hanya menarik belas kasihan."

Mereka terus berjalan, meninggalkan keramaian pasar utama yang membingungkan dan masuk ke dalam labirin gang-gang sempit yang baunya seperti rahasia busuk dan genangan air hujan yang tak pernah kering. Bangunan-bangunan tua menjulang tinggi, menghalangi matahari, menciptakan lorong-lorong bayangan. 

Akhirnya, mereka menemukannya, sebuah toko kecil yang terjepit di antara pegadaian yang suram dan kedai arak yang bising. Papan nama "Bunga Teratai Malam" hampir tak terbaca, lapuk dimakan waktu dan kotoran. Tempat itu tampak mati, seolah sudah ditinggalkan bertahun-tahun.

"Kau yakin ini tempatnya?" ujar Mae-ri,  bergetar, mencerminkan ketidaknyamanan yang mendalam.

Hwa-young tidak menjawab. Dengan tekad yang keras, ia mendorong pintu kayu yang berderit, memecah keheningan yang menyesakkan di dalam. Lonceng kecil berkarat di atas pintu berbunyi parau, seperti batuk seorang tua. Interiornya gelap, pengap, penuh dengan bau kegagalan, debu, dan ramuan obat-obatan yang terlupakan.

Di balik meja konter yang usang, seorang pria tua kurus dengan wajah penuh kerutan yang tak terhitung jumlahnya bahkan tidak mengangkat kepalanya dari meja. Ia sibuk meracik sesuatu yang berbau pahit.

"Tutup," geramnya tanpa menoleh,  kasar seperti kertas amplas.

"Tapi kami ingin membeli obat," kata Hwa-young, ia sengaja membuat  sedikit gemetar, menirukan intonasi orang kebanyakan yang takut pada otoritas. "Untuk ibu kami yang sakit keras."

Pria tua itu akhirnya mendongak. Matanya yang kecil, tajam, dan penuh kecurigaan menelanjangi mereka, dari ujung rambut yang berantakan hingga sandal mereka yang usang dan berlumpur.

"Aku tidak punya obat untuk kemiskinan," katanya dingin. "Pergi."

Hwa-young maju selangkah, meletakkan keranjang kosongnya di atas meja. Dengan gerakan yang dibuat canggung, ia mengeluarkan jepit rambut yang ia sembunyikan di lengan bajunya. Jepit rambut dari perak dengan sulaman bunga plum, lima kelopak, satu sedikit lebih panjang dan melengkung ke dalam. Kode yang diajarkan ibunya, Ratu terdahulu, bertahun-tahun yang lalu.

"Kami butuh obat yang khusus, Tuan," katanya, mencoba terdengar putus asa tapi tegas. "Sesuatu yang ... mekar di musim dingin."

Mata pria tua itu tertuju pada sulaman itu sejenak, hampir tak terlihat. Lalu ia tertawa, suara kering tanpa humor, seperti daun-daun kering yang bergesekan. "Jepit rambut jelek. Bawa mainanmu dan pergi. Aku tidak punya waktu untuk pengemis sepertimu."

Penolakan itu menusuk Hwa-young seperti belati es. Gagal. Rencananya hancur berkeping-keping bahkan di langkah pertama. Kepanikan mulai merayap di dadanya, mencengkeram erat. Semua pertaruhan, semua kebohongan yang ia ucapkan pada Yi Seon untuk bisa keluar dari istana ... akan sia-sia.

"Tolong, Tuan..." mohon Mae-ri,  pecah, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Keluar!" bentak pria itu, menggebrak meja dengan kepalan tangan kurusnya.

Di tengah keputusasaannya yang mendalam, sebuah ingatan samar muncul, sepotong percakapan dengan ibunya di taman bertahun-tahun lalu, ketika ia masih kecil dan bermimpi menjadi seorang kesatria. 

"Hwa-young-ah," ibunya berbisik, membelai rambutnya, "jika bunga plum tidak bisa menunjukkan jalan, kau harus mencari kunang-kunang. Kunang-kunang yang tidak pernah padam."

Sebuah pertaruhan terakhir. Sesuatu yang tidak ada dalam rencana terperinci ibunya, sebuah kode cadangan, sebuah harapan terakhir.

Hwa-young mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke arah pria itu,  turun menjadi ujaran yang hanya bisa didengar oleh pria tua itu, hampir seperti embusan napas. "Aku mencari kunang-kunang ... yang tidak pernah padam."

Rahang pria tua itu sedikit terbuka. Mata kecilnya yang semula tajam dan sinis kini melebar, menatap Hwa-young seolah baru pertama kali melihatnya, bukan sebagai pengemis rendahan, tapi sebagai  ... hantu dari masa lalu. Ia terdiam, seolah kata-kata itu membekukannya di tempat.

"A-apa  ... katamu?" bisiknya,  hampir tak terdengar.

"Kau mendengarku," balas Hwa-young, kini mantap dan dingin, tak lagi menyamar. Aura kepemimpinan yang selama ini ia sembunyikan kembali terpancar. "Aku mencari kunang-kunang yang tidak pernah padam."

Pria tua itu bangkit dengan gerakan kaku, matanya dipenuhi campuran antara ketakutan yang mendalam dan rasa hormat yang aneh. 

“Yang Mulia. Kode bunga plum adalah jebakan. Kami diperintahkan untuk mengabaikannya selama bertahun-tahun, menganggapnya sebagai tanda musuh. Kami pikir  ... kami pikir dia sudah tiada. Kami kehilangan harapan."

"Dia memang sudah tiada," jawab Hwa-young pelan, dengan kesedihan yang tak terhingga di matanya. "Aku putrinya."

Pria itu tersentak, lalu dengan cepat membungkuk dalam-dalam, menyentuh lantai dengan dahinya. "Yang Mulia," gumamnya dengan suara bergetar. Ia kemudian mengangkat sebuah papan lantai yang longgar di bawah meja kecil, menyingkapkan ruang tersembunyi. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang diukir indah. "Ratu menitipkan ini. Beliau berkata ini adalah benih."

Dengan tangan gemetar, Hwa-young menerima kotak itu dan membukanya. Di atas beludru hitam yang sudah usang, tergeletak untaian manik-manik giok seukuran butiran beras, masing-masing diukir dengan karakter yang sangat kecil, hampir tak terlihat oleh mata telanjang. Bukan permata, melainkan sesuatu yang jauh lebih berharga,  sebuah daftar nama, sebuah jaringan rahasia, sebuah pasukan bayangan yang menunggu dalam kegelapan.

"Ini bukan sekadar nama, Yang Mulia," ujar pria tua itu, matanya berkaca-kaca. "Ini adalah beban. Sebuah harapan yang sangat berat."

Hwa-young baru saja akan menyentuh untaian giok itu, merasakan berat warisan ibunya di ujung jarinya, ketika sebuah suara memecah keheningan total di ruangan tersembunyi itu.

Kring...

Lonceng berkarat di pintu depan toko berbunyi lagi, nadanya yang sumbang kini terdengar seperti jeritan di telinga mereka. Suara yang sama yang menyambut mereka saat masuk, kini menjadi pertanda bahaya.

Mae-ri memekik tertahan, tangannya menutup mulutnya sendiri.

Wajah pria tua itu langsung pucat pasi, seperti kain kafan. Ia menatap Hwa-young, matanya melebar karena panik dan teror.

"Siapa itu?" ujar Hwa-young, jantungnya serasa berhenti berdetak, hawa dingin merayapi punggungnya.

Pria itu menggeleng, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Aku tidak tahu," desisnya,  bergetar hebat. "Seharusnya  ... seharusnya tidak ada orang lain yang datang hari ini.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!